Harvest Moon

Bagi para penggemar game, nama Harvest Moon mungkin menjadi salah satu nama game yang akrab di telinga. Tidak seperti kebanyakan game lainnya, Harvest Moon tidak menyuguhkan adegan perkelahian bela diri, pertempuran, adu balap, ataupun pertandingan olahraga sebagai nilai jualnya. Harvest Moon bercerita tentang kehidupan seorang petani biasa yang berusaha untuk memakmurkan lingkungannya. Permainannya bertumpu pada strategi pengelolaan lahan pertanian atau peternakan yang dimulai dengan modal ala kadarnya untuk berkembang menjadi sebuah “farm” yang maju. Bagi sebagian orang, keasyikan permainan ini terletak pada situasi realistis yang dibangun, adanya interaksi karakter utama dengan tokoh-tokoh lainnya, serta proses yang dilakukan untuk memiliki sebuah “farm” yang maju. 

Setidaknya ada nilai edukasi penting yang dapat dipetik dari game ini: bahwa terdapat mekanisme alam yang tetap berlaku, di mana kita hanya akan memetik apa yang telah kita tuai. Apa yang terjadi pada diri kita di masa depan adalah akumulasi dari keputusan-keputusan kita di masa lalu dan hari ini. Dengan kata lain, ada tahapan yang tidak bisa tidak harus dilalui. Sebagaimana dibutuhkan waktu yang tidak singkat untuk menjadikan benih yang ditanam untuk tumbuh menjadi pohon yang berbuah ranum.

Sungguh beruntung orang-orang yang mampu menikmati proses pendewasaan dirinya dan menyadari bahwa tak ada keberhasilan yang dapat dicapai dengan sistem kerja Sangkuriang. Apabila keberhasilan dianalogikan sebagai sebuah bangunan kokoh dengan segala perkakasnya, maka ia membutuhkan ratusan atau bahkan ribuan batu bata, pasir, semen, kayu, dan lainnya. Ia membutuhkan pondasi yang kokoh, tiang yang mampu menyangga seluruh beban, atap yang melindungi, ventilasi yang menyejukkan, beserta perangkat lain yang dibutuhkan untuk menjadikannya sebuah bangunan. Dan sekali lagi, membangun sebuah bangunan megah bukanlah pekerjaan satu malam. Sunnatullah masih tetap dan akan terus berlaku.

Dalam proses menuju kedewasaan sesungguhnya dibutuhkan konsistensi. Hal-hal besar akan niscaya terjadi apabila dibangun dari kemampuan kita merealisasikan hal-hal kecil dalam hidup kita. Sederhananya, tak ada angka 10 tanpa angka 9 dan tak ada angka 9 tanpa angka satu. Nilai 9 adalah akumulasi dari angka satu dan memang seperti itulah proses. Adalah ironi ketika kita bermimpi tentang sebuah perubahan, perbaikan menyeluruh yang ingin kita lakukan, namun kita alpa untuk memulainya dari lingkaran terdekat kita, diri kita sendiri dalam keseharian kita.

Saat ini, kita bisa melihat banyak saudara-saudara kita yang terjebak pada pola pikir serba instan yang menginginkan perubahan segalanya dalam waktu cepat, kendati tidak ditopang oleh pondasi perubahan yang kokoh. Barangkali salah satu fenomena yang dapat dijadikan contoh adalah maraknya pencalonan diri untuk menjadi calon anggota legislatif di pemilu mendatang. Alasan paling umum dari banyak pencalonan diri mereka adalah bahwa mereka merasa ‘terketuk’ untuk merubah bangsa ini. Dan jalur politik dianggap sebagai jalur yang mampu melakukan ‘revolusi’ semacam itu. Di sisi lain, saya pikir tidak sebanyak itu orang yang memiliki cita-cita sama namun lebih memilih jalur kesehatan, ekonomi, pendidikan, budaya atau bahkan seni karena hal-hal tersebut dianggap lambat.

Pemahaman seperti ini saya kira sebagai pemahaman yang belum komprehensif, karena bagaimanapun juga, dunia dan kehidupan di dalamnya adalah sebuah rangkaian sistem. Tiap gugus elemennya memiliki pengaruh terhadap gugus yang lain. Namun ada sisi di mana perubahan konstelasi dalam sistem tidak dapat dilakukan hanya oleh satu variabel saja, tetapi seluruh atau paling tidak sebagian besar variabel.

Sungguh, berpikir semata-mata melakukan segalanya dengan serba instan hanya menyebabkan kerangka yang rapuh dan tak lama bertahan. Oleh karena itu sekali lagi, bahwa tujuan yang ingin kita capai selayaknya ditempuh dengan prosedur alamiah, meskipun akan menguras sumberdaya dan mungkin menghabiskan waktu yang tidak sedikit. Namun pada akhirnya, mekanisme alamiah pula lah yang akan memanggil kita untuk memetik hasilnya. Seolah mengatakan, inilah “harvest moon...”

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?