Agama yang Ditinggalkan?
Rel Perjalanan |
Sungguh, sebuah malapetakalah yang akan terjadi saat manusia meninggalkan aspek transenden dalam kehidupannya. Dan ironinya, hal itulah yang mau tidak mau, suka tidak suka terjadi di dunia kita saat ini. Seringkali saat seseorang ditanyai tentang hal yang paling berharga dalam hidupnya, Faith (keimanan) seringkali berada pada urutan kesekian, didahului oleh para pesaingnya seperti popularitas, kedudukan, kekayaan, prestise, dan seterusnya. Trend untuk berbicara mengenai hal-hal yang religius menjadi momok yang dapat dikatakan menakutkan bagi sebagian orang.
Konsep keberagamaan yang dikenal saat ini barangkali dianggap sebagai sesuatu yang terlalu tinggi untuk dibicarakan, sehingga manusia kotor tak pernah punya hak untuk mengaksesnya. Agama dinilai sebagai spirit pribadi yang tak sembarang orang boleh membicarakannya, apalagi jika sampai dibawa pada pembicaraan umum. Di sisi lain, ada pula yang menganggap agama sebagai biang kerok dari segala kekerasan yang terjadi di plant bumi ini. Terorisme dan agama seolah dianggap sebagai saudara kembar yang oleh karena itu selayaknya dijauhi. Agama pun kerap dinilai sebagai tangan yang merampas kebebasan seseorang dalam mengekspresikan dirinya. Menghalangi seseorang untuk mendapatkan ‘kebahagiaan’ dengan adanya berbagai larangan. Pada akhirnya, agama menjadi tumbal dari banyak sekali keluhan negatif yang dimiliki manusia.
Adanya alergi terhadap konsep keberagmaan pada sebagian anggota masyarakat inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu pupuk yang menyuburkan pertumbuhan sekulerisme di dunia, di mana ranah agama semestinya dipisahkan dari ranah publik. Agama dipandang sebagai private area yang aksesnya terbatas untuk individu. Dan sekali lagi pembicaraan di agama di ranah publik dianggap sebagai hal yang eksklusif. Paling ‘banter’ forum agama hanya ada dalam pengajian-pengajian.
Tanda-tanda dari hal di atas dapat kita temui dengan jelas di masyarakat kita. Tak hanya Islam, nyaris seluruh ‘agama’ di dunia yang notabene memiliki norma-norma yang mengikat pemeluknya cenderung kehilangan peminat. Persis seperti ditinggalkannya olahraga balap karung pada perayaan ‘Tujuh belasan’ di kota-kota besar. Maraknya praktik-praktik perzinaan yang diekspos secara terbuka, pencurian, korupsi, judi, dan berbagai hal lainnya yang melanggar norma menjadi sesuatu yang biasa kita dengar dan saksikan.
Kesemua itu tidak akan dapat diperbaiki hingga kesadaran akan pentingnya eksistensi agama kembali muncul. Manusia seharusnya menyadari kembali bahwa suatu saat ia akan mati. Dan bagi orang-orang yang yakin, kematian tersebut adalah pintu bagi kehidupan berikutnya yang abadi dan menentukan kesuksesan atau tidaknya seorang manusia. Jangan sampai kehidupan abadi tersebut kita jalani dalam keadaan yang buruk.
Wallohua’lam bishowab
Comments
Post a Comment