Fenomena Kritik terhadap Da'i di TV


Belakangan ini kita banyak saksikan fenomena Ustad/penceramah di televisi. Dari mulai yang punya rubrik khusus kajian di TV setiap hari, sampai kompetisi Da'i seperti yang di ANTV. Beberapa hal yang kurang pas sangat mungkin sudah kita saksikan atau ketahui. Yang kurang pas itu bisa berwujud penetapan tarif gede untuk ceramah yang dilakukan (jadi mirip artis), doyan masuk infotainment (jadi mirip artis juga), cara penyampaian yang kurang pas, track record keilmuan yang kurang meyakinkan, hingga yang hanya mengutamakan retorika namun cenderung abai pada kedalaman substansi ceramah. Kita sepakat itu buruk bukan?
Terkadang terbesit di hati kita keinginan untuk mengkritik kekurangpasan yang ada, namun kritik yang kita sampaikan itu cenderung terbuka, frontal dan tak peka situasi. Efek yang dirasakan masyarakat justru kontraproduktif. Adanya kritik yang disampaikan secara demikian akan seolah menciptakan pesan: jangan tonton ceramahnya si ustad anu, atau si ustad ini. Yang saya saksikan di masyarakat (khususnya yang terjangkau pengamatan saya), keberadaan para "da'i" di televisi masih cukup dibutuhkan, minimal untuk menjangkau masyarakat muslim yang sangat awam pada Islam. Mengapa saya katakan demikian? Pertama, dalam aspek keseharian, budaya kajian keislaman di masyarakat masih sangat minim. Tidak seperti kita, akses mayoritas masyarakat terhadap ilmu keislaman masih begitu terbatas. Tak terlalu banyak yang bisa mengikuti kajian rutin pekanan. Kalau kita sering memperhatikan acara kajiannya Mamah Dedeh, kita bisa cermati bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan seringkali perkara kecil dan remeh. Saya kira memang begitulah realitas masyarakat kita. Bayangkan, untuk perkara remeh saja mereka membutuhkan konsultasi. Bukankah itu tanda bahwa masyarakat kita butuh dakwah yang lebih gencar lagi?  
Kedua, terlepas dari kapasitas keilmuan para “ustad” di kesehariannya, setidaknya yang mereka sampaikan ke publik adalah hal-hal yang baik. Mereka tidak mengajarkan atau menganjurkan maksiat. Jikapun ada konsep fiqh yang mereka usung, setidaknya konsepnya sama dengan yang juga diusung oleh para ulama lainnya. Artinya mereka tidak mereka-reka konsep fiqh sendiri. Mereka tidak mengeluarkan fatwa. Mereka menyampaikan kebaikan yang mereka ketahui. Bukankah Rosululloh memerintahkan kita untuk berdakwah meski yang kita tahu hanya 1 ayat? Jika pun ada yang keberatan pada atribut Ustad yang disematkan pada mereka, itu urusan lain. Lagipula itu hanya atribut. Mau atributnya cendekiawan kah, ustad kah, kyai kah, ulama kah, yang jelas jika ada seorang muslim yang berusaha menyampaikan kebaikan, maka patut kita hargai. Betul kan?
Maka hal yang menurut saya perlu kita perhatikan adalah penyampaian kritik itu sendiri. Mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati adalah baik, namun kita perlu juga memperhatikan adab memberi kritik, terlebih objek kritik itu sendiri adalah saudara kita juga sesama muslim. Jangan sampai kritik-kritik yang kitas sampaikan menjadi kritik yang tak jelas dan tak tepat sasaran. Walhasil kritik kita tidak sampai ke objek kritiknya langsung, tapi malah mengalir menjadi pergunjingan (ghibah) yang dilarang dalam Islam. Kita pun harus mengedepankan budaya tabayun, kroscek, dan bijak dalam memberi justifikasi. Dalam kasus Ustad Solmed misalnya. Benarkah ia sudah berkhalwat dengan wanita non muhrim, pergi hura-hura dan sebagainya? Atau dalam kasus Ustad Nur Maulana, sejauh apa sebenarnya wewenangnya dalam produksi acara? Apakah ia punya kuasa untuk melarang datangnya artis tak berjilbab untuk membaca Al Qur’an? Proses tabayun mutlak ada sebelum ada justifikasi yang dilayangkan pada publik.
Usia kaum muslimin memang tua, tapi sepertinya harus terus menempa dirinya agar selalu dewasa. Dewasa dalam amar ma’ruf nahi munkar. Dewasa menentukan siapa lawan dan siapa kawan. Dewasa dalam berkerja sama dan bersinergi antar komponennya. Dakwah dalam melihat problematika dirinya. Dewasa dalam eksekusi tindakan. Dewasa dalam memajukan dan menegakkan agama yang sudah Alloh turunkan. Semoga kita termasuk kaum muslimin yang dewasa.

Comments

  1. Setuju saya bang min.
    Bahkan yang lebih parah ketika dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
    Rasanya gerah sekali melihat hal-hal tersebut.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?