Kajian Bulanan Kepemimpinan Islam - RK Seri I



Menyenangkan rasanya ketika kita punya tempat kembali. Rumah. Baik dalam arti harfiah maupun kiasan. Baik bermakna tempat di mana kita dan orang-orang yang kita cintai bernaung, maupun tempat di mana kita bertemu dengan rekan dan orang-orang yang sevisi. Bagi saya, makna kedua ini salah satunya ada di Rumah Kepemimpinan (RK).

Tanggal 29 Januari 2017 yang lalu, RK mengadakan semacam gathering alumni. Kali ini dibalut dalam suasana kajian. Temanya adalah Kepemimpinan dan Korupsi. Konon, ini adalah request langsung dari Ust. Musoli, founder RK (dulu PPSDMS Nurul Fikri) yang menginginkan ada semacam kegiatan yang merangsang para alumni untuk kembali meneguhkan jalan ideologi mereka.

Yang hendak saya share di tulisan kali ini adalah beberapa poin penting yang disampaikan narasumber yang diundang di kesempatan ini. Pak Sudirman Said. Mantan Menteri ESDM di era Pak Jokowi sebelum digantikan Ignasius Jonan. Beliau diundang selain karena memang dekat dengan Ust. Musoli and the gank, juga karena dinilai punya track record bagus dalam hal pemberantasan korupsi. Sekedar contoh Pak Sudirman Said adalah salah seorang pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia, sebuah lembaga yang meng-encourage transparansi di segala lini. Selain itu Pak Sudiman juga dipandang berprestasi dengan kiprahnya membubarkan Petral, anak perusahaan Pertamina yang dulu dianggap jadi sarang mafia migas (wallohua’lam). Belum lagi soal keberaniannya membuka kasus “Papa Minta Saham” yang bernuansa kolusi tingkat tinggi.

Poin-poin penyampaian beliau sengaja tidak saya tuliskan sistematis, selain karena memang agak scattered ketika disampaikan, juga karena saya ingin memberikan ruang buat rekan-rekan pembaca untuk berimajinasi dan merekonstruksi ulang poin-poin tersebut itu sesuai kadar pemahamannya masing-masing.

Pertama: soal karakteristik kepemimpinan. Pemimpin yang baik, menurut beliau memiliki tiga sifat: 1) punya ilmu yang bener dan dalam terkait hal yang dia pimpin, 2) punya sistem nilai yang kuat, 3) punya keberanian. Yang pertama, artinya seorang pemimpin benar-benar mengerti persoalan yang dia hadapi. Tidak sekedar retorika dan bicara perkara-perkara normatif tanpa paham aspek teknis dan mendetil. Kelemahaman seorang pemimpin dalam memahami aspek teknis akan membuat ia jadi bulan-bulanan dan alat permainan bagi orang yang lebih mengerti. Yang kedua, artinya dia punya prinsip dan jelas arahnya mau kemana. Ketiadaan sistem nilai yang kuat akan membuat ia gampang terombang-ambing dan disetir banyak kepentingan orang-orang di sekelilingnya. Yang ketiga, artinya dia punya kesediaan secara sadar untuk berhadapan dengan orang-orang yang berbeda haluan demi menegakkan sesuatu yang dia anggap benar.

Kedua: soal orang-orang baik yang korupsi. Beliau cerita beberapa pengalamannya bertemu dengan orang yang secara lahiriah tampak agamis, mengerjakan sholat, puasa sunnah, lisannya tak jarang menyebut nama Alloh, tapi terang-terangan minta persenan proyek. Bagi beliau, orang-orang seperti itu nyata adanya dan tidak sedikit jumlahnya. Menurut beliau, sikap seperti itu muncul dari dua hal: 1) kegamangan/keterkejutan saat berpindah dari suasana yang serba normatif ke suasana “nyata”, dan 2) kebiasaan permisif dengan hal-hal korup yang dipandangnya bisa mendukung misi perjuangan, namun karena kenikmatan korup itu lama-kelamaan matanya kabur dan tak bisa lagi membedakan sehingga misi perjuangan hanya menjadi dalih atas motifnya menyenangkan dirinya sendiri.

Ketiga: soal langkah untuk menjaga diri dari perilaku korup. Ada empat langkah yang beliau tawarkan agar seseorang bisa terhindar dari korupsi: 1) belajar untuk menolak perilaku-perilaku korup yang kecil sejak dini, 2) punya komunitas yang baik sebagai tempat kembali menguatkan prinsip, 3) menerima kesempatan untuk berada di sistem yang serba majemuk, dan 4) kembali menyandarkan diri pada Alloh. Langkah pertama jelas, bahwa sikap permisif itu seperti bola salju. Kalau kita tidak sanggup menahan yang kecil, bagaimana mungkin kita berpikir untuk menahan yang lebih besar godaannya? Langkah kedua jelas saya kira. Bahwa manusia adalah tempat khilaf dan butuh untuk selalu diingatkan. Untuk langkah yang ketiga, ini terkait dengan latihan agar mental kita bisa lebih liat menahan godaan. Masuk ke lingkungan yang majemuk akan membantu kita meredam keterkejutan ketika dihadapkan pada hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip dan mendorong kita menemukan cara untuk meresponnya secara baik. Langkah keempat, simply karena ada hal-hal di dunia ini yang tak sanggup kita tangani sendiri.

Ada beberapa hal lain yang sebenarnya juga disampaikan dalam kesempatan itu. Namun demi menghindarkan diri dari tulisan yang menjemukan, saya batasi sampai tiga poin utama itu dulu.



(*foto suasana kajian di Kantor Pusat RK)

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?