Chiefdom Madinah: Salah paham negara Islam
Judul : Chiefdom Madinah: Salah paham
negara Islam
Penulis : DR. Abdul
Aziz, MA
Penerbit : Pustaka
Alvabet, Maret 2011
Halaman : 398 hal
Genre :
Politik-Agama
Saya baru
menyelesaikan pembacaan buku yang saya kira cukup mencerahkan. Judulnya
Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam. Buku ini saya pandang mencerahkan
karena memberi wawasan serta sudut pandang baru, yang memungkinkan pembacanya
untuk menganalisis fenomena-fenomena unik seputar ide pendirian negara Islam.
Terlepas dari sepakat atau tidak, ulasan yang diusung oleh buku ini menawarkan
perspektif kesejarahan tentang awal pembentukan sebuah negara Madinah (yang dianggap
Chiefdom oleh penulis) , dinamikan yang terjadi di dalamnya, hingga
bentuk pemerintahannya yang bertransformasi menjadi sebuah dinasti.
Penulis
memberikan ulasan mengenai ide global tentang pendirian negara Islam berserta
varian-variannya yang dibawa oleh para ulama seperti Ibnu Khaldun, Al Mawardi,
Ibnu Taimiyah, Jamaludin Al Afghani, hingga Muhammad Rasyid Ridha. Begitupula manhaj
politik organisasi-organisasi seperti Hizbut Tahrir di Yordania, Ikhwanul
Muslimin di Mesir, Jamaat-e Islami di Pakistan, Masyumi di Indonesia, ataupun
keluarga Saud di Saudi Arabia. Secara umum pembaca bisa memperoleh informasi
bahwa konsep negara islam yang diusung oleh para ulama sesungguhnya tidak
seragam, begitupula konsep negara yang dibawa oleh organisasi-organisasi Islam.
Meski ide dasarnya sama, yakni sebuah negara yang menerapkan syariat, namun
bentuknya, konstitusinya, maupun landasan ideologis serta teoritisnya berbeda.
Masyumi misalnya, sebuah partai politik yang lebih mementingkan internalisasi
syariat islam dalam perundang-undangan negara, lebih akomodatif pada sistem
demokrasi ketimbang Hizbut Tahrir yang secara an sich mengusung bentuk negara khilafah, atau ketimbang ikhwanul
muslimin yang mirip dengan masyumi namun punya perbedaan di sisi penetapan
syariat dalam hukum pidana yang diakui negara. Latar belakang sosiologis dan
geografis dianggap penulis menjadi penyebab munculnya perbedaan itu. Kondisi Mesir
misalnya, berbeda dengan India/Pakistan, dan berbeda pula dengan Indonesia
terkait dinamika internal mereka maupun penjajahan yang sedang mereka hadapi saat organisasi itu muncul.
Sejauh
pandangan saya dalam membaca, dalam perspektif penulis, keberadaan masalah
sebenarnya bukan pada ide negara islam itu sendiri melainkan pada bentuk
pemerintahannya. Ide adanya imarah/kepemimpinan dalam Islam memang bisa jadi
merupakan hal yang sakral. Islam memang menyiratkan perlunya kepemimpinan dalam
Islam. Namun ketika sudah sampai pada bentuk pemerintahannya, penulis
beranggapan bahwa itu sudah jadi hal yang profan. Islam menghendaki
kepemimpinan, namun tidak secara rinci memperjelas apa dan bagaimana kepemimpinan
itu harus dibentuk; Apakah dalam sebuah negara khilafah, apakah dalam bentuk
negara bangsa, ataukan dalam bentuk lainnya?Bagaimana pula metode pengangkatan
pimpinan negara, apakah melalui keturunan, penunjukan, pemilihan, musyawarah
atau yang lainnya?
Penulis juga
memperlihatkan ketidaksepakatannya tentang argumen yang mengatakan bahwa negara
Madinah adalah bentuk negara ideal yang harus ditiru. Dalam konteks masyarakat
religius dan bemuamalah, Madinah di zaman Nabi memang patut dijadikan sorotan.
Kehidupan di zaman Nabi memang menjadi dasar habitus ummat Islam yang ideal dalam
hal beribadah, dan berakhlak/bermuamalah. Namun untuk dijadikan dasar dari sebuah
negara, sesungguhnya Madinah pada saat itu belum tepat dianggap sebagai sebuah
negara. Madinah masih menganut sistem yang sangat sederhana. Ia lebih tepat
dianggap sebagai embrio sebuah negara ketimbang negara itu sendiri. “Negara” Madinah lebih tepat disebut
Chiefdom, ketimbang Kingdom atau State. Hal ini karena kondisi kepemimpinan
politik di zaman Nabi lebih menyerupai persekutuan antar kabilah, di mana Nabi
saw yang menjadi kepala persekutuan itu. Itu setidaknya ditandai oleh isi
piagam madinah yang mengikat kabilah per kabilah, bukan mengikat warga Madinah
secara umum. Selain itu, pengorganisasian prajurit pun masih terpusat pada
kabilah-kabilah yang ada. Tentara yang ada masih sekedar milisi sukarela dari
kabilah, bukan tentara reguler yang digaji. Madinah yang lebih mirip negara,
menurut penulis, tidak terjadi di masa Nabi saw dan Khulafaur rasyidin namun
baru ada di zaman Muawiyah, lalu diteruskan oleh keturunannya. Itu artinya, konsep rinci
imarah memang berevolusi menemukan bentuknya yang paling cocok seiring dengan
pertumbuhan ummat islam beserta dinamika yang dihadapinya.
