The Panama Papers: Breaking the Story of How the Rich & Powerful Hide Their Money [Resensi]



----------
Penulis: Bastian Obermayer & Frederik Obermaier
Penerbit: Oneworld Publication
Cetakan: 2017
Tebal: 390 halaman
----------

Pegunungan Simandou di Afrika Barat merupakan salah satu wilayah yang memiliki cadangan bijih besi terbesar di dunia. Pada era 1990-an, Pemerintah Guini (Guinea) pernah memberikan izin konsesi kepada Rio Tinto untuk melakukan aktivitas pertambangan di sana. Pada tahun 2008, Pemerintah Guini secara mendadak membatalkan izin ini dan mengalihkannya ke perusahaan lain, Beny Steinmetz Group Resources (BSGR). Setahun kemudian, BSGR menjual separuh dari lini bisnisnya di Simandou ke Vale (perusahaan tambang lainnya) seharga $2,5 miliar.

Ada beberapa fakta yang membuat rentetan peristiwa ini menjadi terasa ironis. Pertama, BSGR berdasarkan track recordnya bukanlah perusahaan pertambangan bijih besi, melainkan perusahaan pertambangan berlian. Kedua, BSGR tidak membayar apapun ke Pemerintah Guini kecuali hanya janji bahwa mereka akan berinvestasi sebesar $165 juta di masa depan. Ketiga, Presiden Guini, Lansana Conte, meninggal dunia selang beberapa hari setelah penandatanganan pemindahan hak konsesi tersebut. Keempat, Guini pada waktu itu adalah negara miskin. IPM-nya ranking 179 dari 187 negara. Total APBN-nya saat itu hanya $1,2 miliar. Dengan kata lain, BSGR bisa menerima dua kali lipat nilai APBN Guini hanya dari penjualan separuh aset bisnis mereka di Simandou saja! 

Paska munculnya Panama Papers ke hadapan publik, konstruksi kasus Simandou ini pun akhirnya menjadi lebih jelas. Terdapat bukti bahwa terjadi praktik suap dalam pengalihan izin konsesi BSGR tersebut. Yang menarik adalah bagaimana perpindahan uang dan perintah itu dilakukan. Lansana Conte menerima uang dari isterinya. Isterinya mendapat uang melalui perusahaannya, Matinda. Matinda mendapat uang tersebut dari perusahaan lain, Pentler Holdings, dengan dalih kontrak kerja sama. Pentler Holding sendiri adalah anak perusahaan dari Onyx, dan Onyx ini adalah perusahaan milik bos-nya BSGR. Publik yang hendak menelusuri jejak aliran suap ini akan mengalami kesulitan, bukan hanya karena subyeknya yang berlapis tapi juga karena Matinda dan Pentler Holdings adalah dua “shell company” yang didirikan di British Virgin Islands, negara yang dikenal sebagai salah satu tax haven. Menelusuri siapa yang ada di balik perusahaan semacam itu, tanpa ada dukungan dokumen seperti Panama Papers ini ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami.

Kasus suap peralihan konsesi Simandou hanya satu dari belasan kasus yang diceritakan dalam buku ini. Beberapa diantaranya adalah kasus korupsi Perdana Menteri Islandia, kasus suap hak siar yang melibatkan UEFA dan FIFA, kasus pengemplangan pajak salah satu pemain bintang sepak bola, kasus penggelapan uang hasil kegiatan prostitusi anak di Rusia, sampai motif kasus pembunuhan yang melibatkan isteri petinggi partai Komunis Tiongkok. Dari kesemua itu, ada kesamaan irisan yang muncul di semua kasus: eksistensi shell company. 

Shell company (Shellcom), atau yang diterjemahkan sebagai perusahaan cangkang, adalah perusahaan yang hanya ada di atas kertas. Mereka berbadan hukum, memiliki alamat, punya direktur, dan punya pemilik sebagaimana perusahaan pada umumnya. Oleh karenanya mereka juga berhak untuk membuat akun bank di berbagai negara. Tapi Secara de facto mereka sesungguhnya tidak melakukan kegiatan bisnis apa-apa. Mereka eksis hanya untuk mewadahi aliran uang. Itu mengapa Shellcom tumbuh subur di negara Tax haven, seperti British Virgin Islands, Panama, Kepulauan Cayman, Kepulauan Cook, Bahama, dst. 

