Kekurangan dalam dakwah kampus

"Tak ada gading yang tak retak..."

Sungguh sebuah kemuliaan akan hadir bersama peningkatan kualitas, baik itu organisasi, maupun diri pribadi. salah satu syarat agar dapat terus meningkatkan kualitas diri adalah dengan memperbaiki kekurangan yang ada. Dan sebuah kekurangan tak akan pernah diperbaiki jika eksistensinya tak pernah diakui. Maka orang-orang yang bijaksana adalah orang yang gembira saat ada orang lain yang memperingatkan kekurangannya. Sebagaimana yang dilakukan Umar ibn Khattab yang bertahmid saat seorang sahabatnya mengancamnya akan meluruskannya dengan pedang saat Umar keliru. Begitulah cerminan manusia teladan.

Akan sangat sayang sekali jika kemuliaan yang bisa diraih diraibkan begitu saja dengan menganggap diri sudah benar segala-galanya. Menolak mengakui kekurangan apalagi sampai kemudian berbalik menentang orang yang menasehati, sungguh bukanlah sebuah perilaku yang rabbani. Maka heranlah ketika seseorang mengaku dirinya aktivis dakwah namun resisten terhadap kritik ataupun saran perbaikan.

Kembali mencermati kehidupan dakwah di kampus yang bertujuan mengusung kehidupan yang lebih Islami (sebuah tujuan yang mulia). Pada hari ketika tulisan ini dibuat, patut diakui bahwa gerakan dakwah kampus yang ada belumlah luput dari cela. Sangat mungkin ada banyak hal di sana sini yang perlu dibenahi. Namun penulis ingin menyoroti satu hal yang menjadi masalah fundamental. Fundamental karena terkait dengan hal-hal asasi dari sebuah gerakan. Ukhuwah Islamiyah.

Nyaris tak ada aktivis yang tidak mengenal istilah ukhuwah islamiyah. Jika 10 orang aktivis dakwah diminta untuk memberikan penjelasan tentangnya, maka hampir pasti kesepuluh orang tersebut dapat menjelaskannya dengan baik. Namun dalam kenyataannya, ada gap yang terjadi antara hakekat ukhuwah islamiyah dengan implementasinya. Terutama dalam tataran konsep berislam dan berharokah.

Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah, apa itu berislam dan apa itu berharokah? Melalui sudut pandang penulis, berislam artinya menjalani kehidupan secara konsisten pada koridor-koridor Islam yang Alloh tuntunkan, dan sifatnya umum. Sedangkan berharokah (dalam konteks dakwah) artinya menjalankan wahana dakwah dengan seperangkat manhaj yang telah digariskan, juga dengan konsisten. Setelah itu, hal berikutnya yang perlu dijawab adalah, apa yang salah dalam konsep berislam dan berharokah di gerakan dakwah kampus?

Untuk menjawab pertanyaan kedua ini, kita perlu memaparkan sedikit fakta yang ditemui di lapangan. Pertama, alienasi antara beberapa harokah atau gerakan islam di Kampus. Sebut saja HMI, HTI, Gerakan Tarbiyah (PKS), GMNU, IMM, dll (kalau ada). Sudah menjadi rahasia umum bahwa masing-masing gerakan mahasiswa bergerak sendiri-sendiri. Sangat jarang ditemukan kondisi yang bersinergi satu sama lain. Bahkan tak jarang sebagian harokah berusaha menjadi pemain dominan.

Kedua, disorientasi substansi makna berislam dan berharokah. Penulis seringkali menemui aktivis dakwah yang kesulitan membedakan mana yang menjadi koridor syariat dan mana yang menjadi koridor "etika" harokah (lembaga). Sebut saja pembatasan jam malam untuk akhwat. Penulis menganggap wajar jika aturan tersebut ada, dan menganggap wajar pula jika ada "sanksi" bagi pelanggar etika harokah tersebut (jika si pelanggar memang orang yang sudah secara sadar berafiliasi dengan harokah itu). Namun ketidakwajaran ditemui saat aturan tersebut kemudian disikapi seolah sebagai koridor syariat. Wujud nyatanya, seorang akhwat merasa takut terlambat pulang melewati jam malam sebagaimana takutnya ia (atau malah lebih takut lagi ketimbang) terlambat sholat subuh.

Ketiga, fakta yang bisa dicermati adalah adanya sikap taklid dan memudarnya kekritisan pemikiran dari para aktivis dakwah terhadap statemen atau pernyataan sosok di "atas"nya. Padahal, sangat mungkin statement itu keluar untuk konteks yang sama sekali berbeda dengan yang terjadi di lapangan. Contoh konkretnya, munculnya penolakan dari sebuah gerakan terhadap calon presma tertentu karena wanti-wanti dari atasanya bahwa calon tersebut adalah perpanjangan tangan sebuah parpol meskipun calon tersebut sejatinya memenuhi kualifikasi yang diharapkan. Dampaknya segala cara dilakukan untuk menghalanginya kendati harus mencalonkan orang baru yang kompetensinya kurang memadai.

Tiga fenomena tersebut barangkali sudah menjadi rahasia umum bagi sebagian pembaca. Maka, hal yang perlu kita cermati kemudian adalah, di mana konsep ukhuwah islamiyah yang kita dan mereka pahami? Prinsip dasar dari ukhuwah islamiyah adalah ikatan persaudaraan yang terjalin atas ikatan Islam. Di mana ikatan tersebut semakin menguat seiring meningkatnya ketakwaan pada Alloh swt. Bentuk nyatanya, dua orang yang bertakwa seharusnya merasakan ikatan yang semakin erat satu sama lain terlepas apa pun harokahnya. Anomali yang dijumpai, di sebagian orang, kesamaan harokah seringkali menjadi syarat pertama dan utama untuk terbentuknya ikatan persaudaraan yang erat. "Yang penting sama harokah dulu", begitulah kira-kira. Sikap ini tentu saja akan menggeser konsep ukhuwah Islamiyah menjadi ukhuwah harokiyah. Dan ini menyalahi aturan Islam karena sudah termasuk bid'ah. Maka wujud perbaikannya adalah, utamakan ketakwaan seseorang sebelum kesamaan harokahnya.

bersambung...

Comments

  1. Assalamu'alaikum wr. wb.
    Subhanallah! Ana follow blognya akh!

    ReplyDelete
  2. Assalamualaikum....

    bagus sekali tulisannya...

    satu lagi, para aktivis kadang masih terkesan eksklusive. Sedangkan dalam kehidupan kampus, dakwah itu juga berorientasi kepada yang ammah.

    Semoga hal hal ini bisa diperbaiki kedepannya...

    ReplyDelete
  3. n ulis lagi dong bro..di tunggu analisa yang lainnya. keep posting gan!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?