Jejak di Tahun 2012

Sebuah cita-cita hanya akan diperoleh dengan perjuangan. Sedangkan tabiat perjuangan selalu menuntut pengorbanan. Lantas, jika selama ini kita merasa tidak berkorban apa-apa, jangan-jangan kita memang tidak pernah beranjak ke mana-mana.

Tahun 2012 memasuki detik-detik terakhir di kalender penanggalan Masehi. Bumi hampir menyelesaikan satu periode revolusinya mengelilingi matahari. Sedangkan waktu pun terus beranjak maju dan tak akan pernah kembali. Nah, waktu yang maju apakah sudah diimbangi dengan kondisi diri yang juga semakin maju? Bertambahnya usia apakah sudah diiringi dengan penambahan kontribusi positif buat umat manusia? Rasa-rasanya pertanyaan model muhasabah seperti ini perlu saya tujukan untuk diri pribadi. Sudah ngapain saja saya selama ini? :-)

Apa pun itu, takdir Alloh sudah tertuang. Mungkin ada yang perlu disesali atas kelalaian menggunakan waktu. Tapi begitu pun apa yang sudah dijalani pun sudah sepatutnya disyukuri. Karena bagaimana pun semua takdir Alloh pasti bernilai baik kalau kita maknai dengan baik pula. Lalu apa saja catatan jejak yang sudah saya buat tahun 2012 ini?

Start-Up Business

Alhamdulillah, awal tahun ini bisnis kami bisa kami mulai. Sudah lama sebenarnya saya punya niat mendirikan usaha sendiri. Niat itu pun sudah saya sampaikan ke mana-mana, termasuk ke seorang sohib saya sejak SD hingga muncul niat untuk mulai bisnis bersama. Kami pun sudah banyak brainstorming, berwacana kesana-kesini, tapi di antara banyaknya ide yang melintas di kepala itu tak satupun yang jadi. Hingga kemudian Alloh perkenankan kami untuk nekad memulai saja, meskipun tanpa persiapan yang betul-betul memadai. Kami pikir ketimbang menunggu satu buah bisnis plan luar biasa yang ntah kapan jadinya, lebih baik ide sederhana itu dimulai saja. Biarlah waktu yang membuat kami berkembang dengan sendirinya. Jadilah sebuah kedai di depan teras rumah, bermodal satu buah steling aluminium dan uang tunai senilai 4,5 juta rupiah. Yang dijual cuma satu item: kerudung. Ya, hanya kerudung. 

Sampai kemudian beberapa pekan setelah itu Alloh pun mempertemukan kami denga beberapa kolega hingga akhirnya kami juga bisa sedikit ekspansi ke bisnis herbal, minyak wangi, aksesoris jilbab, penyediaan jasa akikah, dan sepatu. Alhamdulillah, meski tidak seberapa, bisnis ini tetap menghasilkan. Setidaknya menghasilkan pengalaman berharga. Hehehe

Saya merasa sangat bersyukur dengan lahirnya bisnis ini. Ada manfaat yang selain kami dapatkan, juga kami berikan buat orang-orang sekitar. Ada banyak jalinan persaudaraan yang terjalin, dan banyak sinergi yang bisa terbina. Ada banyak ilmu yang bisa diperoleh, soal menghadapi pelanggan yang beraneka ragam, soal disiplin mengelola keuangan, soal menjaga kepercayaan, dan sebagainya. Sekarang, saya merasa pengalaman singkat mengelola bisnis ini sangat empowering memperluas wawasan dan wacana untuk menenggak ilmu-ilmu berikutnya. Berbisnis secara rill seolah membuka kepala saya lebih lebar pada dunia.