Di negara seperti ini, aturan kepemilikan sangat longgar namun pada saat yang bersamaan juga sangat tertutup. Seseorang bisa saja tercatat sebagai direktur atau bahkan pemilik suatu Shellcom, namun mereka tidak memiliki akses terhadap rekening banknya. Yang memegang adalah pemilik sesungguhnya yang tidak tercatat di akte. Maka tidak heran, banyak orang yang lantas menggunakan Shellcom ini untuk menutupi jejak kepemilikan asset mereka. Motifnya beragam mulai dari menghindari sorotan publik, mengalihkan hak waris ataupun harta gono-gini, menghindari pajak, melakukan pencucian uang, hingga untuk menutupi suap dan menggelapkan uang publik. Maka tak heran shellcom menjadi poros dari semua skandal yang terungkap dari Panama Papers.

Panama Papers sendiri merupakan giga-arsip dari surat-surat, akta, foto, salinan email, dsb milik Mossack Fonseca (Mossfon), sebuah firma hukum berskala global yang berpusat di Panama. Salah satu layanan yang diberikan Mossfon kepada kliennya adalah menyediakan shellcom untuk berbagai kepentingan. Ketika giga-arsip ini bocor, diketahuilah bahwa Mossack Fonseca beserta shellcom yang mereka kelola ternyata terlibat dalam berbagai kasus penting di seluruh dunia.

Bocoran ini awalnya disampaikan oleh seorang informan anonim kepada dua orang wartawan Suddeutsche Zeitung, sebuah surat kabar Jerman. Singkat cerita, karena seiring waktu semakin banyak data yang dibocorkan maka investigasi pun berkembang dengan melibatkan ICIJ (International Consortium for Investigative Journalism) dan ratusan wartawan dari puluhan negara. Mereka membangun database, sistem jejaring komunikasi sendiri, hingga protocol keamanan khusus agar investigasi mereka tidak terendus sebelum waktunya. Ketika dokumen tersebut diungkap ke publik pada April 2016, dunia pun gempar. Bukan hanya karena banyak melibatkan tokoh-tokoh penting, tetapi juga karena luasnya coverage kasus, mulai dari Amerika Latin, Eropa, Afrika, Timur Tengah, hingga Asia. 

Dalam hitungan Minggu, isu penghindaran pajak menjadi bahasan penting dalam pertemuan G20, audit, penyidikan, maupun penuntutan berlangsung di banyak negara, demonstrasi pecah di berbagai tempat, dan para pejabat publik serta para bankir senior di berbagai institusi dipaksa mundur karena diduga atau terbukti terlibat dalam skandal di negaranya masing-masing. Per November 2016, berdasarkan informasi dari ICIJ, ada 6520 orang maupun badan hukum yang diperiksa di seluruh dunia karena Panama Papers. Selain itu ratusan juta dollar berhasil disita, dan hampir 100 negara yang terdampak karenanya.

Panama Papers sejatinya hanya mengungkap dokumen milik Mossfon, dan saya pribadi cukup terkejut bagaimana sebuah firma hukum bisa seberpengaruh itu. Klien mereka adalah orang-orang penting dan coverage mereka adalah seluruh dunia. Kabar buruknya, Mossfon bukan satu-satunya firma hukum yang menyediakan layanan serupa. Panama Papers bisa jadi sekedar pucuk gunung es yang meniscayakan skandal-skandal lain yang belum terungkap. 

Dari buku ini saya belajar beberapa hal. 
Pertama, saya belajar tentang cara kerja para elit global, kalangan The Have, dalam mengelola harta kekayaan mereka. Orang-orang semacam ini seolah hidup di dunia yang berbeda dengan kita. Kalau di kartun Avatar ada kelompok orang yang bisa memanipulasi elemen api, air, angin dan tanah, maka di sini ada kelompok orang yang bisa memanipulasi hukum, dengan bantuan firma hukum dan kendaraan berupa shellcom. Ketika mereka ingin membeli mansion mewah misalnya, mereka bisa menggunakan shellcom sebagai perantara agar terhindar dari pajak dan catatan di laporan harta kekayaan. Maka bukan sesuatu yang aneh apabila yacht, mobil, villa, apartemen, atau asset tertentu tercatat dimiliki bukan oleh perorangan tapi oleh perusahaan. Bukan untuk disewakan, melainkan hanya untuk menyamarkan kepemilikian yang sebenarnya.

