Berinteraksi dengan Al Qur'an [Resensi]
Saya
lupa sudah sejak kapan buku ini ada di rak buku. Lungsuran dari orang tua.
Dibeli ketika saya masih remaja. Dan sudah beberapa kali dibaca, tapi tidak
pernah tuntas dari awal sampai akhir. Selama ini saya baca sporadis saja, hanya
bab-bab yang saya anggap menarik saat itu. Qodarulloh baru kali ini Alloh
gerakkan hati. Karena bulan ini anggaran beli buku agak minim akibat WFH,
perhatian saya beralih ke tumpukan buku-buku yang belum tuntas dibaca.
Buku
ini adalah terjemahan dari yang aslinya berjudul Kaifa Nata’amalu Ma’al
Qur’anul ‘Azhim, karya Yusuf Qardhawi. Terbitan Gema Insani Press, Tahun 1999.
Tebalnya 656 halaman.
Tentang
penulis, beliau bukan nama asing di kalangan orang yang dekat dengan dunia
pergerakan, khususnya pergerakan Islam. Beliau adalah sosok ulama asal Qatar
yang selama ini dikenal moderat, meskipun beberapa tahun ke belakang menjadi cukup
kontroversial. Beliau pernah menjadi anggota komisi fikih Rabithah Alam Al
Islami, semacam organisasi ulama tingkat dunia sebelum diberhentikan menyusul
nama beliau yang masuk ke dalam “daftar teroris”. Namun bagi saya kontroversi
itu lebih bersifat politis ketimbang ideologis, dan tidak cukup untuk
menegasikan kapasitas keualamaan beliau.
Tulisan,
ceramah, dan buku-buku beliau amat banyak. Saya punya cukup banyak, salah
satunya Fatwa-fatwa Kontemporer yang menjadi pembentuk dasar keislaman saya
sejak remaja. Jadi boleh dibilang, saya salah seorang pengagum beliau.
Kalaulah
buku ini boleh saya beri judul baru untuk merepresentasikan isinya secara keseluruhan, barangkali saya akan beri judul
Pengantar Studi Al Qur’an mengingat luasnya cakupan pembahasan dalam buku ini.
Secara umum buku ini terdiri dari empat bab. Bab pertama bercerita tentang
karakteristik dan fungsi Al Qur’an dalam perspektif Islam, lalu Bab kedua
berisi anjuran serta adab-adab dalam berinteraksi dengan Al Qur’an mulai dari
membaca, mendengarkan bacaan, sampai dengan menghafalkannya. Kemudian Bab ketiga
berisi pembahasan mengenai kaidah dalam manfsirkan dan memahami Al Qur’an, dan
terakhir Bab IV ditutup dengan pembahasan tentang serba-serbi aktualisasi isi
Al Qur’an.
Karena
beragamnya aspek yang dibahas dari dalam buku ini, saya pribadi agak kesulitan
bila diminta untuk merangkum. Namun secara subyektif ada beberapa hal yang bagi
saya cukup menarik untuk di-highlight.
Pertama,
terdapat dua pendekatan umum dalam menafsirkan Al Qur’an, yakni 1) tafsir riwayat
(bil ma’tsur) dan 2) tafsir dirayah (bir ra’yi). Tafsir riwayat adalah tafsir
yang dirujuk dari nukilan pendapat atau pemahaman kaum salaf, baik itu para
sahabat nabi maupun tabi’in. Sedangkan tafsir dirayah adalah tafsir yang
dihasilkan berdasarkan olah pikir yang didukung perangkat keilmuan tertentu.
Masing-masing
pendekatan ini ada plus minusnya, misalnya pada tafsir riwayat ada banyak yang
kualitas riwayatnya tidak mencapai derajat shohih, selain itu kadang muncul
beragam pendapat antara satu sahabat dengan sahabat lainnya, atau antara satu
tabi’in dengan tabi’in lainnya. Adapun pada tafsir dirayah, kekurangannya ia sangat
tergantung pada integritas, kecakapan dan keilmuan si penafsir. Oleh karenanya
tidak jarang tafsir dirayah ini menghasilkan simpulan yang aneh dan
mengada-ada. Oleh karena itu, Yusuf Qardhawi beranggapan bahwa metode paling
ideal dalam menafsirkan Al Qur’an adalah dengan menggabungkan keduanya.
