The Fall of The Khilafah [Resensi]

Saya menyelesaikan pembacaan buku ini dengan perasaan getir. Meskipun runtuhnya Khilafah Utsmaniyah adalah sebuah kenyataan sejarah dan kita sudah tahu itu sejak lama, tapi tetap saja “menyaksikan” peristiwa demi peristiwa menuju keruntuhannya itu terasa menyakitkan. Ini ibarat saya yang penggemar Arsenal, disuruh untuk menyaksikan lagi pembantaian MU atas Arsenal 8-2. Ah sudahlah…


Secara umum buku setebal 563 halaman ini bercerita tentang kilas balik sejarah yang dimulai sejak era awal Perang Besar, (atau yang lebih kita kenal dengan Perang Dunia I) yang melibatkan Khilafah Utsmaniyah sampai dengan perang tersebut berakhir. Alur sejarah itu tentu bisa kita telisik juga dari sumber lain, yang garis besarnya pasti bakal sama, bahwa Khilafah terlibat Perang Dunia I di Blok Poros melawan Blok Sekutu. Dalam Perang itu Blok Poros akhirnya menjadi pihak yang kalah. Sebagai pihak yang kalah, mereka dipaksa menerima berbagai konsekuensi sebagai syarat perdamaian, konsekuensi yang kemudian memicu runtuhnya Khilafah Utsmaniyah.

Yang dihadirkan buku ini adalah narasi dan rincian mengenai peristiwa-peristiwa sejarah itu. Khususnya soal perang. Sebagian besar narasi dalam buku adalah soal perang yang dijalani Khilafah melawan musuh-musuhnya. Dari mulai bagaimana Khilafah terdesak dari perbatasannya di bulan-bulan awal Perang Besar, lalu gagal dalam melancarkan ekspedisi balasan, kemudian mulai membalikkan situasi dengan kemenangan di Dardanella, Gallipoli, dan Kut. Setelah itu Utsmaniyah berhasil menghadang penetrasi Sekutu berikutnya di kota-kota penting, sampai akhirnya terjadi revolusi Arab dan arah angin pun berubah. 

Blok Poros sempat berada di atas angin dengan keluarnya Rusia dari kancah perang akibat pecahnya Revolusi Bolshevik. Namun ketergesa-gesaan panglima perang Utsmaniyah yang dimanfaatkan dengan baik oleh lawan mendorong jatuhnya Hijaz, Palestina, Irak dan Suriah ke tangan sekutu yang didukung gerakan revolusi Arab. Ditambah lagi dengan masuknya AS ke kancah Perang Besar, menyebabkan peta kekuatan menjadi tidak seimbang. Bulgaria menyerah, disusul Jerman dan Austria, lalu Khilafah Utsmaniyah. 

Yang harus dihadapi Khilafah setelah itu adalah perundingan berisi tuntutan pembagi-bagian wilayahnya ke tangan sekutu. Mereka harus melepaskan seluruh wilayah Arab, kemudian wilayah Anatolia Timur yang dihuni bangsa Armenia, lalu wilayah Anatolia Barat yang terletak di Eropa, serta beberapa kota penting untuk berada di bawah kendali sekutu secara de facto. Praktis pembagian ini akan menjadikan Khilafah sebagai negeri yang jauh lebih kecil. 

Lantas muncul lah gerakan yang tidak puas atas hasil perundingan dan menamakan diri mereka Gerakan Nasional Turki. Mereka bisa menerima beberapa syarat seperti hilangnya provinsi-provinsi Arab, namun mereka tidak bisa menerima dipecahnya wilayah yang “dihuni oleh mayoritas muslim Utsmaniyah, yang bersatu dalam agama, ras, dan tujuan yang sama”. Mereka menghendaki batas-batas yang kelak akan menjadi teritorial negara Turki modern. Bagi mereka batas itu harus diperjuangkan meskipun dengan konfrontasi.

Salah satu turning point kejatuhan Utsmaniyah adalah mereka menganggap Gerakan Nasional Turki ini sebagai ancaman. Alih-alih mendukung mereka, tokoh utamanya Mustafa Kemal Pasha bahkan dijatuhi hukuman mati secara in absentia. Ini ironis mengingat Mustafa Kemal adalah salah satu perwira yang membawa Utsmaniyah memenangi pertempuran penting di Gallipoli. Sejarah kemudian membuktikan bahwa keputusan Utsmaniyah keliru. Kedaulatan wilayah Turki tidak bisa dipertahankan dengan perundingan damai. Mustafa Kemal justru berhasil mengambil kembali wilayah di Kaukasus, di Kilikia, dan di Anatolia Barat melalui pertempuran sengit. Tak pelak kemenangan ini menghadirkan simpati warga atas Gerakan Nasional Turki. Ketika pemungutan suara 1 November 1922 dilakukan Majlis Nasional Agung Turki, Khilafah Utsmaniyah dihapuskan untuk selama-lamanya.


Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya. Pertama, soal minimnya peran khalifah dalam pengambilan keputusan politik dan militer yang tergambar dalam buku ini. Peran tersebut diserahkan pada wazir dan kabinetnya. Satu-satunya peran khalifah yang tergambar dalam buku adalah perannya dalam mengumumkan perang dan mengeluarkan semacam “resolusi jihad”. Selebihnya tidak ada. Utsmaniyah saat itu praktis di bawah kendali tiga serangkai Turki Muda: Ismail Enver, Mehmed Talat, dan Ahmet Cemal. Ini membuat pemerintahan Utsmaniyah jadi nampak sangat profan. 

Kedua, soal legitimasi resolusi jihad di dunia Islam yang tampak pudar. Tadinya saya membayangkan saat khalifah mengeluarkan seruan jihad, maka seluruh dunia Islam akan bergerak untuk angkat senjata. Namun ternyata tidak. Sebagian memenuhi seruan itu, namun sebagian lain mengabaikannya. Bahkan ada juga yang justru bekerjasama dengan sekutu untuk melawan Khilafah seperti kaum revolusioner Arab yang dipimpin keluarga Sharif Makkah. Pihak yang terlihat militan mendukung seruan khalifah justru orang-orang Sirkasia.

Ketiga, soal kohesi sosial yang belum terbangun dengan baik di antara warganya. Khilafah Utsmaniyah adalah khilafah yang muncul dari penaklukan dan oleh karena itu terdiri dari banyak ras dan budaya. Di dalamnya ada orang-orang Turki, Arab, Kurdi, Armenia, Yunani, dan suku-suku lainnya yang tampaknya belum memiliki integrasi menyeluruh sebagai warga Utsmani. Ini menciptakan semacam kerentanan yang pada puncaknya berbentuk dorongan komunal untuk meminta otonomi. Upaya meredam pemberontakan pada akhirnya melemahkan Utsmaniyah dari dalam.

Keempat, soal ketangguhan Utsmaniyah yang sepertinya berada dalam masa yang salah. Utsmaniyah adalah negara yang tangguh. Di sepanjang eksistensi mereka selama ratusan tahun, perang adalah sesuatu yang jamak dijumpai. Namun nampaknya baru kali ini mereka mengalami perang berhadapan dengan musuh di hampir semua perbatasannya, dan musuhnya pun bukan main-main. Dari mulai Kekaisaran Rusia di Timur, Perancis dengan kolonialnya di Afrika Utara, sampai Inggris berserta imperiumnya di Mesir, India, Australia dan Selandia Baru.

Kelima, soal perspektif mengenai Mustafa Kemal Pasha. Sebagai orang yang pernah ngaji di ormas yang sekarang dilarang, saya dididik dengan pemahaman bahwa Mustafa Kemal merupakan satu sosok kunci dibalik kejatuhan Khilafah Utsmaniyah. Itu memang benar. Mustafa Kemal juga dituding sebagai sosok yang mengubah aturan Tuhan yang berlaku di zaman Khilafah dengan aturan sekuler yang membayangi Turki Modern. Itu mungkin juga benar. Namun soal mengapa Mustafa Kemal justru dianggap berjasa bagi orang Turki, saya baru punya perspektinya setelah membaca buku ini. Mustafa Kemal rupanya adalah pahlawan Gallipoli. Ia adalah orang yang berjasa mempertahankan territorial Turki dari serangkaian perundingan yang kejam paska Perang Besar. Ia adalah orang yang mendalangi gerakan yang membuat penduduknya tetap bisa berdiri dengan kepala tegak, meski setelah kalah perang. Perspektif ini setidaknya memberikan gambaran yang lebih proporsional soal sosok kontroversial Mustafa Kemal. Soal bagaimana kedudukan Mustafa Kemal di hadapan Alloh, wallohua’lam.

