Investasi Rumah?

#####

Apa itu bubble? Dalam dunia keuangan bubble sering dianggap sebagai penggelembungan harga sebuah asset yang tidak dibarengi oleh peningkatan nilai fundamentalnya. Misalnya seperti fenomena bubble saham-saham dot com yang pernah muncul di awal dekade 2000-an. Karena orang-orang beranggapan millenium baru adalah era baru di mana dunia maya bisa jadi lahan basah untuk berbisnis, perusahaan-perusahaan berbasis web saat itu dipersepsikan punya prospek yang super tinggi. Investor pun ramai-ramai ingin membeli saham tersebut. Nah karena permintaan meningkat, harganya pun melonjak. Sampai pada suatu titik, harga keseimbangan saham-saham perusahaan berbasis web saat itu tidak bisa ditandingi harga saham di sektor lain. 

Masalah muncul saat diketahui ternyata perusahaan-perusahaan itu tidak bisa merealisasikan profit sesuai ekspektasi investor. Dalam bahasa yang lebih sederhana, investor terbukti overestimate terhadap kinerja perusahaan itu. Investor sudah mbela-belain beli saham berharga mahal dengan harapan memperoleh arus kas yang lebih besar, rupanya arus kas yang bisa disediakan perusahaan tidak sebesar yang diperkirakan. Efeknya harga-harga saham yang tadinya setinggi langit itu pun akhirnya terjun bebas. Capital loss pun mewabah di mana-mana. Investor yang tiba-tiba jatuh miskin jadi pemandangan jamak. Ini jadi penanda awal resesi ekonomi masa itu.

Tentu bubble seperti itu tak diharapkan, apalagi kalau kita sendiri yang ada di posisi investor. Siapa yang mau jatuh miskin tiba-tiba? Tapi percaya tidak percaya perilaku yang membawa pada kondisi bubble seperti itu bisa kita temui dengan mudah. Yang paling dekat mungkin kecenderungan orang-orang untuk investasi rumah. Ya, rumah/apartemen/villa atau moda hunian tidak lagi dibeli untuk dihuni tapi untuk motif investasi. Why? Karena orang beranggapan properti seperti ini nilainya akan naik terus menerus. Justifikasinya sederhana: penduduk dunia semakin bertambah dan tentu makin banyak orang yang butuh hunian.

Ketika makin banyak orang berlomba-lomba berinvestasi rumah, dampaknya bisa kita kira: yakni melonjaknya harga rumah di mana-mana. Bahkan dosen saya pernah bilang, di perumahannya ada satu rumah plus tanah yang harganya sudah tidak lagi masuk akal. Rumah tipe 72 dan luas tanah 90 mxm dijual dengan harga 1 M! Mirip seperti kasus bubble saham dot com di atas kan? Kalau tidak direm, ini bisa jadi bubble beneran yang siap pecah sewaktu-waktu. Apalagi kalau kepemilikan rumah atau properti itu berbasiskan kredit. Let say, sudah saking banyaknya rumah yang diinvestasikan dengan harga beli mahal tapi justru karena harga mahal itu banyak yang tidak laku, atau kalau mau laku harganya terpaksa harus diturunkan sementara kewajiban untuk mengembalikan kredit tidak berkurang. Walhasil nilai utang nantinya lebih besar ketimbang nilai rumahnya. Kalau ini terjadi di perusahaan, inilah yang namanya bankrupt.

Bagi saya, membeli rumah atau properti untuk investasi sebenarnya sah-sah saja. Namun supaya bubble tidak terjadi, orientasi investasinya mungkin perlu sedikit kita geser, yakni bukan dalam rangka semata-mata memperoleh capital gain (harga nanti dikurangi harga beli) dari trading namun dalam rangka penyediaan arus kas berulang (recurring income) seperti penyewaan ruko, kos-kosan, atau rumah kontrakan. Kalau orientasi investasinya begini saya yakin dampak kenaikan harga properti yang fenomenal bisa sedikit tereduksi. Kenapa? Karena orang jadi punya alternatif moda hunian selain membeli, sehingga permintaan untuk pembelian properti juga berkurang.

Selain itu, kalau bicara dalam konteks ekonomi Islam, sebenarnya spirit Islam adalah mempergunakan harta agar bisa juga bermanfaat bagi komunitas. Itu sebabnya 'investasi' tanah harus berupa bisnis riil, bukan didiamkan begitu saja tanpa diapa-apakan, misalnya dengan ditanami tanaman produktif. Begitupula dengan rumah atau properti lainnya. Kalau tidak dikonsumsi oleh pemiliknya sebaiknya didayagunakan untuk bisa dikonsumsi orang lain, tentu dengan ijarah atau sewa tertentu. Maka jadi kurang pas rasanya kalau rumah didiamkan sekedar dijadikan sarana penumpuk kekayaan yang tidak berputar ke mana-mana.

Yang kita mau tentu adalah kesejahteraan bersama, bukan kesejahteraan diri kita sendiri saja sementara yang lain berduka cita. Betul bukan?

Wallohua'lam

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?