Kebaikan itu Berproses Bukan?


One Tree, Four Seasons*

Saya termasuk yang percaya bahwa menjadi baik itu butuh proses. Dan oleh karenanya butuh waktu. Jangan sampai upaya kita untuk mengubah seseorang justru membuat ia makin sulit berubah, hanya karena kita berkeinginan ia berubah seketika.

Saya masih ingat suatu ketika pernah berada pada kondisi yang sedang berapi-api berdakwah di kampus. Waktu itu saya baru tingkat satu. Semester satu malah. Ya, masih anak baru. Kebetulan pada waktu itu ketika pemilihan perangkat kelas saya terpilih sebagai ketua rohis. Entah apa alasannya saya juga tidak tahu. Nah, karena waktu itu saya juga aktif sebagai anggota LDK, kultur LDK saya bawa mentah-mentah ke kelas. Terutama soal pemisahan tempat duduk. Di LDK, ada kultur pemisahan area ikhwan dan akhwat. Jadi kalau rapat (syuro) posisi duduknya umumnya terpisah, bahkan disekat dengan hijab sehingga peserta ikhwan tidak bisa memandang peserta akhwat. Begitu pula sebaliknya. Dus, sebagai ketua rohis, merasa punya wewenang waktu itu, saya berupaya supaya ketika perkuliahan teman-teman saya juga bisa duduk tidak tercampur baur. Artinya yang perempuan punya area duduk sendiri demikian pula yang laki-laki.

Setelah memimpin doa sementara dosen belum masuk, saya pun berdiri di depan kelas. "Teman-teman dimohon supaya yang perempuan duduknya di sebelah kanan dan yang laki-laki duduknya di sebelah kiri". Begitu kira-kira yang saya sampaikan. Sebagian nampak terkejut. "Teman-teman dimohon sekali lagi duduknya terpisah, yang perempuan bisa duduk di sebelah kanan yang laki-laki di sebelah kiri. Ucapan itu saya ulangi. Sebagian teman saya kemudian pindah, tapi sebagian lagi tetap tak bergeming. Merasa ucapan saya ada yang tak merespon, request itu pun saya ulangi sekali lagi. Dua kali. Tiga kali. Hingga yang kesekian kali saya pun meminta dengan sedikit membentak. Ujung-ujungnya masih saja ada yang kekeuh tidak mau pindah. Lalu dari lisan saya pun keluar petuah, mengutip salah satu ayat dalam QS Al Ghosiyah, "Fadzakkir innama anta mudzakkir", dan berilah peringata sesungguhnya kamu hanyalah orang yang bertugas memberi peringatan. Setelah petuah itu terucap saya pun duduk.

Saat itu saya mungkin lupa bahwa saya berada di lingkungan yang heterogen. Teman-teman berasal dari latar belakang yang berbeda. Tidak semuanya anak madrasah, anak pesantren, termasuk saya juga bukan lulusan keduanya. Pun tidak semua akrab dengan kultur LDK. Atau kalaupun akrab belum tentu bisa menerima. Mungkin ada yang mengerti namun ada pula yang tidak. Pada titik ini, kalau dilihat sekarang, mungkin saya merasa terlalu berkuasa. Padahal kalau dipikir-pikir emangnya siapa saya? Anak baru. Yang orang-orang belum terlalu kenal dekat, masak sih sudah nyuruh ini itu.

Tentu persoalannya bukan pada upaya pemisahan tempat duduk itu. Persoalannya adalah pada keinginan untuk mengubah teman-teman saya seketika, pakai acara membentak segala. Belum lagi kalau ditanya apakah pemisahan itu cukup substantif untuk dilakukan di perkuliahan atau tidak? Jangan-jangan waktu itu saya juga belum bisa menjawab dengan argumen kuat, melainkan sebatas 'hype' semata sebagai seorang ketua rohis sekaligus kader LDK di kampus.

Berkaca ke masa kini saya pun merasa yang seperti saya dulu ternyata tidak sedikit. Cukup sering saya melihat diskusi (atau perdebatan lebih tepatnya) di facebook ataupun jejaring dunia maya di mana orang-orang cenderung memaksakan pendapatnya. Ada yang berdalih menasehati, namun dibumbui dengan sindiran yang menyakitkan hati. Ada pula yang konon bermaksud mendidik publik agar mengetahui sebuah kesalahan, namun dibangun atas argumen yang subjektif (satu arah). Apa pun itu, saya merasa muaranya serupa: ingin agar orang bisa berubah saat itu juga. 