Kedua,
yang saya beri highlight, adalah tentang beberapa kekeliruan dalam memahami Al
Qur’an. Salah satu yang cukup sering ditemui adalah menggunakan nash Al Qur’an
di luar konteksnya. Seseorang berdalil dengan suatu ayat tentang suatu perkara,
padahal sejatinya ayat tersebut berbicara soal perkara lain. Salah satu
penyebab kekeliruan ini adalah sikap menempatkan Al Qur’an pada posisi sekunder
dalam membangun pemahaman, bukan primer. Sehingga alih-alih dijadikan sumber
pemahaman, Al Qur’an justru dijadikan justifikasi atas pemahaman yang
sebelumnya sudah ada di kepala si penafsir. Sebagai contoh, ini terjadi pada
pendapat kontemporer yang menurut penafsir tertentu, Al Qur’an melarang
poligami. Pendapat ini berdasar pada QS An Nisa: 129 yang mengatakan bahwa
lelaki itu tidak bisa berlaku adil, sementara adil adalah syarat untuk bisa
melakukan poligami, sesuai ayat sebelumnya QS An Nisa: 4. Padahal, apabila
ayat-ayat tersebut dibaca secara utuh dan berkesinambungan pembaca akan
memahami bahwa kata adil di kedua ayat tersebut memiliki konteksnya
sendiri-sendiri.
Di era
internet seperti sekarang, model penafsiran yang sejenis tidak terlalu sulit
untuk ditemukan. Bukan hanya menghasilkan simpulan yang sama sekali tidak
dikenal di zaman dahulu, tetapi juga tidak dibackup dengan kaidah tafsir yang
benar. Zaman sekarang kita istilahkan dengan cocokologi. Hujjahnya adalah
perasaan. Kalau ada dalil yang dirasa cocok, maka ia diambil meski di luar
konteks asalnya. Semoga kita semua dijauhkan dari perilaku demikian.
Highlight
ketiga, adalah tentang tafsir ilmiah dalam Al Qur’an. Beberapa kalangan cukup
percaya diri dengan mengatakan bahwa Al Qur’an sejalan dengan sains modern. Apa
yang tertera dalam Al Qur’an sejak dahulu ternyata compatible dengan temuan
mutakir sains, sebut saja misalnya teori Big Bang, proses perkembangan embrio,
ataupun fungsi gunung dalam menahan gerakan lempeng bumi. Pendapat tersebut
tidak sepenuhnya keliru, hanya saja Yusuf Qardhawi mewanti-wanti agar siapapun
yang memiliki pendapat tersebut perlu berhati-hati.
Perlu
diingat bahwa Al Qur’an bukanlah kitab sains sehingga kita tidak bisa berekspektasi
di dalamnya akan ditemukan penjelasan detil tentang sains. Ekspektasi semacam
ini kadang membuat sebagian kalangan menafsirkan/memaknai kosakata Al Qur’an di
luar kaidah bahasa Arab. Misalnya QS Al Anbiya: 44, yang secara harfiahnya berbicara
tentang pengurangan luas negeri namun ada pihak yang menjadikannya dalil bahwa
bentuk bumi itu bulat pepat. Selain itu, sains merupakan sesuatu yang dinamis.
Ada yang sifatnya sudah menjadi hukum, namun ada pula yang sifatnya masih hipotesis/prediksi.
Hal-hal tertentu yang sekarang dianggap benar bisa jadi dianggap using di masa
depan diganti dengan pemahaman baru. Sehingga, tidak patut kita memposisikan Al
Qur’an untuk menjustifikasi hal-hal yang bersifat prediktif tadi.
Highlight
keempat adalah tentang memberikan porsi perhatian terhadap suatu persoalan
sesuai dengan porsi Al Qur’an membahasnya. Semakin sering suatu hal dibahas
dalam Al Qur’an maka menurut Qardhawi semakin tinggi pula derajat
kepentingannya. Dalam buku ini dicontohkan, bahwa beliau pernah mengkritik seorang
syaikh yang memberi pengajian di suatu perkampungan di Arab yang pada saat
Bulan Ramadhan hanya membahas tentang thoharoh (bersuci). Bagi Qardhawi hal
tersebut cukup disayangkan karena aspek Thoharoh hanya dibahas dalam dua ayat
Al Qur’an, jauh lebih sedikit ketimbang aspek jihad misalnya. Oleh karena itu
membahas fiqh thoharoh namun abai dari membahas jihad adalah tindakan yang
tidak proporsional.
