Dari bau Karet hingga Efek Toilet

Kata orang tua, saya lahir di sebuah rumah makan. Tentu bukan di tempat orang makan, tapi di sebuah kamar yang dijadikan tempat beristirahat sang pemilik rumah makan yang tak lain adalah nenek saya sendiri. Rumah makan itu terletak persis di depan persimpangan tempat orang berlalu lalang. Pun, tak jauh dari sana ada sebuah pabrik karet yang hingga saya berkeluarga masih tetap berada di sana dan belum berhenti berproduksi. Ada yang bilang, ini lokasi yang kurang strategis untuk mendirikan rumah makan. Bagaimana tidak, pabrik karet di mana-mana terkenal dengan “kekuatannya” yang mampu menebarkan aroma busuk hingga ratusan meter. Tak ada orang yang betah makan ditemani aroma tak sedap bukan? Itu logikanya. Tapi saya sendiri tidak melihat pengunjung yang sepi. Para pengunjung rumah makan seolah tak menghiraukan aroma yang menerpa mereka. Demikianlah hingga suatu hari baru saya tahu dari seorang teman tentang teori efek toliet.

Jika diterjemahkan dalam kosakata awam, efek toilet adalah efek dari pembiasaan sesuatu terhadap perasaan. Mirip seperti orang yang mencium aroma tak sedap dari toilet, tapi tak lama setelah masuk aroma itu seolah hilang. Tentu ini tidak berlaku untuk kondisi ekstrim (toilet yang salurannya mampet, kemudian tidak pernah disiram selama tujuh turunan). Tak heran jika kemudian pengunjung di rumah makan itu tidak terganggu. Konon, orang yang terbiasa hidup di lingkungan prostitusi tidak akan lagi tabu memandang prostitusi. Ini contoh lain dari efek toilet.

Mari kita bicara lebih jauh tentang masalah norma. Saya pernah membaca sebuah artikel di Majalah Suara Muhammadiyah (promosi ne...), yang membahas tentang makna benar, salah, baik, dan buruk. Secara ringkas dijelaskan bahwa benar-salah terkait dengan kesesuaian antara kondisi faktual dengan apa yang seharusnya. Dengan demikian benar-salah sifatnya konkret dan tetap. Sedangkan baik-buruk terkait dengan kelayakan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain yang dijunjung. Dengan kata lain sifatnya cenderung relatif dan terkait dengan kebiasaan. Ada banyak penjelasan lagi yang bisa diberikan tapi saya kira bukan di sini tempatnya. Relevansinya dengan efek toilet adalah analogi bahwa benar-salah itu ibarat bau faktual yang ada (sifanya kuantitatif) di ruangan, sedangkan baik-buruk itu ibarat bau yang terasa (sifatnya kualitatif). Idealnya, benar-salah berbanding lurus dengan baik-buruk sehingga bila sesuatu benar, maka ia baik dan bila sesuatu salah maka ia buruk. Tapi sekai lagi, itu kondisi ideal.

Sebagai seorang muslim, tak ada keraguan bahwa acuan mendasar tentang sesuatu adalah apa yang Alloh turunkan berupa Al Qur’an dan As sunnah. Dengan kedua instrumen itu, muslim mengukur apa yang benar dan apa yang salah. Sifatnya tetap, pasti, dan universal. Namun jika kita bicara mengenai efek pembiasaan, sesuatu yang salah bisa tidak lagi dirasa buruk baik bagi orang lain. Sebutlah konteks orang yang hidup di lingkungan prostitusi yang tak lagi tabu dengan prostitusi. Atau para sopir angkutan umum yang biasa beraktivitas di terminal-terminal, tak akan lagi tabu terhadap...(you know what). Atau sebagian orang yang up to date terhadap mode fashion dan suka nonton sinetron tidak akan lagi tabu terhadap penggunaan yukensi (lafal terjemahan ), tank top, rok mini, jins dan kaus ketat di depan umum. Ya, semuanya seolah relevan dengan efek toilet tadi. Kuncinya satu. Pembiasaan. Itu juga yang mendasari luruhnya idealisme mahasiswa yang tadinya rela berkoar-koar di jalanan namun jatuh duduk tertunduk pasrah tekulai layu tak berdaya saat pasca kampus berhadapan dengan sistem yang membiasakan mereka terhadap sebuah kesalahan. Contohnya? Pembaca mungkin tahu lebih banyak ketimbang saya.

Tapi Alloh memang berkuasa atas segala sesuatu. Di tengah kecendrungan larutnya masyarakat dalam sebuah pembiasaan, ternyata ada juga orang-orang yang seperti batu di dalam air. Seberapa banyak pun air ditambahkan dan seberapa keras pun air diaduk, batu tak pernah mau larut. Apa pasalnya?

Jika mengikuti prasangka baik, luruhnya sesuatu pada pembiasaan bisa jadi akibat dua hal: pertama, ia jauh dari standar baik-benar dan tak terbiasa hidup dengan standar itu. Kedua, ia tidak tahu keberadaan standar baik-benar sehingga tak terbiasa dengan standar itu. Jauh dan tidak tahu, tapi sama-sama berujung pada minimnya pembiasaan hidup dalam standar baik-benar yang seharusnya. Lagi-lagi, pembiasaan memainkan perannya. Pantaslah kanjeng Rosul mengatakan bahwa Alloh lebih menyukai sebuah amal yang kontinyu meskipun sedikit. Kontinuitas, erat kaitannya dengan kebiasaan bukan? Alloh juga memberikan apresiasi besar pada sikap istiqomah dalam kebaikan. Istiqomah, erat kaitannya dengan keterbiasaan bukan?

Stephen R. Covey bersabda (gaya banget...), bahwa disiplin merupakan sebuah gaya yang akan mengarahkan kebiasaan (nah, lagi-lagi kebiasaan) yang berujung pada kesuksesan kita. Kalau pinjem istilahnya Om Anthony Robbins, itu adalah the power that shapes your destiny. Sepenting dan sedahsyat itu hakekat dari sebuah kebiasaan dan pembiasaan.

Wallohua’lam bishowab

Ngomong-ngomong, kini para pengusaha karet tidak perlu lagi khawatir dengan bau tak sedap dari prosessing karet, karena Pak Noerdy Tedjaputra sudah menemukan cara untuk menghilangkan, secara faktual, aroma busuk pengolahan karet. Caranya gampang, hanya tinggal menyemprotkan asap cair hasil kondensasi pembakaran cangkang kelapa sawit ke karet yang diproses. Bahkan cara ini sudah beliau patenkan hingga ke manca negara. Karya anak bangsa yang (katanya) cuma satu-satunya di dunia. Selamat buat Pak Noerdy.

Comments

  1. Subhanallah...luar biasa akhi...
    btw, ana penasaran tentang kelanjutan cerita hidup antum di rumah makan itu...Bisa diceritakan akh???

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?