                                                                       ####

Kalau saya mencermati, pemaksaan kehendak dan upaya mengubah seseorang secara instan justru bisa kontraproduktif. Orang bisa makin susah berubah karena egonya yang terusik. Atau kalaupun berubah, perubahannya cuma sementara. Ketika seseorang dipaksa atau merasa dipaksa untuk berubah (yang berarti mengakui kekeliruannya saat itu juga) ego dalam dirinya bisa muncul untuk mempertahankan status quo-nya. Apalagi kalau 'pemaksaan' itu dibarengi dengan cara yang tidak mengenakkan, kekuatan untuk mempertahankan dirinya bisa meningkat berkali-kali lipat. Kalau diibaratkan Son Goku, dia bisa langsung jadi Super Saiyan 5 (kalimat ini abaikan saja). Saat itu terjadi, argumen lawannya tidak akan diproses secara rasional lagi. Sisi emosional lah yang lebih dikedepankan. Akhirnya orang jadi keras kepala (Ging-ging -kalau orang-orang di daerah saya mengistilahkannya) dan tak peka pada nasehat. Cukup familiar dengan kondisi begini bukan?

Sebaliknya ketika seseorang diberikan tenggang waktu untuk merenung, untuk berproses, untuk mencerna segala input yang diberikan padanya, ia bisa menentukan pilihannya untuk berubah secara lebih bertanggung jawab. Saya merasakan sendiri hal ini. Saya juga melihatnya pada teman-teman dan adik saya. Adik saya ketika sudah akil baligh (SMP) sebenarnya sudah saya ajak untuk berjilbab. Tapi dianya masih menolak. Nanti tunggu SMA katanya. Maklum adik saya memang agak tomboy dan tokoh manga jepang menjadi sahabatnya tumbuh berkembang (kan nggak ada toh tokoh anime cewek yang berjilbab?). udah SMA saya tagih janjinya. Tapi lagi-lagi dia menundanya. Nantilah kalau udah agak sadar. Begitu argumennya. Dia berjilbab kalau cuma di sekolah saja. Waktu dia masuk kuliah lalu saya sindir lagi kapan berjilbab, jawabannya masih sama dengan sebelumnya. Tapi kali ini argumennya lebih soft. Dia sadar someday harus berjilbab tapi bukan sekarang. Singkat cerita waktu kuliahnya di tingkat tiga dia pun memutuskan untuk konsisten berjilbab. Hadiah buat Bapak, katanya. Bahkan tak cuma itu, dia juga jadi salah satu pengurus FUKI di Failkom UI. Konon, posisinya sebagai korwat (kordinator akhwat) (ini kabar 'hasan'. Waktu dia cerita saya setengah nggak percaya).

Lalu muncul pertanyaan, bagaimana dengan para shahabiyah yang ketika turun perintah berjilbab lantas langsung dicari segala kain yang ada untuk memenuhi kewajiban itu? Bukankah itu perubahan instan? Atau bagaimana pula dengan para shahabat yang ketika turun perintah melarang khamr lantas kendi-kendi khamr itu seketika mereka campakkan, bahkan khamr yang masih ada di mulut pun langsung dimuntahkan? Bukankah itu perubahan seketika?

Ya. Bagi saya itu seketika. Namun jangan dilupakan bahwa untuk membentuk kondisi mental sami'na wa atho'na seperti itu, bahkan Rosululloh saw membutuhkan waktu 13 tahun berdakwah tauhid di makkah. Rentang waktu yang panjang itulah masa yang beliau butuhkan untuk menanamkan akidah yang kuat, yang membuat mereka siap untuk menerima segala konsekuensi keimanan. Apakah akidah itu terpancang kuat pada sahabat-sahabat Rosululloh saw hanya dalam satu malam? Ternyata sejarah menjawab: tidak.

Terburu-buru ingin orang lain berubah saya kira bukanlah gaya menasehati yang produktif. Akhirul kalam, saya teringat petuah Rosululloh saw ketika seorang sahabatnya Mu'adz bin Jabal hendak pergi ke suatu tempat untuk berdakwah. Beliau berpesan: "Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah yang pertama kali engkau dakwahkan kepada mereka: Syahadat Laa ilaaha illallah –dalam riwayat lain: menauhidkan Allah–, jika mereka telah menaatimu dalam perkara tersebut (tauhid), ajarkan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam, jika mereka telah mentaatimu dalam perkara tersebut (shalat lima waktu), ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shadaqah yang disalurkan dari orang-orang kaya kepada orang-orang miskin, jika mereka telah mentaatimu dalam perkara tersebut (shadaqah), maka hati-hatilah dari (mengambil) harta yang terbaik (paling dicintai) mereka, takutlah kamu dari do’a orang yang terzhalimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara do’a mereka dengan Allah (terkabulkan).” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Rosululloh ternyata tidak menyuruh sahabat Mu'adz untuk datang kemudian langsung memungut shodaqoh...

Semoga Alloh mantapkan hati kita dalam kebenaran, dan mengoreksi segala kesalahan yang mungkin ada dalam tulisan ini. Fattabiru ya ulil abshor...


----------
*sumber foto I 

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?