Kekuatan untuk Tetap Konsisten
Sudah menjadi bagian dari Sunatullah bahwa sebuah cita-cita besar akan selalu diikuti oleh konsekuensi besar di belakangnya, dan sebuah konsekuensi besar akan berbanding lurus dengan pengorbanan besar pula. Pada intinya, kesediaan untuk memiliki cita-cita besar sudah selayaknya berdampingan dengan kesiapan untuk menghadapi segala konsekuensinya. Namun, hal ini sepertinya masih gamang dilakukan sebagian besar kita. Sebuah hal yang patut disyukuri ketika kita melihat banyak orang yang memiliki keinginan mulia terhadap umat ini. Keinginan untuk menjadikan ummat ini lebih bermartabat, maju, dan lebih baik dalam segala hal. Namun, sesuatu yang masih menjadi kelemahan selama ini adalah tindakan untuk merealisasikannya.
Setidaknya ada tiga dimensi yang harus dipenuhi untuk menciptakan sebuah perubahan yang terarah. Tiga dimensi itu adalah tujuan, perangkat yang digunakan, dan sistem nilai yang menjadi rambu-rambu. Tiga dimensi ini harus dibangun secara paralel. Kelalaian dalam pembangunan salah satunya akan menyebabkan perubahan tersebut menjadi cacat.
Bila kita berkaca pada peristiwa reformasi yang pernah dialami republik ini, kita bisa belajar bahwa cita-cita saja tidaklah cukup menjadi modal perubahan. Perjalanan Rasulullah kiranya mampu menjadi model dari sebuah perubahan yang berjalan dengan elegan, meninggalkan nilai-nilai yang bertahan hingga saat ini, meskipun beliau telah wafat berabad-abad yang lalu. Bagaimana cita-cita Rasulullah untuk menegakkan agama Alloh di muka bumi, sejalan dengan kekonsistenan beliau dalam meghadapi konsekuensi yang menyertainya. Hal ini didukung pula oleh reputasi beliau selama hidup sebelum menjadi Rasul dan karakter beliau yang cerdas dalam segala aspeknya, intelektual, emosional, terlebih lagi spiritual.
Memulai sebuah tindakan selalu memerlukan energi yang lebih besar daripada melakukan tindakan yang sama setelahnya. Namun, ketika tindakan itu telah dimulai bukan berarti permasalahan selesai. Ibarat sebuah mobil yang bergerak, juga duperlukan energi yang tidak kalah besarnya untuk memelihara pergerakan itu. Betapa banyak kita saksikan orang-orang yang putus asa di tengah jalan saat mereka menemui kondisi buntu dalam bisnis mereka. Atau fenomena klasik yang ada di sebagian organisasi kampus saat ini, di mana para ‘pejuangnya’ perlahan tapi pasti, satu per satu berguguran di sepanjang musim. Oleh karena itu, tak heran jika keistiqomahan merupakan sikap yang diangap istimewa dalam Islam.
Berdasarkan pengalaman empiris, setidaknya terdapat dua faktor yang menjadi penyebab munculnya sikap lemah ini yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal lebih merupakan cerminan lemahnya motivasi seseorang dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Hal ini terkait erat dengan prinsip dan nilai terdalam yang ia miliki dalam dirinya. Dengan kata lain, keteguhan seseorang dalam memegang prinsip dalam hidupnya akan berbanding lurus dengan kekonsistenannya. Dalam sebuah fragmen kehidupannya, Rasulullah saw pernah mengalami sebuah kondisi yang memaksa beliau untuk menentukan keputusan penting dalam sejarah dakwah Islam. Ketika para pembesar Quraisy memaksa beliau untuk berhenti berdakwah melalui pamannya Abu Talib, beliau mengutarakan untaian kalimat yang menunjukkan nilai-nilai terdalam dalam diri beliau atas penolakannya sekaligus menjadi deklarasi nyata atas kekonsistenan beliau setelahnya. “Andai matahari di tangan kananku dan andai bulan di tangan kiriku, niscaya aku tak akan berhenti hingga Alloh memenangkanku atau aku binasa bersamanya”.
Faktor kedua lebih dititikberatka pada lingkungan atau sistem di mana seseorang berada. Tak dapat dipungkiri, kendati setiap manusia memiliki kebebasan untuk memilih respon, lingkungan sebagai stimulan juga memiliki pengaruh besar atas respon yang mungkin diambil. Sebuah sistem yang tidak kokoh, yang memberikan kesempatan kepada orang-orang di dalamnya untuk tidak konsisten akan menyuburkan kemalasan dan kelalaian tersebut. Terkadang pengadaan sanksi atau tindakan koersif lainnya dibutuhkan untuk menciptakan sistem seperti ini. Sebuah kaidah berlaku bahwa paksaan di satu sisi dapat menciptakan suatu kebiasaan dan kebiasaan ini pada akhirnya akan menjadi karakter yang terintegrasi dalam diri seseorang.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa berusaha untuk selalu konsisten bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Ia butuh pengorbanan dan pengorbanan identik dengan rasa sakit. Diperlukan kekuatan yang luar biasa untuk ini. Dan berdasarkan perjalanan Rasulullah saw, kekuatan seperti ini tidak lahir begitu saja. Ibarat otot tubuh, ia perlu dilatih terus menerus untuk meningkatkan kekuatannya. Rasulullah telah ditempa kekuatannya sejak kecil. Berbagai peristiwa yang melatih seluruh dimensi hidupnya telah dialaminya sebelum Alloh ‘melantik’ beliau menjadi seorang pembawa pesan. Begitu pula kita. Kekuatan untuk konsisten akan lahir melalui latihan yang terus menerus dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana. Membuat rangkaian jadwal-jadwal harian seperti jadwal belajar dan membaca buku rutin kemudian menepatinya dapat menjadi contoh perkara sederhana yang dapat digunakan untuk melatih diri memperoleh kekuatan yang lebih besar lagi. Atau dengan membiasakan diri mengerjakan ibadah-ibadah sunnah seperti sholat dhuha 2 rakaat saja setiap hari, juga dapat membantu hal tersebut. Maka tak heran betapa besar hikmah yang Alloh berikan tatkala melalui lisan Rasulnya dinyatakan bahwa Alloh swt lebih menyukai amalan yang rutin meskipun sedikit. Kerena rutinitas kecil tersebut adalah awal dari kekuatan untuk konsisten dalam hal yang lebih besar lagi.
Wallohu’alam bishowab
Sekret Himalogin
Senin, 24 November 2008
Pukul 11.11 WIB
Knight of Heaven
Terima kasih Asto..
ReplyDelete