Atas Nama Dakwah (2)

Adakah kebenaran yang memihak?
Bagiku kebenaran tak memihak siapapun kecuali dirinya sendiri...

Tidak sedikit orang di dunia ini yang terjebak pada stigma kebaikan ataupun kebenaran. Sebuah kebenaran mutlak dinilai hanya satu-satunya di muka bumi, dan tidak ada kebenaran yang lain setelah itu. Sesungguhnya ini sebuah pernyataan yang umum dan memang tidak ada yang salah dengan itu. Kebenaran yang sifatnya relatif atau nisbi pada hakekatnya bukanlah sebuah kebenaran. Dan satu-satunya perihal mutlak yang dapat memberikan "fatwa" bahwa sesuatu hal adalah sebuah kebenaran adalah Alloh swt. Wajar, karena Alloh swt hanya memberikan satu standar. Berbeda dengan makhluk yang seringkali multi standar. Yang selanjutnya menjadi masalah adalah perihal stigmatisasi sebuah hal menjadi sebuah kebenaran. Stigmatisasi tersebutlah yang terkadang menjebak.

Berbicara dalam konteks sebuah gerakan, katakanlah gerakan dakwah, perihal stigmatisasi macam ini cukup mudah ditemui. Tak jarang orang terkooptasi dengan pemikirannya sendiri dan memiliki doktrin bahwa pemikirannya adalah satu-satunya kebenaran. Kebenaran dimaknai sebagai sesuatu yang sangat sempit sehingga tidak menyisakan ruang untuk berbeda. Paradigma seperti ini tidak disepakati oleh penulis. Ada sangat banyak ruang yang ada dalam sebuah kebenaran. Analogi yang sederhana, ketika sesorang lapar, pilihan untuk makan sebuah kebenaran. Ketika muncul pilihan selanjutnya hendak memakan apa, nasi goreng atau nasi rawon misalnya, sudah merupakan bahasan yang bebas nilai benar atau salah. Saat ada orang yang memperdebatkan dan berdalih mencari kebenaran tentang makanan apa yang harus dipilih, nasi goreng atau nasi rawon, saat itupula ia telah terjebak pada stigma yang penulis maksud.

Suatu hari, penulis pernah mendapatkan pertanyaan. Dalam sebuah riwayat, dikatakan bahwa kaum muslimin suatu saat akan terpecah menjadi 73 golongan, dan dari golongan-golongan itu hanya 1 golongan yang selamat yakni yang berpegang teguh pada Al Qur'an dan As Sunnah. Pertanyaan yang kemudian diajukan adalah, siapakah golongan yang berpegang teguh itu? apakah NU, Persis, Muhammadiyah, HTI, Ikhwanul Muslimin, atau yang lainnya? Jawaban dari pertanyaan ini tentu bukanlah salah satu dari pilihan jawaban yang diberikan. Sangat mungkin semua opsi jawaban bisa termasuk, karena hakekatnya yang menjadi justifikasi  dari riwayat tersebut bukanlah "nama" organisasi tetapi tingkah dan dasar berprilaku yang digunakan.

Berdasarkan apa yang penulis alami, kegiatan dakwah kampus ternyata menyisakan rentang yang terbuka bagi perilaku macam ini. Salah satu contohnya, adalah pada masa penyambutan mahasiswa baru. Tidak sedikit organisasi keislaman yang berlomba-lomba menggaet kader mahasiswa baru sebanyak-banyaknya. Dalam rangka fastabiqul khoirot, hal semacam ini tentu tidak perlu dipermasalahakan. Namun dalam kenyataannya perilaku saling sikut dan memanfaatkan peluang untuk mendominasi, di mana ada organisasi keislaman yang terzalimi, merupakan hal yang tak layak dilakukan oleh sekumpulan orang yang (mengaku) aktif dalam dakwah. Di balik layar, pernyataan yang berkonotasi celaan terhadap organisasi "rivalnya" juga hal yang bisa ditemukan. Penulis pernah mengalami kejadian di mana seorang oknum melarang penulis untuk terlibat dalam salah satu organisasi karena ia nilai organisasi itu berhaluan kiri. Atau pernyataan seorang oknum lainnya yang menyatakan bahwa salah satu organisasi tersebut berhaluan liberal. Di ujungnya, penulis tidak bisa menemukan apa yang dituduhkan oeh kedua oknum tersebut.

Di ranah lain, tak jarang orang yang tidak mengikuti "adab" yang berlaku umum dalam sebuah organisasi dikucilkan dari pergaulan, dianggap tidak taat, menyempal dari jamaah, dan berbagai atribut negatif lainnya. Sebuah adab (yang notabene di luar ketentuan syariat) dianggap sebuah kebenaran yang terstandar. Ini contoh lain dari sebuah kondisi yang penulis sebut sebagai stigmatisasi kebenaran secara sempit. Seharusnya, mereka yang mengerti bisa memberikan penjelasan sehingga kasus-kasus semacam ini tereduksi.

Wallohua'lam bishowab

(bersambung)

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?