Overview Kuliah Ekonomi (Bag. 3)

Permintaan Penawaran dan Pasar

Jika kita ditanya, mana yang lebih berharga antara air dengan berlian, hampir pasti kita akan menjawab berlian. Betul bukan? Mengapa kita sanggup berkata demikian? Karena kita tahu dengan pasti bahwa harga berlian akan selalu lebih tinggi ketimbang harga air. Tentu dengan asumsi bahwa keadaan pada saat itu normal.

Pada saat keadaan khusus, bisa jadi air yang tadinya murah menjadi jauh lebih berharga/mahal ketimbang berlian. Misalnya saat kita tengah kehausan di padang pasir yang tandus yang kita hampir mati karenanya. Kita tak membawa apa pun selain pakaian dan sebutir berlian di kantong kita. Tiba-tiba ada seorang musafir yang datang membawa sebotol air. Musafir itu berniat memberikan airnya pada kita dengan syarat kita harus menyerahkan butiran berlian yang kita miliki itu. Pada saat itu, apa yang akan kita lakukan? Menyerahkan berlian itu dengan sukarela sebagai bayaran atas air yang akan diberikannya, atau justru menahan berlian dan membiarkan diri kita mati kehausan? Saya common sense adalah pilihan yang pertama.

Ilustrasi ini, meskipun ekstrim, setidaknya menunjukkan pada kita bahwa harga atau nilai dari sesuatu itu kadang tak selalu identik dengan tingkat kepentingannya. Pun, tak selalu identik dengan kelangkaannya. Harga atau nilai dari sesuatu itu muncul dari keduanya, yakni kepentingan atasnya plus tingkat kelangkaannya. Itulah konsep mendasar dari permintaan dan penawaran.

Dalam konteks ilmu ekonomi, permintaan bisa didefinisikan sebagai keinginan yang disertai kemampuan dari suatu pihak (selanjutnya kita sebut konsumen) untuk membayar/memperoleh sebuah barang atau jasa (produk). Hal yang sama berlaku untuk penawaran. Penawaran bisa didefinisikan sebagai keinginan dan kesanggupan dari suatu pihak (selanjutnya kita sebut produsen) untuk menyediakan barang atau jasa (produk). Nah, kata 'mau' dan 'mampu' di sini menjadi penting. Keduanya harus sama-sama ada. Artinya, jika suatu pihak hanya mau tapi tak mampu, atau mampu tapi tak mau, pihak itu tidak bisa dikatakan punya permintaan/penawaran. Misal, kita ingin sekali punya smartphone bahkan saking inginnya, saat tidur pun kita memimpikan smartphone itu, tapi ternyata kita tak sanggup membelinya, itu berarti keinginan kita tidak dianggap sebagai permintaan. Begitu seterusnya.

Dalam ekonomi, permintaan dan penawaran adalah konsep mendasar yang manjadi acuan hampir segala aspek. Dari mulai skala mikro seperti proses terbentuknya harga, konsep elastisitas, konsep surplus & shortage, hingga skala makro seperti tingkat inflasi dan pengangguran, konsep permintaan dan penawaran selalu menjadi basic penalarannya. Tak heran jika kemudian dua hal ini juga dianggap sebagai dalang dari munculnya "invisible hand" dalam mekanisme pasar. Memangnya apa itu invisible hand? Nanti akan kita bahas lebih lanjut. Tapi yang jelas ia adalah ungkapan yang menunjukkan kemampuan dalam memberikan sinyal untuk mengatur perilaku masyarakat secara umum. Seperti pesan dalam film Jurrasic Park, bahwa "kehidupan akan selalu menemukan jalan". Nah, invisible hand inilah sesuatu yang seolah memberikan petunjuk sehingga jalan itu bisa ditemukan. Begitulah kira-kira.

Pasar

Pasar, adalah tempat atau dimensi terjadinya interaksi antara manusia, yang mana di satu pihak punya permintaan sementara pihak lainnya punya penawaran. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kita juga bisa mengatakan pasar sebagai tempat di mana penjual bertemu dengan pembeli. Tentunya kini tempat yang dimaksud tidak harus berbentuk fisik. Pasar sekarang telah sangat dinamis bentuknya, dari mulai yang nyata hingga yang virtual. Yang jelas di pasar, ada pembeli yang menentukan permintaan, ada pula penjual menentukan penawaran. Jadi tidak lagi kita heran dengan istilah pasar tenaga kerja, karena ada pelamar kerja sebagai 'pembeli'nya dan ada perusahaan sebagai penjualnya. Atau tak juga kita asing dengan istilah pasar saham, karena ada pihak perseroan sebagai penjual sahamnya dan ada pula calon investor sebagai pembelinya. 

Konon katanya, pasar bisa dikelompokkan lagi menjadi beberapa jenis. Ada pasar monopoli, ada pasar duopoli, ada pasar oligopoli, ada pasar persaingan monopolistik, dan ada pasar persaingan sempurna. Beda jenis pasar, akan beda pula perilaku permintaan dan penawarannya. 

Pasar monopoli misalnya, hanya memungkinkan kuasa berada pada satu produsen. Karena ia hanya satu-satunya, ialah yang mengendalikan harga sementara konsumen hanya bisa pasrah mengikuti harga dari produsen. Take it or leave it. Begitulah slogannya. Contohnya pasar listrik, yang sekarang murni dikuasai PLN. Andai saja PLN tega menetapkan harga listrik tinggi, kita sebagai konsumen tak bisa berkutik. Paling-paling cuma ngomel atau paling banter demo. Tapi setelah itu kita tetap akan memilih: mau tetap pakai listrik PLN? atau memutuskan aliran listrik? Mau produksi listrik sendiri? hehe... bisa sih, tapi belum tentu costnya lebih kecil ketimbang harga listriknya PLN :)

Atau sebaliknya pasar persaingan sempurna, di mana produsen sangat beragam, begitupula dengan konsumen. Namun produk yang disediakan sama alias homogen. Pada kondisi seperti ini, tak satu pun produsen atau konsumen yang bisa mematok harga sesuka hatinya sehingga pada pasar jenis ini semuanya posisinya egaliter. Pasar inilah yang sering disebut sebagai pasar ideal (meski pada kenyataannya sangat sulit sekali ditemui). Karena sulit ditemui, saya pun bingung mau mencontohkan apa.

Yang konon paling representatif di masyarakat kita saat ini adalah pasar persaingan monopolistik, yakni pasar yang mirip pasar persaingan sempurna hanya saja produk yang dijual tidak homogen (atau setidaknya mirip tapi bersubstitusi dekat). Di pasar jenis ini tiap penjual bisa menetapkan harga untuk produk mereka sendiri. Perbedaan harga yang mereka ciptakan dengan harga produk saingannya nantinya akan sangat tergantung pada seberapa mampu mereka mendiferensiasikan produk mereka. Contoh yang dekat mungkin pasar produk sabun mandi. Ada banyak bukan? Bahkan di satu jajar rak di minimarket, kita bisa jumpai berbagai jenis sabun dengan berbagai merk, berbagai klaim keunggulan, plus berbagai tingkat harga. Mengapa sama-sama sabun tapi harganya berbeda? Karena perusahaan sabun memang ingin memposisikan produknya masing-masing secara berbeda. Tinggal kita sebagai konsumen yang selanjutnya memilih, mana produk yang kita anggap paling bisa memenuhi kebutuhan kita (dan paling cocok dengan isi dompet kita) :)

Wallohua'lam

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?