Kedua, saya semakin sadar bahwa dunia semakin membutuhkan keterbukaan. Adanya kalangan yang bisa lolos dari hukum tidak hanya mengusik rasa ketidakadilan tapi juga memperparah kesenjangan. Terlebih ketika kalangan tersebut adalah pemilik dari sebagian besar kekayaan di dunia. Tanpa perlakuan hukum yang level, kekayaan besar tadi hanya akan mengendap di kalangan mereka saja sementara society tidak memperoleh apa yang menjadi haknya. 

Keterbukaan juga terkait dengan isu keamanan. Pihak yang bisa menggunakan shellcom untuk menutupi aliran uang bukan hanya mereka yang bermotif ekonomi, tetapi juga yang bermotif politik. Shellcom bisa digunakan untuk menutupi aliran dana organisasi terror, para mafia, para organisasi k riminal, hingga para milisi yang direkrut untuk memberontak. Keterbukaan terkait pemilikan dan aliran dana antar negara akan membantu mempersempit ruang gerak mereka.

Ketiga, saya juga belajar mengenai peran penting jurnalisme sebagai pilar demokrasi, sekaligus vitalnya eksistensi para whistleblower. Berbagai kasus yang terungkap dari Panama Papers tidak akan terkuak tanpa peran mereka. Butuh kejelian, kesabaran, dan rasa keadilan yang tinggi untuk mengangkat sebuah kejanggalan muncul ke permukaan. Dan risiko yang mereka hadapi juga besar. Di buku ini diceritakan bagaimana sebagian wartawan yang terendus berperan dalam proyek Panama Papers mendapatkan tekanan, pemecatan dari posisinya, hingga ancaman pembunuhan. Oleh karena itu mereka butuh perlindungan dan dukungan. Di tengah maraknya media abal-abal, penyusun konten clickbait, dan para traffic-centris, eksistensi para jurnalis investigasi ini merupakan oase. Mereka jarang terdengar. Tapi mereka hero.

Keempat, saya belajar untuk tidak naïf dalam memandang sesuatu. Berbagai kasus yang diungkap di buku ini banyak menghadirkan person-person yang tampak innocent di depan layar, namun buas di belakangnya, atau setidak-tidaknya dikelilingi oleh orang-orang buas. Sikap waspada dan skeptik perlu didahulukan sebelum menilai sebuah citra. Bagaimana seorang anggota sekaligus pendiri komite etik FIFA ternyata justru melakukan pelanggaran etik. Bagaimana seorang pemimpin organisasi amal ternyata juga seorang kriminal. Tidak tanggung-tanggung, dia mengadopsi dua orang anak dari panti asuhan kemudian memanfaatkannya dalam bisnis prostitusi. Ironis? Itulah dunia yang kita huni saat ini.

Akhir kata, buku ini saya kira memang cukup pantas menyandang gelar international best seller. Tidak heran pula bila kedua penulisnya, Bastian Obermayer dan Frederik Obermaier, dua orang yang memperoleh bocoran pertama Panama Papers, kemudian memenangkan penghargaan Pulitzer Tahun 2017 untuk kategori Explanatory Reporting. Narasi dalam buku ini pun mengalir. Kronologi pengungkapan dokumen hingga terbentuknya proyek bersama ICIJ dan wartawan lintas negara diceritakan secara runut. Kasus-kasus yang terekspos dipaparkan secara sangat sistematis sekaligus mendalam sehingga pembaca bisa dengan mudah memahami konstruksinya. Barangkali buku ini menjadi standar baru bagi saya dalam menilai tulisan bergenre jurnalistik investigatif.

Meskipun Panama Papers sudah diungkap hampir setengah dekade yang lalu, tapi menurut saya temanya masih sangat relevan. Masih sangat banyak PR yang belum tuntas. Dengan melihat apa yang terjadi di saat itu, kita bisa memproyeksikannya ke masa kini dan masa depan sehingga lebih waspada. Uang, politik, jaringan adalah tiga hal yang tidak bisa kita pandang secara terpisah. Dari Panama Papers kita bisa semakin sadar bahwa integritas personal itu penting. Tapi yang lebih penting lagi, adalah bagaimana kita meng-create sistem yang memungkinkan integritas itu lestari.

Wallohua’lam.

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?