Kita dan Dunia yang Kecil

Belitong, sebuah pulau di tepi timur Sumatera kini menjadi sebuah nama yang tidak lagi asing bagi sebagian masyarakat Indonesia. Bukan lagi karena eksistensinya sebagai pulau kecil pengasil timah terbesar di Indonesia, melainkan karena sosok-sosok manusia tangguh yang pernah terlahir dari tanah air ini. Sosok-sosok yang diceritakan sebagai pembawa impian dan semangat luar biasa dalam memaknai hidup. Laskar Pelangi, seketika menjadi ikon bagi sebuah fragmen hidup di mana penderitaan selalu bisa disikapi dengan cara yang berbeda oleh manusia. Berterimakasihlah pada Andrea Hirata.

Sekali lagi, Belitong hanyalah sebuah pulau kecil di antara jajaran ribuan pulau lain yang ada di Nusantara dan Laskar Pelangi bukanlah satu-satunya fragmen di mana hidup bisa tampak begitu indah. Sangat mungkin, terdapat jutaan mizaik-mozaik lain yang dapat terangkai membentuk sebuah lukisan raksasa, menggambarkan dunia yang sedang tersenyum, sebagaimana mozaik-mozaik itu juga mampu menggambarkan sisi lain dari wajah dunia kita yang sedang menangis. Menangis menunggu tangan-tangan kita untuk menyeka air matanya.

Ada begitu banyak manusia di muka bumi ini dan sebanyak itu pulalah sejarah tercipta. Tapi, meskipun semua manusia punya sejarah, tak semua manusia punya sejarah yang berharga untuk dunia atau bangsanya. Karena begitu banyak manusia hidup, dan hidupnya selesai hanya dengan memikirkan dirinya sendiri. Ketika Ptolomeus dan Nicolaus Copernicus menyibukkan dirinya atas klaim teori geosentris dan heliosentris, orang-orang tersebut menyibukkan dirinya dengan “teori” egosentris. Segalanya dinilai dari dirinya, oleh dirinya, dan hanya untuk dirinya. Mirip seperti semboyan demokrasi yang sering dielu-elukan. Maka tak heran sejarahnya hanya berhenti sampai dirinya. 

Dalam level masyarakat, teori ini menjadi penyubur tumbunya sikap tamak, angkuh, dan dengki, tiga perbuatan yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim sebagai akar dari kesalahan. Kesimpulan ini dapat dipandang empiris sebagaimana dilihat bahwa tidak ada ketamakan yang disertai kedermawanan, tidak ada kesombongan yang diiringi ketulusan, dan tidak ada kedengkian yang diikuti semangat untuk rela berkorban demi orang lain. Seperti debu di udara, egosentrisme seperti menjadi bagian hidup masyarakat yang seolah sudah selayaknya ada. Pada akhirnya ini membawa ide-ide kebebasan berkespresi, berkreasi, hak asasi, dan segala derivatnya menjadi kabur artinya. Penghargaan terhadap hak-hak orang lain dan norma-norma yang selama itu berlaku juga tereduksi. Sudah sangat banyak perilaku yang berkembang di masyarakat yang dapat membuktikan hal ini. Hilangnya budaya tegur sapa, menurunnya kepekaan terhadap kehidupan masyarakat miskin, praktik riba oleh tengkulak yang menciderai petani, maraknya sajian-sajian di televisi yang tidak mendidik dan semata-mata berorientasi rating, sikap hedonis sebagian kaum muda, hingga praktik korupsi kolusi dan nepotisme mungkin bisa menjadi contoh paling dekat dan lekat dalam kehidupan masyarakat. Dan sekali lagi, tak ada sejarah berharga yang tercipta dari egosentrisme seperti ini.

Sejarah yang berharga hanya akan muncul dari orang-orang besar yang mengkhidmatkan kehidupannya untuk memberikan karya, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk orang lain. Para ilmuwan dan penemu seperti Alexander Flemming, Thomas Alfa Edison, Johan Gutenberg, Ibnu Sina, Al Khawarizmi dan sebagainya adalah orang yang dengan karyanya bisa menghiasi dunia hingga sekarang. Para Penulis seperti Stephen R. Covey, Abdullah Al Qarni, Yusuf Qaradhawi, dan Salim A. Fillah adalah sosok-sosok yang mencoba memperbaiki dunia yang sedang sakit dengan karya-karyanya. Tak sedikit pula para politikus, diplomat, negarawan, serta tokoh-tokoh masyarakat seperti Nelson Mandela, Ahmadinejad, dan Abdullah Gymastiar yang memberi kontribusi terbaik mereka untuk masyarakat luas. Bagitu banyak sehingga tidak mungkin disebutkan satu per satu. Mereka adalah orang-orang yang terpisah oleh jarak, ruang dan waktu. Mereka berbeda satu sama lain. Namun sekali lagi, ada satu kesamaan antara semua tokoh itu yakni bahwa peran mereka, sejarah indah yang berusaha mereka torehkan untuk dunia tidak akan ada tanpa semangat mereka untuk berkarya untuk orang lain. Maka mari tempatkan diri kita sebagai pemeran lakon jalannya sejarah dengan sense kepedulian untuk orang lain dan berkontribusi untuknya.

Berkontribusi untuk kebaikan masyarakat tidak harus melulu tercatat dalam buku-buku sejarah sebagai bagian dari peristiwa besar. Tidak harus selalu menjadi bahan perbincangan dan pelajaran di sekolah-sekolah formal. Dan tidak harus merubah arah putaran dunia. Kontribusi kita untuk masyarakat tetap berharga meskipun kita tak pernah dikenal orang lain dan meskipun menurut kita nilainya sangat kecil. Catatan amal di bahu kita masing-masing sudah cukup menjadi bukti yang kelak bisa memuliakan kita. Dan suatu saat nanti, bisa jadikontribusi "kecil" ini yang nantinya mengantarkan kita dengan sangat elegan, ke surga...

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?