Keenam, soal besarnya dampak dari kejatuhan Khilafah Utsmaniyah terhadap situasi Timur Tengah sekarang ini. Dulu beberapa penguasa lokal Arab bersedia bekerja sama dengan sekutu karena diiming-imingi otonomi setelah perang berakhir. Namun setelah perang, janji itu terbukti tidak ditepati. Perancis tetap ingin berkuasa atas Suriah dan Lebanon sedangkan Inggris tetap ingin berkuasa atas Mesir, Mesopotamia, dan Palestina. Hal ini selanjutnya melahirkan pergolakan baru negeri-negeri arab untuk memerdekakan diri. Di sini saya dengan jengkel bisa bilang, bahwa gerakan revolusi arab yang bekerja sama dengan sekutu untuk melawah Khilafah Utsmaniyah berkontribusi penting melahirkan problem soal Palestina yang berlarut-larut sampai sekarang ini.


Kembali ke soal buku, dalam menuangkan narasinya penulis menurut saya berhasil menyuguhkan paparan yang menarik. Penulis memang seorang orientalis yang mendedikasikan dirinya untuk mendalami sejarah Timteng secara akademis. Ia mendasarkan kisahnya dari banyak sekali referensi. Selain referensi resmi dari arsip nasional beberapa negara,ia juga mengambil referensi dari catatan-catatan pribadi pelaku sejarah yang terlibat secara langsung. Ini akhirnya membuat penulis tak hanya mampu menceritakan batang tubuh peristiwa dengan baik tetapi juga mampu menyertakannya dengan beberapa cuplikan fragmen yang menarik. Fragmen-fragmen inilah yang kemudian menjadi penting karena disamping memberikan keunikan dibandingkan buku sejarah lainnya, dia juga memberikan konteks bagi pembaca. Kita seolah-olah ada di sana menyaksikan kejadiannya.

Misalnya fragmen ketika seorang komandan Utsmaniyah, Fahri Pasha, terkepung bersama pasukannya di Madinah dan dibujuk untuk menyerah oleh perwira Inggris. Di sana dia menolak tawaran penyerahan diri itu mentah-mentah, dengan ungkapannya yang menggetarkan, “Saya seorang Osmanli (Utsmaniyah), Saya seorang pengikut Muhammad, Saya Putra Bali Bey, dan saya adalah seorang prajurit.” Dengan pengabdiannya pada sultan dan penghormatannya untuk masjid Nabawi di Madinah, Fahri pantang menyerahkan pedangnya kepada orang Inggris.

Ini hanya satu dari sekian fragmen menarik yang diceritakan di buku ini, yang keseluruhannya akan memberikan gambaran moral mengenai perang. Terlepas moral itu kita setujui atau tidak.

Adapun catatan saya terhadap buku ini ada dua. Pertama, sebagian besar narasinya soal perang. Jadi kita akan membaca kisah dari perang ke perang. Bagi yang suka nonton film perang, buku ini sepertinya cocok. Kedua, supaya bisa menikmati buku ini lebih baik, kita harus punya pengetahuan memadai mengenai geografis wilayah mediterania. Paling tidak paham lah caranya membaca peta. Ini agar kita bisa nyambung dan paham konteks lokasi saat sebuah peristiwa diceritakan.

Akhir kata, ini buku yang saya kira cukup bagus. Meskipun penulis nampaknya belum bisa menghilangkan 100% bias kecenderungannya, ia berupaya menulis dengan objektif. Yang saya dapatkan setelah membaca adalah wawasan kesejarahan yang lebih lengkap dan segar, serta inspirasi baru soal patriotisme, sebagaimana yang ditunjukkan para prajurit Utsmaniyah sampai akhir keruntuhannya.

Wallohua’lam

Comments

  1. Wah saya belum kelar-klear baca nya hahaha... Trimakasih sudah bikin resensi nya

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. Saya lagi baca di bab bab awal; tapi apa penulis banyak merekayasa, terutama kekejaman tentara muslim yg jauh sekali dari ajaran agama Islam

      Delete
    2. terima kasih atas reply-nya Pak Andri. Perilaku personal dan ajaran agamanya kadang perlu kita pilah. Dalam catatan sejarah, adakalanya orang yang beragama Islam berperilaku menyalahi syariat Islam. Contohnya adalah Hajjaj bin Yusuf di zaman Khilafah Umayyah yang terkenal kekejamannya.

      Delete
  3. Karena menurut saya, latar belakang penulis pun harus kita tinjau lagi. Perspektif dan personal background nya akan lekat terhadap korelasi objek yg sedang dikupas.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?