Namanya Muhammad Syafi'i Pasaribu

Ada kesempatan berharga yang saya lewati saat menjadi instruktur sanlat di SMAN 2 Kisaran tahun ini. Kesempatan itu adalah bertemunya saya dengan seorang adik kelas sekaligus rekan yang sangat istimewa. Namanya Muhammad Syafi'i Pasaribu. Beliau istimewa bukan hanya karena ia adalah mualaf yang akhirnya menjadi seorang da'i, tapi juga karena perjalanan hidupnya yang penuh inspirasi. Bila ada satu kalimat yang ingin saya ucapkan untuknya, itu adalah "Ana uhibbuhu fillah", aku mencintainya karena Alloh.

Terlahir sebagai seorang penganut kristiani, ia diberi nama oleh orangtuanya Christian Pasaribu. Ia adalah anak tunggal di keluarga itu. Ibunya meninggal dunia saat ia kelas 1 SD. Tak heran, akhirnya ia menjadi tumpuan harapan sekaligus kesayangan orangtuanya. Apa yang Christian minta selalu dipenuhi, begitulah dia tumbuh. Namun hal itu belum membuatnya lepas dari rasa kesepian ditinggal sang ibu.

Saat ia SMA, nalar kritisnya mulai tumbuh. Kegemarannya membaca yang lahir sebagai kompensasi untuk mengobati rindunya pada sang ibu, membuatnya akhirnya berinteraksi dengan konsep-konsep Islam. Singkat cerita, perkenalannya dengan Islam meninggalkan kesan yang berbekas dalam hatinya. Meski demikian, Christian belum bisa begitu saja menerima Islam. Latar belakangnya sebagai putra seorang pendeta yang memang dibesarkan dalam kultur kristiani yang kental, membuatnya masih kekeuh. Ia tak segan-segan melakukan debat pemikiran secara terbuka. Ia pun akhirnya mengajak seorang guru agama Islam untuk berdebat lebih lanjut. Tidak hanya sekali dua kali. Debat itu berlanjut hari demi hari. Bahkan berdasarkan penuturan guru itu sendiri, Christian tak segan-segan menyambangi rumah sang guru untuk mengajak debat. Begitulah perkenalannya dengan Islam menjadi semakin intens hingga akhirnya agama ini masuk ke dalam lubuk hatinya. Debat yang dilakukannya semakin melapangkan hatinya untuk menerima Islam.

Suatu hari Christian datang kepada seorang bapak dan mengutarakan maksudnya untuk bersyahadat, padahal waktu itu ia masih kelas 3 SMA. Si bapak mencoba menasehatinya agar tidak buru-buru mengambil keputusan. Christian diminta menimbang masak-masak keputusannya itu agar tak menyesal di kemudian hari. Si bapak  pun mengingatkannya bahwa berdasarkan aturan kemenag, seseorang yang ingin berpindah agama namun usianya masih di bawah 21 tahun wajib menyertakan surat persetujuan orangtua atas kepindahan agama anaknya itu. Christian tak gentar dengan aturan itu. Ia bahkan berpikir, andai ia mati sebelum sempat bersyahadat, maka itu akan jadi malapetaka terbesar dalam hidupnya.

Christian lalu pulang ke rumahnya menemui ayahnya. Ia berterus terang, mengungkapkan maksudnya untuk masuk Islam. Awalnya sang ayah tidak mempedulikannya karena menganggapnya hanya bercanda. Namun akhirnya ia sadar bahwa anaknya tidak main-main. Mendengar hal itu, sang ayah terkejut luar biasa. Tak mampu menahan emosi, sang ayah sempat gelap mata dan meluapkan kemarahannya pada Christian dalam cara yang berbahaya. Untung saja para tetangga yang menyaksikan kemarahan itu mampu melerai sang ayah. Christian pun lari dari rumah.

Lewat beberapa hari merenung, Christian memantapkan tekadnya. Ia akan kembali ke rumah menemui ayahnya dan meminta surat persetujuan kepindahannya ke Islam. Singkat cerita, saat maksud itu kembali didengar ayahnya, dengan berat hati sang ayah menyetujuinya. Namun dengan syarat: Christian harus angkat koper dari rumah itu dan tak akan lagi diakui sebagai bagian dari keluarga Pasaribu! Christian menyanggupi. Berbekal sepucuk surat dari ayahnya itu, ia akhirnya bersyahadat di hadapan seorang Ustadz dan beberapa orang saksi. Saya (penulis) termasuk yang hadir dalam acara syahadat itu dan menjadi saksi. Syahadat itu dilakukan pada malam hari di Panti Asuhan Muhammadiyah jalan Setia Budi Kisaran. 