Definisi
negara yang dipakai penulis memang debatable, namun satu hal yang ditekankan adalah bahwa mencari format negara
semata-mata dari bentuk “Negara Madinah” akan menjadi hal yang sangat sulit,
jika tidak dikatakan mustahil. Kehidupan modern dengan segala kompleksitasnya
nyaris tidak akan sinkron jika langsung dicari padanan praktiknya pada masa
Nabi. Apabila segala bentuk pengorganisasian masyarakat di Madinah dianggap
sebagai blue print negara islam, atau
sebuah teks suci yang harus diwujudkan, itu akan menjadi tantangan tersendiri,
karena ternyata sebentuk Madinah pada zaman Nabi selain menerapkan ajaran
Islam, juga menerapkan beberapa praktik “jahiliyah” yang dianggap tidak
bertentangan dengan spirit ajaran Islam. Baik ajaran islam (yang berusumber
wahyu), maupun praktik jahiliyah (yang bersumber rasio setempat) keduanya ada
pada praktik pengorganisasian Madinah. Beberapa contohnya dipaparkan dalam buku
ini. Ajaran Islam memang berlaku universal dan sepanjang masa, namun tidak
demikian halnya dengan praktik jahiliyah tersebut. Ketika praktek jahiliyah itu
dielaborasi dalam bentuk negara modern sekarang ini, tentunya akan tidak
sinkron lagi.
Pada bagian
kesimpulan, buku ini menegaskan beberapa hal. Pertama, bahwa Islam sebagai
agama tidak dipungkiri memberikan andil yang signifikan bagi perubahan
tatananan masyarakat di semenanjung Arabia pada khususnya dan dunia pada
umumnya. Salah satu andil itu adalah menjadi gaya setripetal terbentuknya
pengorganisasian masyarakat yang secara evolutif berkembang menjadi sebentuk
negara (jauh setelah Rosululloh saw wafat).
Kedua, persepsi
sebagian pemikir muslim tentang “negara Madinah” sebagai format baku negara
Islam atau negara kekhalifahan, yang wajib dicontoh oleh kaum muslimin,
merupakan persepsi yang mengabaikan realitas sosiologis masyarakat Arab saat
itu. Realitasnya adalah bahwa negara madinah lebih mirip embrio negara
ketimbang negara itu sendiri. Ia lebih merupakan “proses pembentukan”, sehingga
tidak ideal jika dijadikan format baku “produk” berupa negara.
Ketiga,
alih-alih menjadikan bentuk Negara Madinah sebagai format baku, konsep
bernegara Islam akan lebih make sense
jika menggunakan konsep mashlahah
pada konteks Maqashid al-Syariah yang
diusung Imam Asy Syatibi. Itu berarti konsep bernegara di daerah-daerah kaum
muslimin bisa berbeda-beda, tergantung pada kondisi sosial masing-masing
tempat. Oleh karena itu, menurutnya ketimbang istilah “Islam adalah agama
dan negara”, akan lebih tepat jika digunakan istilah “Islam adalah agama dan dunia”.
Secara
subjektif, saya merasa bahasa yang digunakan dalam buku ini cukup mudah
dipahami. Meski didasarkan pada tesis doktoral, penjelasan yang disampaikan
penulis tidak terkesan rumit dan berbelit-belit. Pada beberapa hal, bisa jadi
ada beberapa hal yang tidak disepakati, namun saya kira itu masih dalam batas
toleransi. Selain itu, meski sebagian statemennya punya kemiripan dengan argumen yang
disampaikan kaum sekuler dan islam liberal, buku ini bukanlah buku liberal.
Buku ini masih mengajak pembacanya untuk menghormati otoritas wahyu dan
kehidupan Rosululloh saw yang mulia untuk dijadikan sumber prilaku. Akhir kata,
buku ini very recommended untuk
dibaca oleh orang yang memiliki ketertarikan dengan pergerakan islam, sejarah
Islam, serta yang ingin memperkaya wawasan seputar dunia Islam.
NB: bacalah
buku ini dengan itikad serta prasangka baik
Comments
Post a Comment