Jadi Petani

Sebagai lulusan IPB, setidaknya supaya dicap orang-orang tidak lari dari khittah, saya memutuskan untuk bertani kecil-kecilan saja. Memanfaatkan sepetak lahan yang luasannya hanya sekitar 2-3 rantai di depan rumah, pepaya Callina itu pun saya coba budidayakan. Tumbuhnya termasuk yang agak lama, karena pola tanamnya lebih saya orientasikan ke pola tanam organik. Cuma pakai pupuk kandang, dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak pakai pestisida. Pernah saya sempat kelabakan karena di awal-awal tanaman pepaya saya ini kena hama kutu putih. Bagi petani pepaya, kutu putih ini memang jadi musuh bebuyutan karena dampaknya memang mematikan, apalagi buat tanaman-tanaman muda. Nah, karena saya tidak pakai pestisida, mau tidak mau, tanaman itu harus saya bersihkan hampir setiap pagi satu per satu dengan kuas. Lumayan capek juga waktu itu. Tapi alhamdulillah, semakin besar tanaman, semakin rendah serangan kutu putih itu. 

Sekarang, pepaya saya sudah bisa dipanen. Hasilnya juga masih belum seberapa. Kebanyakan hasil panennya juga bukan untuk dijual, melainkan dibagi-bagi ke tetangga dan teman-teman orang tua. Tak lupa juga buat dimakan sendiri. Yah, setidaknya buat menunjukkan pada dunia kalau saya layak jadi anak IPB. Hehehe

Aisyi Lahir

Tanggal 30 Mei 2012, tanggal yang bisa dibilang cukup keramat buat saya dan isteri tercinta. Tengah malam, isteri saya yang tangah hamil besar mengeluh sakit yang luar biasa. Akhirnya di malam yang gulita itu saya membawa isteri ke rumah bidan. Sepanjang malam, sakit itu mendera isteri dan saya pun bingung harus berbuat apa. Bidan juga begitu, karena ternyata meski sakit, setelah diperiksa isteri saya bahkan belum pembukaan pertama. Malam itu saya nyaris tidak tidur menemani isteri menginap di kamar sang bidan yang baik hati.

Esoknya, pagi hari pembukaan sudah dimulai. Rasa sakit isteri juga belum bisa dikatakan reda. Saya lihat kesungguhannya berjuang untuk melahirkan putri saya, dengan mata kepala saya sendiri. Ya, saya terus mendampingi isteri saat proses persalinan. Awalnya, saya ragu. Tapi ketika detik-detik menegangkan itu, keberanian saya datang begitu saja. Akhirnya, jam 12.00 WIB putri pertama saya lahir. Putri yang kami beri nama "Aisyi Hanifia Hady". Alhamdulillah. Semoga Alloh jadikan ia kelak sebagai anak yang berbakti, sholehah, disayangi Alloh, dan bisa memberi manfaat besar bagi umat. 

Sekolah Lagi

Alhamdulillah di ujung tahun ini Alloh izinkan saya untuk mengecap bangku sekolah lagi. Mengambil gelar magister di jurusan Manajemen Bisnis IPB. Jurusan yang kata orang cukup prestisius karena mahalnya. Pun karena orang-orang seperti Aviliani dan Presiden SBY juga menjadi alumninya. Sebenarnya, untuk ukuran sekolah bisnis, MB termasuk bisa dikatakan murah, karena di sekolah sejenis di universitas lain biayanya bisa hingga dua kali lipatnya. Meski demikian, MB tetap menawarkan sistem pendidikan dan fasilitas yang menurut persepsi saya sangat baik. Satu dari sedikit sekolah bisnis yang memperoleh akreditasi A.

Di sini saya bertemu dengan orang-orang luar biasa yang kerap menghadirkan inspirasi. Dosen-dosen, rekan-rekan satu angkatan, hingga tamu-tamu yang diundang. Meski beasiswa ke luar negeri yang saya idamkan itu belum bisa saya raih, kompensasi dengan kuliah di sini membuat saya tidak perlu berkecil hati. Kuliah di sini rasanya empowering sekali.
Awalnya sampai saat S1 dulu saya tidak pernah berpikir menggeluti dunia bisnis. Saat itu fokus saya lebih ke sisi teknologi proses. Namun setelah punya bisnis sendiri, orientasi saya pada bisnis berubah. Saya jadi tertarik dan ingin mengembangkan ekonomi umat melalui bisnis. Saya pun merasa dengan tambahan ilmu bisnis di jenjang S2 ini, bisnis kami bisa jauh lebih berkembang dan memberi manfaat.

