Terbata-bata hingga Menjadi Bisa

Ini sepenggal cerita sederhana tentang seorang anak yang malas belajar mengaji. Di zaman SD dulu, ketika teman-temannya sibuk sekolah arab (sekolah mengaji) selepas pulang sekolah, dia lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah main Nintendo. Atau kalau sedang rame, dia juga main sepakbola di halaman depan rumahnya. Tak ada guru khusus yang mengajarnya mengaji. Praktis hanya ibundanya yang mengajarnya iqro 1-6 selepas sholat maghrib, itupun dengan susah payah. Hari yang paling disenanginya ketika itu adalah hari Sabtu, karena di hari itu ibundanya membiarkan dia "libur" mengaji. Pernah suatu kali karena sudah kelewat malas mengaji, ibundanya mengancam melarangnya main nintendo sebelum dia mau mengaji. Karena tak tahan sehari tanpa Nintendo, dengan terpaksa si anak ini pun mengaji.

Dua belas tahun kemudian, ketika dia sudah beranjak SMA, level bacaan mengajinya belum beranjak banyak. Dia memang sudah bisa membaca Al Qur'an, tapi dengan seadanya bahkan cenderung terbata-bata. Jangan tanya hafalannya, karena saat itu dia sudah cukup puas dengan bisa tiga surat "Kulhu" plus beberapa surat pendek juz 'amma. 

Suatu hari guru agamanya di SMA membuat sebuah program tasmi' (mendengarkan) Al Qur'an setiap selesai jam pelajaran agama. Di setiap akhir mata pelajaran agama setiap siswa secara bergantian dipersilakan untuk memimpin rekan-rekannya membaca surat-surat pendek Al Qur'an. Singkat cerita, tibalah hari giliran si anak yang jadi tokoh utama tulisan ini yang memimpin tasmi'. Saat itu dia kebagian surat Al Kafirun. Mulailah dia membaca. "Qul yaa ayyuhal kaafiruun....", rekan-rekannya pun mengikuti dengan hikmat. Bacaannya tetap lancar jaya saat menginjak ayat kedua, "Laa a'budu maa ta'buduun" dan teman-temannya pun menyambutnya. Namun di ayat ketiga dia tiba-tiba terlupa dan terpeleset, "Wa laa antum 'abiduna maa 'abadtum...". Sontak teman-teman dan gurunya terperangah sejenak, kemudian langsung membetulkannya, "Wa laa antum 'abiduna maa a'bud", dan seterusnya hingga akhir surat. Saat itu si anak ini pun tertunduk malu. Meski tak ada yang berani mengejeknya saat itu, tapi senyuman geli teman-temannya sudah cukup membuatnya memekurkan diri. Seorang siswa SMA telah salah membaca surat pendek yang bahkan bisa dihafalkan dengan baik oleh anak SD sekalipun. Something wrong with me...pikirnya.

Ketika kuliah, persepsinya terhadap bacaan Al Qur'an berubah membaik. Ia sempat tersentuh dengan bacaan seorang Qori' dalam sebuah acara yang dianggapnya sangat merdu dan indah. Bacaan itu begitu menggetarkan hatinya, berbeda dengan yang didengar di telinganya selama ini yang terkesan datar dan biasa-biasa saja. Sejak saat itu muncul keinginan di hatinya untuk bisa juga melantunkan Al Qur'an dengan baik dan menyentuh hati orang lain. 

Ternyata tak mudah. Bacaannya yang masih belum beres ketika kuliah itu pun sedikit membuatnya frustasi. Hingga akhirnya masjid kampusnya membuka pendaftaran kelas tahsin (perbaikan bacaan Al Qur'an), ia pun memutuskan untuk mengikuti kelas tahsin itu. Dalam kelas tahsin ini para peserta dikelompokkan berdasarkan level bacaannya. Satu kelompok terdiri dari 5-7 orang. Ini dimaksudkan agar pembinaannya bisa lebih fokus dan intensif. Namun hasilnya rupanya tak seperti yang diharapkannya. Ia masih juga belum "ngeh" dengan penjelasan yang diberikan mentor tahsinnya. 

