Waktu Bikin Kita Harus Milih


"Kalaupun kita memang memaksakan diri untuk menggeluti semuanya, mungkin kita 'hanya' akan jadi seorang generalis saja, seperti yang teman saya pernah bilang, "Tahu semuanya, tapi tak tahu sesuatu..."
-----------

Namanya Pak Kudang Boro Seminar, salah satu dosen pengajar di kelas magister saya. Ini bukan pertama kalinya interaksi saya dengan beliau. Saat masih di LDF (Lembaga Dakwah Fakultas) dulu, beliau pun kerap menjadi narasumber untuk beberapa acara kajian yang kami laksanakan. Pasalnya, si Bapak memang bukan dosen "biasa". Beliau ada seorang hafizh, alias hafal Al Qur'an 30 juz. Istimewa memang, mengingat status itu beliau dapatkan ketika telah menjadi dosen. Sama sekali tidak mudah menurut saya, meluangkan waktu di tengah kesibukan sebagai dosen untuk konsen menghafal Qur'an hingga tamat. Makanya, saya merasa beruntung bisa diajari langsung oleh beliau. Hitung-hitung bisa punya benchmark yang sip, yang bisa menyemangati diri buat ngafalin Al Qur'an yang sering mandeg. 

Di tengah kuliah yang diberikannya suatu hari, ada satu nasehat beliau yang mengena betul di hati saya. Nasehat itu kira-kira isinya mengingatkan kalau waktu yang kita punya itu terbatas, sedangkan waktu itu sendiri adalah sumberdaya. Jadi, gunakanlah sumberdaya waktu itu dengan sebijak mungkin. Kita tidak bisa jadi semua yang kita inginkan.

Nasehat sederhana itu jadi bisa pas di hati karena kebetulan saat itu saya memang sedang galau. Di tengah ribuan pintu-pintu ilmu yang bisa saya selami, ratusan buku yang bisa saya pelajari, puluhan bidang keahlian yang bisa saya geluti, saya ingin dapet semuanya. Saya ingin jadi ahli di bidang pemasaran, sekaligus ahli di bidang manajemen finansial. Ingin rasanya juga bisa jadi pengamat ekonomi, seperti keinginan saya jadi seorang ahli manajemen SDM. Bahkan, kalau memang bisa, saya ingin jadi ahli di komunikasi juga. 

Nah, nasehat dari si Bapak mengingatkan saya, kalau saya memang harus menahan diri dari sikap yang terlalu rakus. Waktu saya terbatas. Itu jadi constraint utama. Tak peduli sekeras apa saya berusaha, waktu yang Alloh beri akan selalu sama, 24 jam saja dalam sehari. Saya tidak bisa jadi ahli di semuanya. Karena semua tentu sepakat, bahwa jadi ahli di suatu bidang tentu perlu investasi waktu. Sedangkan tabiat sumberdaya yang terbatas itu pasti menciptakan tradeoff. Nah kalau sudah berhadapan dengan tradeoff, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus memilih. Yah, bukankah hidup itu memang pilihan?

Tentu saja, dengan memilih satu hal yang ingin difokuskan tidak lantas berarti kita sama sekali meninggalkan yang lain. Hal-hal lain bisa tetap kita raih, namun kini kita akan berhadapan dengan skala prioritas, yang isinya tentu kita susun sendiri. Mana kira-kira hal utama yang hendak kita raih, mana yang kedua, kemudian yang ketiga, dan selanjutnya. Skala prioritas inilah yang akan menuntun kita menggunakan sumberdaya waktu seoptimal mungkin. 

Lantas saya pun teringat dengan petuah klasik dari Hasan Al Banna, yang mengatakan bahwa kewajiban kita sebenarnya lebih banyak ketimbang waktu yang tersedia. Terlepas dari setuju atau tidak pada petuah itu, saya kira filosofinya kita semua sepakat, bahwa waktu memang sumberdaya kita yang amat-sangat-ekstra penting. Rugi besar kita kalau waktu itu disia-siakan. Kalau kita sepakat dengan ungkapan time is money, waktu adalah uang, mungkin kita juga bisa sepakat kalau orang yang doyan membuang-buang waktu itu sama saja dengan orang yang doyan membuang-buang uang... :-)

Wallohua'lam

--------------------
*Sumber foto: www.nationalgeographic.com

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?