Why Nations Fail [Resensi]



Alhamdulillah akhirnya buku ini selesai juga. Awalnya beli karena tertarik dia dibilang salah satu New York Times dan Wallstreet Journal Best Seller. Sekilas dibaca halaman belakangnya sepertinya menarik, dan setelah baca isinya ternyata memang beneran menarik.

Buku setebal 529 halaman ini bercerita tentang alasan mengapa ada negara yang sukses menjadi sejahtera, tapi di sisi lain ada Negara yang masih berkubang dengan kemiskinan. Mengapa ada Negara yang berhasil menegakkan civil order dan melayani warganya dengan baik, tapi di sisi lain ada pula Negara yang di dalamnya chaos dan berkecamuk perang saudara.

Why Nations Fail? Jawaban singkatnya karena sifat institusi politik dan ekonomi di Negara tersebut yang ekstraktif. Institusi yang ekstraktif dicirikan dengan lingkup kekuasannya yang hanya accessible bagi segelintir elit atau orang, sehingga partisipasi publik sangat minimal untuk mengontrol atau terlibat dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Penjelasan saya ini sebenarnya hanya oversimplifikasi. Kalau dibaca sekilas tampak normatif dan klise. Namun sebenarnya yang dipaparkan dalam buku ini lebih rinci ketimbang itu. Institusi yang ekstraktif bisa mewujud dalam banyak sekali bentuk.

Rincian mengenai bentuk institusi yang ekstraktif inilah yang membuat buku ini jadi menarik. Penulis dengan sangat baik menunjukkan rincian itu lewat sejarah berbagai kelompok masyarakat di dunia sebagai basis dalam mengekstrak kesimpulan untuk mendukung argumennya. Dari mulai eksistensi masyarakat prasejarah di Timur Tengah, keruntuhan imperium Romawi, kolonialisasi masyarakat Inca dan Maya di Amerika Latin, perdagangan budak di dan dari Afrika Tengah, respon monarki dan kaum bangsawan di Eropa atas tragedi wabah hitam (black death), sampai Revolusi Bolshevik di Rusia.

Tak heran bila setelah membaca, ada wawasan kesejarahan baru yang terbangun. Tesis yang disampaikan penulis bila digunakan untuk merekonstruksi semua peristiwa sejarah itu akan memberikan semacam insight mengenai cara dunia ini bekerja. Dan insight ini menurut saya jauh lebih powerful dan mudah dipahami ketimbang narasi yang disampaikan “How The World Works”-nya Noam Chomsky.

Sifat institusi jugalah yang mendasari mengapa revolusi Industri muncul di Inggris, bukan di Tiongkok atau Mesir, sementara banyak orang mafhum dua tempat itu sudah berperadaban jauh sebelum Inggris. Penulis secara gamblang menjadikan Inggris sebagai role model pengampu institusi yang inklusif: sesuatu yang berkebalikan dengan institusi yang ekstraktif. Singkat cerita, seluruh Negara yang sejahtera di dunia ini sudah barang tentu institusinya inklusif. Ada partisipasi public di dalamnya, ada check and balance dalam kekuasaan, ada koalisi yang terbangun di antara elemen masyarakat yang plural, dan seterusnya. Pada akhirnya, upaya untuk menyejahterakan sebuah Negara tak akan berhasil banyak apabila tidak dibarengi usaha untuk menggeser kecenderung institusinya menjadi lebih inklusif.

Saya tak hendak memberikan spoiler atas keseluruhan isi buku. Ada banyak lagi poin penting sebenarnya. Cuma akan lebih menarik kalau poin-poin itu didapat sendiri lewat membaca, karena di sana akan lebih dapet konteksnya.

Yang jelas saya tak ragu merekomendasikan karya Daron Acemoglu dan James Robinson ini untuk dibaca, terlebih lagi kalau rekan-rekan memang punya minat dalam hal politik ekonomi, atau dalam hal sejarah dunia.

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?