Menjadi Agen Majalah Ar Risalah

Saya termasuk orang yang gemar membaca. Karena di kampung saya dulu sangat sulit ditemukan toko buku berkualitas, akhirnya saya memutuskan untuk berlangganan beberapa majalah. Setidaknya ada 3 majalah yang saya langgan saat saya di kampung: Suara Muhammadiyah, Majalah Tabligh, dan Majalah Ar Risalah. Tiga majalah inilah yang menjadi asupan rohani dan pemelihara semangat keislaman.

Saat saya hijrah kembali ke Bogor, akses saya pada ketiga majalah itu nyaris nihil. Yang bisa dijangkau hanya Suara Muhammadiyah. Sedangkan Majalah Tabligh dan Ar Risalah masih sulit dijumpai. Hingga kemudian saya berniat langsung menghubungi redaksi pusatnya untuk bertanya perihal keagenan dan distribusi. Hanya majalah Ar Risalah yang merespon. Katanya, agen di wilayah Bogor memang belum ada. Akhirnya saya ditawari untuk menjadi agen majalah tersebut, dan saya pun menyanggupinya. Toh, selain isinya bagus, ini saya anggap sebagai peluang untuk bisa berdakwah lebih lanjut. Saya membayangkan kontribusi yang bisa saya berikan buat dakwah andai majalah Islam ini sampai ke tangan orang-orang yang membacanya. Jadilah saya agen resminya.

Keagenan ini membuka silaturrahim saya lebih lanjut dengan dua orang istimewa. Seorang mahasiswa AGH IPB asal solo yang juga ternyata sudah berlangganan majalah Ar Risalah sejak SMA, tapi juga sulit melanjukan kelangganan itu saat sudah di Bogor. Namanya Burhan. Burhan pun menyanggupi untuk turut menyebarkan majalah itu pada teman-temannya di kampus. Yang kedua, adalah seorang bapak yang sudah biasa berjualan di bawah tangga masjid Al Hurriyyah. Beliau biasa menjual beberapa majalah dan buku-buku Islam, tapi belum ada majalah Ar Risalah di sana. akhirnya saya pun menawari dan beliau bersedia menjualkan majalah tersebut dengan sistem konsinyasi. Alhamdulillah, bisnis jalan, silaturrahim jalan, dakwah pun jalan. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.

------------------

Tahun 2013 menyongsong. Berkaca pada kondisi saya saat ini, saya menyadari ada banyak kekurangan saya. Ada banyak target saya yang belum tercapai saat ini. Buku saya belum bisa terbit karena ditolak oleh sebuah penerbit, target hafalan saya belum sampai karena sayanya yang masih sering lalai, target penghasilan juga belum terealisasi karena kondisi pasar ternyata tidak sesuai bayangan. Begitu pula dengan target TOEFL dan beasiswa ke luar negeri yang harus kandas tahun ini. 

Tapi meski demikian, syukur adalah satu kunci nikmat dan kegagalan mencapai target itu harus jadi bahan introspeksi. Alloh memang berkehendak, tapi bisa jadi kehendak itu Alloh tetapkan karena saya sendiri lah yang belum benar-benar bersungguh-sungguh berjuang mencapainya. Yang jelas, tugas saya selanjutnya adalah menetapkan target di tahun 2013 kemudian secara konsisten menjalankan program untuk mencapainya. Saya mohon doa dari pembaca sekalian. Pun saya berdoa pada Alloh semoga apa yang kita cita-citakan bisa sama-sama terwujud di tahun depan. Aamiin. :-)

Sebuah cita-cita hanya akan diperoleh dengan perjuangan. Sedangkan tabiat perjuangan selalu menuntut pengorbanan. Lantas, jika selama ini kita merasa tidak berkorban apa-apa, jangan-jangan kita memang tidak pernah beranjak ke mana-mana.

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?