Demikian
pula dengan hal lainnya. Adanya pengulangan di berbagai tempat dalam Al Qur’an
terhadap kisah tertentu, sebut saja kisah tentang Nabi Musa dan Fir’aun, kisah
Nabi Ibrahim as, kisah-kisah kaum yang diazab akibat ingkat terhadap risalah
para nabi, dan sebagainya, tentu mengandung hikmah bahwa Al Qur’an seolah ingin
agar pembacanya lebih banyak mengambil pelajaran dari kisah tersebut.
Di
samping berbagai highlight tersebut, ada pula beberapa pelajaran yang bisa
diambil. Salah satu pelajaran
penting dari buku ini adalah contoh sikap moderat yang diperlihatkan oleh Yusuf
Qardhawi. Dalam membangun sebuah pendapat, dasar beliau bukan terletak pada
personal atau mazhab tertentu, melainkan apa yang dianggap tepat secara
obyektif itulah yang beliau ambil. Beliau kerap mengumpulkan pendapat-pendapat
yang berbeda, yang pro maupun yang kontra, yang terdahulu maupun yang
kontemporer, kemudian mempertimbangkan kedudukan masing-masing pendapat. Oleh
karena itu cukup banyak ditemukan dalam buku ini di mana Qardhawi mengambil
pendapat seorang ulama terkait suatu bahasan, namun terkait bahasan lannya beliau
justru mengkritik ulama yang sama. Beliau, misalnya, mengapresiasi dan sepakat
dengan kritik Imam Al Ghazali kepada para filsuf yang menggunakan pendekatan
Aristotelian dalam memahami Al Qur’an. Namun di bahasan lain, Qardhawi justru mengkritik Imam Al Ghazali yang
dianggapnya terlalu toleran terhadap takwil yang terlalu berlebihan di kalangan
Asy’ariyah.
Pelajaran
penting lainnya adalah bahwa seseorang itu perlu berhati-hati dalam memahami Al
Qur’an. Banyak hal dalam Al Qur’an yang diberitakan secara lugas dan cukup
dipahami hanya dengan terjemahan, khususnya yang terkait akidah dan akhlak. Namun
banyak pula, khususnya aspek yang terkait hukum dan fikih, yang butuh kaidah
tertentu sebelum dia bisa dipahami. Cara paling mudah bagi kalangan awam untuk
memahami bagian yang seperti ini adalah dengan membaca tafsir yang muktabar,
atau yang sudah diterima secara luas.
Pelajaran
ketiga adalah tentang menerima adanya kemungkinan beragam penafsiran dalam Al
Qur’an. Ketika membaca banyak kitab tafsir, sangat dimungkinkan pembaca akan
menemukan perbedaan satu sama lain, baik itu dari sisi pendekatannya, aspek
yang menjadi titik tekan dalam pembahasannya, hikmah yang hendak digali, hingga
simpulannya. Dengan mengakui keniscayaan beragam penafsiran tersebut, kita
punya ruang untuk terus belajar lebih banyak dan mengambil manfaat Al Qur’an yang
tidak akan habis digali hingga akhir zaman.
Terkait
penulisannya sendiri menurut saya buku ini cukup ramah bagi kalangan awam. Jadi
siapapun yang membacanya akan bisa mengambil manfaat dengan mudah. Akan tetapi mengingat
cukup banyak pula digunakan jargon-jargon fikih dan istilah-istilah mazhab
dalam akidah, pengetahuan dasar mengenai pemikiran Islam akan membantu
pembacanya memahami buku ini dengan lebih baik lagi.
Akhir kata saya sampai
pada sebuah kesmpulan bahwa buku ini adalah asset berharga yang bisa membantu
kita untuk lebih mengenal Al Qur’an dan dekat dengan Al Qur’an. Semoga Alloh
swt memberikan keberkahan bagi penulis dan kita pembacanya.
Wallohua’lam bishowab
Maa syaa Allah baru Nemu blog mantap kayak gini. Awalnya nyari inspirasi berhenti Liqo'... Heheh waahh keluar semua, kok sesuai banget dg yg dialamin...
ReplyDeleteJazakallahu Khairan kak
Terima kasih sudah singgah mbak, semoga bermanfaat. Yang baik datang dari Alloh, yang jelek dari diri saya sendiri.
ReplyDeletemantab...
ReplyDelete