Bimbel Dasar dan Bimbel Menengah

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah pemikiran Bapak Iwan Pranoto, guru besar ITB yang pernah memposting artikelnya di kompas.com. Bagi saya, artikel beliau cukup mencerahkan dan menawarkan perspektif baru dalam memandang pendidikan dan sinkronisasinya dengan masa depan.

Dalam artikel tersebut, beliau menyuarakan kekhawatirannya atas pola pendidikan masa kini yang cenderung tidak peka perubahan. Beliau menilai di era kini, kemampuan bernalar tingkat tinggi adalah sebuah tools yang teramat penting. Namun sayangnya sekolah-sekolah kita tidak mengajarkan itu pada para siswanya. Sekolah-sekolah masih saja berorientasi mendidik siswa untuk "menghafal informasi". Orientasi seperti itu beliau nilai keliru, karena yang lebih penting adalah bagaimana para siswa nantinya bisa memanfaatkan informasi, bukan sekedar menyimpannya. Beliau berpendapat, masalah penyimpanan dan pencarian informasi di zaman ini sudah bisa diserahkan tugasnya pada mesin. Google misalnya. Oleh karena itu siswa seharusnya lebih dididik untuk mendayagunakan informasi agar mampu berkreasi, mencipatakan inovasi, mencari solusi, dan lain sebagainya. Pendayagunaan informasi itulah yang tidak bisa tidak, harus dilatih dengan penalaran.

Pola pendidikan yang keliru ini pun akhirnya semakin diperparah oleh metode UN yang salah kaprah. Seolah setali tiga uang, konsep UN yang berkutat pada hafalan informasi semata ini pun semakin menyuburkan pola pendidikan yang menganaktirikan penalaran. Misalnya, UN menuntut siswa agar menghafal rumus-rumus di kepalanya atau tidak memperkenankan penggunaan kamus. Semuanya berkutat pada hafalan. Seolah siswa yang berhak lulus adalah siswa yang berhasil menghafal. 

Ini pada akhirnya membuat saya teringat pada fenomena bimbel. Banyak anak-anak yang mengikuti bimbel hanya untuk dua hal: lulus UN atau lulus SNMPTN. Hanya itu. Jadi sifatnya pragmatis. Saya memang akui bimbel-bimbel yang ada punya konsep yang berbeda, tapi saya yakin orientasinya sama, yakni bagaimana siswa-siswanya bisa lulus di ujian yang diikutinya. Orientasi ini tak jarang membuat sebagian bimbel mengajarkan jalan pintas pada para siswanya, dengan cara-cara cepat, praktis yang seringkali tanpa penanaman pemahaman atas konsep dasar mata pelajaran bersangkutan. 

Saya tidak menyalahkan bimbel apa pun, karena hakekatnya bimbel memang sebuah bisnis yang dibuat untuk tujuan spesifik seperti itu. Yang saya kira lebih patut kita soroti adalah pergeseran paradigma sekolah-sekolah kita menjadi sekedar lembaga bimbel. Ya, sekolah mulai berorientasi seperti bimbel, yang penting siswanya lulus UN atau SNMPTN. Soal apakah para siswa berhasil menjadi manusia terdidik atau tidak, itu tidak lagi jadi sorotan utama. Gejala inilah yang saya nilai relevan dengan artikel Pak Iwan di atas, bahwa semakin lama pendidikan yang mengajar siswa untuk bernalar semakin terpinggirkan. 

Kita semua tentu berharap, sekolah dasar dan sekolah menengah tidak beralih menjadi bimbel dasar dan bimbel menengah. Sekolah harus teguh pada khittahnya, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekolah sudah seharusnya tidak terbuai pada tujuan-tujuan pragmatis dan jangka pendek. Misi sekolah adalah misi long term, misi jangka panjang, yang hasilnya baru akan terlihat 10, 15, dan 20 tahun yang akan datang. 

Wallohua'lam

------------------------------------------------------------------
(*Tulisan lengkap Pak Iwan bisa dibaca di sini)


Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?