Mendamba Persatuan Umat

Hari itu kali ketiga saya berkunjung ke Islamic Book Fair. Event tahunan yang rutin diadakan ini memang selalu menarik perhatian orang-orang semodel dengan saya. Selain banyak buku-buku Islami yang tersedia (jauh lebih banyak ketimbang yang ada di toko buku) ditambah diskon besar-besaran, bagi saya Islamic Book Fair menampilkan miniatur dari sesuatu yang selalu saya rindukan; yakni persaudaraan islami, yang nyaris tak tersekat perbedaan organisasi, pandangan politik, madzhab, ataupun manhaj perjuangan. Berbagai kalangan, tua-muda, kaya-sederhana, lintas pergerakan bersinergi, berpartisipasi dalam acara. Ada yang jadi pemasok dana, penyelenggara, penjual buku, pengisi materi, atau hanya sebagai peserta. Semuanya bersatu dan memiliki satu visi besar bersama, membangun Indonesia yang lebih bermartabat dan diridhoi Alloh.

Beberapa bulan setelah itu, kembali pengalaman yang mirip saya temukan, saat tengah menghadiri walimatur ursy (pesta pernikahan) seorang sahabat. Persaudaraan itu sangat kental terasa. Dan agen pengentalnya tak lain tak bukan adalah komitmen terhadap keimanan itu. Setidaknya itulah yang saya rasakan. Rindu sekali rasanya bisa melihatnya di situasi yang lebih besar.

Saya masih ingat pertanyaan polos yang saya dengar dari seorang adik yang sedang antusias mengikuti salah satu sesi di sebuah pesantren kilat Ramadhan. “Pak, apa bedanya Muhammadiyah dengan non-Muhammadiyah? Terus yang benar yang mana?”, tanya adik tersebut. Pak Ustadz yang ditanya tersenyum dan memberikan jawaban sekenanya, bahwa perbedaan yang dimaksud bukanlah justifikasi untuk menetapkan mana yang salah dan mana yang benar. Perbedaan itu hanya seperti ruang yang ada di antara satu interpretasi dengan interpretasi lainnya, antara satu preferensi dengan preferensi lainnya, atau antara satu informasi dengan informasi lainnya. Tentu bahasa yang digunakan Pak Ustadz tersebut disesuaikan dengan Si Adik penanya.

Pertanyaan seperti itu memang wajar muncul dari seseorang yang tengah belajar. Itu wajar muncul dari seseorang yang sedang tumbuh dan mencari identitas. Itu wajar muncul dari seseorang yang sedang mengidentifikasi perbedaan yang ia temui kemudian berusaha memilih salah satunya. Bahkan itu juga wajar kalau muncul dari orang-orang seperti kita. Masalahnya saat kita sudah menemukan jawabannya, so what? Saat kita sudah mendapat penjelasan tentang pilihan-pilihan itu, so how? Bahkan saat kita telah menentukan pilihan, lalu bagaimana?

Wa’tashimuu bihablillahi jamii’a wa laa tafarroquu...Dan bepeganglah kamu pada tali agama Alloh dan jangan lah kamu bercerai berai. QS Al Maaidah: 103. Perintahnya jelas. Pilihan bisa macam-macam, dan macam-macam berarti berbeda-beda. Tapi tetap perbedaan itu tidak boleh menjadikan kita bercerai-berai. Terpisah-pisah. Terkotak-kotak. Apalagi bermusuhan. Jika masih melakukannya, berarti kita telah lalai dari perintah Alloh itu.

Faktanya, sangat disayangkan tidak sedikit dari anggota masyarakat yang menolak bersinergi dalam perbedaan itu. Pasalnya kalau sudah berbeda yah tidak usah. Begitulah apologinya kira-kira. Maka tak heran jika sebuah ada majlis ta’lim yang “diboikot”, tidak didatangai, atau tidak didengarkan hanya karena majlis ta’lim tersebut diselenggarakan oleh organisasi yang berbeda. Atau ada juga yang gampang melakukan labelisasi tendensius terhadap kelompok di luar kelompoknya. Bisa juga ada orang-orang berketetapan tidak akan membaca buku yang diterbitkan golongan tertentu, seolah golongan itu sesat. Tak jarang pula ada pihak yang berusaha mempertahankan status quo setelah menjadi pihak dominan dengan tidak memberikan kesempatan pada pihak lain untuk berkontribusi melalui program-program mereka. Begitu pula dengan adanya pengunduran diri sebagian pihak dari sebuah lembaga karena perbedaan pandangan, kemudian mendirikan lembaga tandingan (yang paling kentara, ini terjadi di partai politik). Begitu seterusnya. Kesan yang muncul kemudian adalah minimnya rasa persatuan, apalagi persaudaraan di antara sesama komponen masyarakat. Memang tidak dipungkiri, terkadang ada perbedaan-perbedaan mendasar yang sulit sekali dikompromikan. Namun saya yakin seyakin-yakinnya perbedaan itu sangat sedikit dibanding kesamaan-kesamaan yang ada. Masalahnya, ini bergantung kepada orientasi kita memandang sesuatu apakah fokus pada perbedaan atau fokus pada persamaan.

Persamaan, memang sebuah syarat dari adanya ikatan hati. Disadari atau tidak, diakui atau tidak itulah yang terjadi. Persamaan itu bisa berupa suku, pandangan politik, visi bersama, kebangsaan, garis keturunan, cita-cita, nasib, hobi, afiliasi, bahkan musuh sekalipun. Itulah sebabnya Jakmania (pendukung Persija) dan Viking (pendukung Persib) yang musuh bebuyutan bisa saling berangkulan saat menyaksikan aksi Timnas di ajang internasional. Itu pula yang bisa menjadikan Raja Iblis Piccolo berteman dengan Son Goku ketika Bezita datang untuk menguasai bumi (yang doyan film Dragon Ball pasti tahu ^^). Alasan yang kurang lebih sama akhirnya juga membuat faksi Hamas dan Fatah yang sebelumnya berseteru, mampu bersinergi mengusahakan perdamaian di Palestina.

Masihkah kita butuh penjelasan tentang manfaat yang bisa kita dapatkan dari bersinerginya segenap komponen masyarakat tanpa tersekat perbedaan? Atau masihkah dibutuhkan pemaparan tentang kerugian yang dialami jika sinergi itu tak kunjung terwujud? Saya kira pertanyaan itu sudah menjadi pertanyaan retoris bagi kita. Langkah yang perlu kita lakukan segera adalah mengupayakan sinergi dalam membangun negeri, dari semua pihak yang merasa bertanggung jawab untuk memperbaikinya, sekali lagi tanpa ada sekat perbedaan, atau pengkotak-kotakan. Caranya adalah dengan terus mengungkit persamaan-persamaan yang ada dan pasti ada. At least, jika tak ada persamaan yang bisa dikompromikan, setidaknya ada persamaan iman yang terus akan mengikat kita sebagai saudara. Saudara seperjuangan.

Wallohua’lam

Comments

  1. mari menjalin cinta dalam persamaan.Mari berkreasi dalam kalimat tauhid!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?