Man of Honor: Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya [Resensi]



Alloh kadang menciptakan kehidupan itu seperti putaran roda. Ada masanya di atas, ada masanya di bawah. Dan itu tercermin dalam fase kehidupan seorang William Suryadjaya. Menjadi yatim piatu di usia 12 tahun, pernah mendekam di penjara LP Banceuy, tapi kemudian mampu bangkit mendirikan Astra Internasional bahkan menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia saat itu, hingga akhirnya mencuat kasus Bank Summa yang menyita hampir seluruh kekayaannya dalam sekejap. Namun dari kesemua itu, kisah dalam buku ini memberikan pelajaran penting: tak peduli ada di fase mana, kita selalu bisa memilih untuk hidup secara terhormat.

Sejujurnya ini adalah buku dengan inspirasi dosis tinggi. Bagi saya pribadi, inspirasinya tak hanya menggugah tapi juga menggerakkan. Ada etos yang bisa diteladani, soal ketekunan membangun usaha, niat baik untuk menyejahterakan banyak orang, kesetiaan pada kode etik, dan kesetaraan dalam memandang orang lain.

Buku ini sebenarnya gak baru-baru amat. Terbitan 2012. Jalan ceritanya juga tipikal buku biografi pada umumnya, yang berkisah masa kecil, sekolah di mana, remajanya bagaimana, hingga kiprahnya di masa dewasa hingga wafatnya. Yang istimewa, adalah kredibilitas penulisannya yang melalui proses riset dan didasarkan pada penuturan tidak kurang dari 60 orang narasumber yang tak lain adalah orang-orang terdekat semasa William hidup.

Lalu kenapa William dipandang layak mendapat sebutan Man of Honor, lelaki terhormat? setidaknya ada tiga alasan:

Pertama, kisah William seolah mendobrak stigma negatif yang kadang dilekatkan pada orang-orang Tionghoa. Katanya orang tionghoa itu pelit, tidak nasionalis, eksklusif, mau menang sendiri, dan kalau sudah jadi taipan suka ngemplang pajak. Kenyataannya adalah kebalikan dari itu semua. Banyak cerita kedermawanan Pak William di buku ini yang bahkan kalau diukur pakai standar da'i, masih bisa dianggap luar biasa.

Kedua, William adalah tipikal orang yang memandang kehidupan tidak berpusat pada dirinya sendiri. Bisnis Astra, kalau kita simak perjalanannya bukanlah semata bisnis seorang William dan keluarganya. Ketika masih hidup, William selalu mengendorse agar kesuksesan bisnisnya diperoleh dengan cara-cara yang fair. Agresifitas yang ditunjukkannya tidak sekedar berorientasi menguasai kekayaan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk mensejahterakan semakin banyak orang. Orang boleh saja tidak percaya, tapi kita bisa lihat bagaimana skema kompensasi yang ada di Astra dan sejak kapan itu dimulai, seberapa banyak mereka me-layoff pegawai sejak didirikan, bagaimana demografi jajaran manajemennya, dst.

Ketiga, William lebih mementingkan nama baik keluarganya ketimbang kekayaan yang dia punya. Titik puncaknya adalah ketika William memilih melepaskan kepemilikan mayoritasnya atas Astra yang dia rintis sejak 'bayi' dan dibesarkan dengan susah payah, demi melunasi kewajiban Bank Summa yang dinyatakan pailit, disaat dia bisa saja bersikap tak acuh, mengemis bail out ke Pemerintah atau mengalihkan tanggung jawab ke pihak lain.

Pada akhirnya William berhasil membuktikan bahwa rasa hormat yang diperolehnya dari orang-orang tidak muncul dari posisinya sebagai orang kaya nomor dua, atau semata-mata pemilik Astra. William dihormati karena caranya melewati hidup, dan itu dibuktikan dari kesetiaan orang-orang yang tetap membersamainya di masa-masa paling sulit.

Dalam hal penulisan, tentu ini bukan buku yang sempurna. Kadang memang ada kesan 'angelisasi' ketika bicara soal sosok William. Jadi mungkin beda dengan buku biografi lain, hal-hal yang sifatnya kontroversial tidak akan kita temukan di buku ini.

Overall menurut saya ini buku yang cukup bagus. Selain inspirasi yang tadi, ada juga tambahan wawasan tentang kesejarahan yang juga kita dapatkan semisal peristiwa Bandung Lautan Api dan peristiwa Malari, disamping motivasi tentang bisnis yang barangkali juga bisa kita adopsi.

Nilai keseluruhannya saya beri 8,5/10.

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?