Tentang Maaf

Tao Ming Se di film Meteor Garden punya quote yang cukup fenomenal: "Kalau minta maaf ada gunanya, untuk apa ada polisi?" 

Kalau kita simak cerita filmnya, quote ini muncul dari seorang karakter yang arogan, merasa dirinya punya kuasa dan superior dibandingkan yang lain. Baginya tidak ada kata maaf. Semua kesalahan harus berakhir dengan hukuman. Hukuman ini kemudian menjadi legitimasi bahwa pihak yang kontra terhadapnya adalah pihak yang salah.

Di sisi lain kita diajarkan budi pekerti bahwa minta maaf dan memberi maaf itu memang ada gunanya. Banyak teks-teks agama baik di Al Qur’an maupun Hadits yang menganjurkan memberi maaf dan keutamaan orang yang melakukannya. Bahkan kisah Rosululloh shollallohu‘alaihi wasallam dan para sahabatnya penuh dengan cerita-cerita semacam itu. Sebut saja dua diantaranya yakni doa beliau di Thaif setelah diusir dan dipersekusi, dan ucapan beliau ketika Fathu Makkah.

Lalu sebagian kita mencoba mengompromikan pendekatan ala Tao Ming Se itu dan anjuran agama untuk memberi maaf dengan istilah yang diperhalus dan sedikit diplomatis: "Secara pribadi mereka kita maafkan, tapi proses hukum jalan terus untuk memberikan pendidikan buat masyarakat". 

Saya tak hendak menyalah-nyalahkan sikap seperti ini. Tapi tolong beritahu saya apakah ini pernah ada contohnya di zaman Nabi? Sepengetahuan saya konsekuensi dari maaf itu jelas dan konsekuensi dari tidak dimaafkan itu jelas. Tidak ambigu.

Itu kemudian alasan mengapa memaafkan menjadi hak. Tidak memaafkan pun hak. Ini tercermin dari bagaimana Islam menempatkan hukum Qishosh. Seseorang yang diputuskan bersalah oleh pengadilan atas kejahatan membunuh, akan dihukum dengan cara dibunuh. Akan tetapi hukuman mati ini bisa dibatalkan apabila pihak ahli waris memberikan maaf dan si pembunuh membayar diyat atau memenuhi syarat tertentu yang diajukan si ahli waris. Di sini gak ada pihak yang boleh memaksa ahli waris untuk memaafkan atau sebaliknya memaksa untuk tidak memaafkan. Itu adalah haknya. Dimaafkan ya dimaafkan. Tidak ya tidak. Dalam konteks ini tidak ada ceritanya si ahli waris bilang, “Pak Hakim, dia saya maafkan. Pembayaran diyatnya saya terima. Tapi tolong dia tetap dihukum mati saja”. 
----

Bagi saya pribadi, saya punya kriteria kapan kira-kira saya harus memaafkan:
1. Ada permintaan maaf;
2. Orang/pihak yang melakukan kesalahan insyaf dan mengakui kesalahannya;
3. Kesalahan itu bukan sesuatu yang berulang dan menjadi ciri khasnya;
4. Ada gelagat atau sikap yang menunjukkan itikad baik untuk tidak mengulangi kesalahan itu;
5. Dia punya hal positif lain yang bisa diapresiasi;
6. Pemaafan bisa membuka peluang bagi orang tersebut untuk lebih dekat dengan dakwah.


Wallohua’lam.

Comments

  1. kak, semisalnya ada seseorang yg bs jadi melakukan kesalahan (entah sengaja atau enggak) menyebabkan luka fisik buat kakak dan ada bekas. misal luka jatuh gt. tapi dia meminta maaf scr tidak langsung. lewat orang ketiga,. dan bahkan untuk biaya2 yg habis krnluka fisik tsb walaupun tdk seberapa dia sama sekali gak tanya juga.. apa akan di maafkan? lalu jika misalnya tidak dimaafkan. apakah disebut tidak ikhlas? .. tks kak

    ReplyDelete
  2. terima kasih mbak atas pertanyaannya. Saya pribadi lebih memilih memaafkan karena berprasangka baik dia melakukannya tanpa sengaja. Tapi pemaafan itu kembali ke orangnya masing-masing. Bila tidak memaafkanpun itu adalah haknya.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?