Singkat cerita, beberapa waktu setelah program tahsin berjalan, ujian kelulusan tahsin pun diadakan. Ia ikut serta. Hasilnya? Dari keseluruhan peserta dalam kelompoknya yang mengikuti ujian, dia lah yang tak lulus. Ngajinya masih berantakan, atau setidaknya itulah anggapan mentornya. Si anak ini menangis, dan tak lagi melanjutkan kelas tahsinnya. Putus asa mungkin...haha.

Waktu pun berlalu, dan Alloh pun menunjukkan kasih sayang-Nya saat itu. Si anak ini lulus di sebuah program beasiswa pembinaan SDM strategis, sebuah beasiswa pembinaan dengan cara pengasramaan. Selain menerima sejumlah uang tunai, beasiswa ini memungkinkan pesertanya untuk dikembangkan potensi-potensinya. Dalam salah satu kurikulum pembinaannya, tahsin menjadi menu wajib, bahkan di akhir periode pembinaan yang selesai 2 tahun berikutnya ini, setiap peserta bahkan diwajibkan hafal setidak-tidaknya 2 juz Al Qur'an. Mau tidak mau, si anak pun mengikuti program tahsin kembali.

Alhamdulillah, ternyata di tahsin kali ini dia mengalami kemajuan. Tidak signifikan memang, tapi setidaknya beringsut maju, dan konsisten. Si anak perlahan-lahan mulai terbiasa mengucapkan huruf sesuai makhrojnya, membaca sesuai ghunnah dan panjang pendeknya. Murottal Al Qur'an pun cukup jadi teman setianya. Murottal favoritnya saat itu, murottalnya Musyari Rasyid. Dua tahun ternyata sudah lebih dari cukup untuk memperbaiki kualitas bacaannya. Hingga pada titik klimaksnya, ia pun dianggap mampu dan dinyatakan berhak ke jenjang selanjutnya: tahfizh. Di akhir periode pembinaan beasiswa, dia mampu mencapai target hafalan. Si anak ini mampu hafal 2,5 juz: setengah juz lebih banyak dari target pembinaan.

Ketika dia lulus kuliah dan kembali ke kampung halamannya, secara tak sengaja dia pernah diminta untuk menjadi Qori' untuk membuka pengajian di sebuah masjid di kotanya. Sistem pemilihan Qori'nya sebenarnya asal tunjuk saja. Siapa yang ada di tempat dan dekat dengan letak Al Qur'an, dia lah yang diberi titah menjadi Qori'. Dengan membaca basmalah dan ta'awudz, dia pun mulai membaca dengan perlahan dan tenang hingga akhir ayat. Kemudian pengajian pun berlanjut.

Beberapa waktu kemudian saat pengajian diadakan lagi, dia dipilih lagi sebagai Qori'. Panitia pengajian rupanya menilai bacaannya lumayan bagus. Begitu pula dengan pengajian setelahnya dan setelahnya. Si anak tadi selalu kebagian jatah menjadi Qori'. Qori' rutin, begitu kira-kira. Jamaah pengajian rupanya juga merasa sreg dengan bacaan si anak tadi. Sampai suatu saat, ketika bulan Ramadhan 1432H, dia mendapat telepon dari seorang takmir masjid yang memintanya untuk memberikan tausiyah sekaligus menjadi imam sholat isya dan tarawih. 

===============

Terkadang, sebuah prestasi kecil tidak begitu tampak bersinar, tapi bisa jadi punya arti besar bagi seseorang. Cerita di atas adalah kisah nyata, yang sengaja saya bagi untuk sedikit banyak membuat kita berkaca diri. Sudah kah kita bergerak maju? 

Wallohua'lam bishowab :-)



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?