Dari sini hidup baru Christian dimulai. Namanya pun berganti menjadi Muhammad Syafi'i Pasaribu. Ia kini tinggal di panti asuhan tersebut. Namun ia tetap harus memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Untuk itu ia harus rela bekerja paruh waktu, entah sebagai tukang cuci piring di salah satu rumah makan atau sebagai tukang jualan es di pinggir jalan. 

Ternyata tantangan pun belum berhenti menjumpainya. Beberapa kali ia ditemui pihak keluarganya baik di panti asuhan tempat ia tinggal maupun di tempatnya bekerja, yang mengajaknya untuk berpindah agama kembali bahkan dengan iming-iming materi. Namun tekad Syafi'i (Christian) sudah bulat. Ia menolak semua tawaran itu dan tetap pada keyakinannya.

Akhirnya nasib baik pun mulai datang. Kesabaran Syafi'i dibalas oleh Alloh. Setelah lulus SMA dan menganggur selama setahun, ia memanfaatkan waktu luangnya itu untuk belajar di sebuah pesantren. Dengan semangat yang tinggi, Syafi'i mampu menguasai bahasa Arab verbal dalam waktu 3 bulan. Dalam waktu 6 bulan, Syafi'i sudah mahir bahasa Arab tulisan. Dan dalam waktu 1 tahun, Syafi'i sudah mampu menghafal beberapa juz Al Qur'an. Tidak banyak-banyak, 'hanya' 10 juz saja! Saat itulah ada seorang Bapak yang menawarkan diri untuk memberikan beasiswa sekaligus tempat tinggal di Jakarta. Dengan beasiswa itu, Syafi'i akhirnya mengenyam bangku kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Itulah batu loncatan Syafi'i.

Di rumah barunya di Jakarta, Syafi'i pun belajar banyak. Ia rutin menghadiri majlis ta'lim yang diadakan oleh ahli bait. Syafi'i bahkan cukup sering dijadikan 'ustadz cadangan' untuk mengisi pengajian saat ustadz yang diundang berhalangan karena memang ia punya ilmu untuk itu. Klimaksnya, sebuah stasiun televisi swasta pun menghadiahinya umroh ke tanah suci dan memasukkan kisahnya dalam salah satu episode 'Kain Ihram' atas beberapa pertimbangan.

Inilah kehidupannya sekarang. Seorang mualaf sekaligus da'i yang tengah melakukan studi di perguruan tinggi.

Kabar terakhir yang saya dengar, Syafi'i baru saja lulus tes di Universitas Madinah.
MasyaAlloh...

--------------------

Hidayah memang menjadi rahasia Alloh. Alloh beri pada siapa yang Ia kehendaki. Untuk itu sudah sepatutnya kita bersyukur, bahwa sebagian besar kita sudah Alloh beri nikmat berislam sejak lahir. Wujud kesyukuran itu adalah dengan terus mengembangkan diri.

Secara pribadi saya salut, bahkan sangat salut dengan perkembangan Syafi'i sampai sekarang. Dalam waktu singkat ia sudah bisa bahasa Arab dan hafal Al Qur'an. Perkembangan seperti itu cukup menohok hati: Ngapain aja saya selama ini? Mungkin di mana-mana gajalanya memang sama: seseorang yang menjadi mualaf karena keyakinan hatinya cenderung sangat bersemangat mempelajari Islam. Oleh karenanya mereka pun cenderung menampilkan citra yang lebih islami ketimbang muslim kebanyakan yang islam sejak lahir.

Akhir kata, semoga tulisan ini sedikit banyak bisa memberikan penyegaran iman kembali sekaligus memberi motivasi kepada kita agar kualitas keislaman kita lebih baik lagi. Fastabiqul khoirot.

Wallohua'lam 
Sumber tulisan ini adalah penuturan Syafi'i sendiri kepada saya dan penuturan beberapa pihak yang pernah berinteraksi dengan beliau secara langsung 

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?