Bang Khairul

Sebut saja nama beliau Khairul. Beliau salah satu jamaah pengajian ranting Muhammadiyah Kisaran Barat dan termasuk yang rajin dan aktif. Yang paling saya ingat dari beliau adalah wajahnya, yang mengingatkan saya pula dengan wajah seorang sahabat lama saya, Heri Eko. Ah, tapi bukan itu yang ingin saya sampaikan di sini. 

Jum'at itu, kami bersama beberapa jamaah lain sepakat untuk pergi pengajian rombongan (bersama-sama). Maklum kala itu pengajiannya dilakukan di Gedangan, sebuah daerah yang lumayan jauh dari tempat kami berada. Sambil menunggu beberapa jamaah yang mau datang, saya pun berkesempatan ngobrol dengan Bang Khairul, empat mata. Awalnya pembicaraan biasa, tapi lama kelamaan Bang Khairul mulai bercerita tentang kegandrungannya dengan kopi. Katanya, beliau hampir tidak bisa lepas dari kopi. Setiap sore sebelum pulang kantor, ada ritual yang mesti dilakukan: minum kopi. Usut punya usut, ternyata beliau pun sadar kalau rupanya memang kecanduan kopi. Cofee addicted.

"Itulah kecanduang Abang yang nggak bisa hilang". Katanya. 

"Lho, memangnya abang pernah kecanduan apa lagi?" tanya saya penasaran.

"Abang dulu perokok berat. Tapi alhamdulillah sejah tahun 2004 udah berhenti", katanya menjawab. Lalu Bang Khairul itu pun meneruskan ceritanya. "Abang dulu agak bandel. Dari SMP udah merokok". Sambungnya. Lalu dengan panjang lebar si Abang pun menceritakan dengan cepat tapi sistematis kalau kebandelan masa mudanya itu pernah membawanya berkenalan dengan ganja dan miras. Ya, di usianya yang masih belia, lingkungan sekitarnya pernah membuatnya menjadi anak yang -dalam bahasa kita, nggak genah alias rusak. Beliau pernah tahu bagaimana rasanya mabuk karena miras, fly karena ganja, teler karena ekstasi. Belum lagi, dulu katanya beliau itu tukang maen cewek, walau tidak sampai tahap zina. Namun uniknya, beliau itu katanya dulu tetap rajin sholat. Aneh bukan? Jadi ya mabuk iya, teler iya, fly iya, tapi sholat juga iya. Beliau pun cerita kalau dulu juga pernah sholat padahal masih mabuk. MasyaAlloh.

"Terus Bang, kayakmana Abang bisa berhenti?", tanya saya.

"Niat", jawabnya singkat. Ya cuma itu. Cuma niat. Niat itulah yang akhirnya membuat dia berubah pelan-pelan, mengatasi kecanduannya pada barang-barang haram hingga seperti sekarang. 

"Kalau mau berhenti kecanduan harus pelan-pelan. Nggak boleh langsung. Bisa megap-megap kita", itulah kira-kira tips yang disampaikannya waktu itu. Bang Khairul pun cerita, dulu dia pernah nyoba berhenti ganja seketika, tapi rupanya badannya nggak kuat. Beliau pun mulai berhenti pelan-pelan. Dosisnya makin lama makin dikurangi sampai akhirnya sama sekali berhenti. Itu dilakukannya di semua kecanduan yang dirasakannya, dari mulai miras, ganja, ekstasi, sampai rokok. Tinggal kopi yang dibiarkannya tetap nyandu. 

Sayang obrolan saya nggak bisa lebih dalam lagi karena jamaah yang mau pergi rombongan itu sudah pada datang. Saya belum sempat bertanya apa tipping point yang akhirnya membuat Bang Khairul punya niat untuk berhenti. Saya juga belum sempat nanya apakah ada teman-temannya yang juga diajak taubat sama beliau. 

Jum'at malam itu, sesuai janji, kami pun berangkat pengajian berombongan.

=================

di jalan saya pun berpikir alangkah uniknya manusia, dan alangkah beruntungnya sosok seperti Bang Khairul. Stopnya beliau dari kecanduan haramnya itu saya kira merupakan wujud konkret dari kasih sayang Alloh pada beliau. Entahlah, mungkin karena meski nggak genah begitu Bang Khairul dulu tetap sholat, tetap inget sama Robb-nya. Padahal kalau kita cermati sekeliling kita ada banyak saudara-saudara kita yang belum Alloh beri nikmat itu. Alloh belum beri nikmat taubat pada mereka.

Sekelumit cerita Bang Khairul itu sedikit banyak membuat saya bersyukur. Bersyukur bahwa perubahan itu masih dan tetap jadi hal yang niscaya. Kejelekan bisa berganti dengan kebagusan. Ya, semua keburukan yang kita hadapi bisa berubah jadi kebaikan, meskipun itu dengan perlahan.

Wallohua'lam bishowab :-)

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?