Pak AR dan Kristenisasi

Ilustrasi Pak AR Fachrudin (sumber foto: di sini)

Saya masih ingat, kira-kira 14 tahun yang lalu, terpampang di dinding SDN 010083 Kisaran sebuah ungkapan yang saya hafal sampai sekarang. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”. Karena masih kecil, tak banyak yang saya pahami dari ungkapan itu. Berbeda dengan ungkapan “Rajin pangkal pandai”, “Malas pangkal bodoh”, atau “Hemat pangkal kaya” yang langsung saya tahu artinya kalau ditanya. Apa maksud bangsa yang besar? Saya kira Indonesia sudah besar dari dulu, 60LU-110LS, 950BT-1410BT, dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau, diapit oleh dua samudera dan dua benua. Tak jelas apa hubungan “besar” dengan “jasa para pahlawan”.

Tapi itu cerita dulu kawan. Sekarang saya telah beranjak dewasa. Begitu pula dengan sahabat-sahabat pembaca. Masyarakat elit yang dididik di perguruan tinggi seperti kita ini seharusnya mengerti apa maksudnya “bangsa yang besar” dan apa korelasinya dengan eksistensi para pahlawan nasional. Betul tidak? . Terlebih, kita punya banyak sekali pahlawan dengan perihidup yang tak kalah istimewa. Kalau di Kuba ada Che Guevara, maka di kita ada Jenderal Soedirman dan Supriyadi. Kalau di Inggris ada Margaret Thatcher, di kita ada Bung Hatta dan Sutan Sjahrir. Kalau di India ada Mahatma Gandhi, di kita ada Buya Hamka dan Ki Bagus Hadikusuma. Kalau di Mesir ada Hasan Al Banna, di kita ada Ki Ahmad Dahlan dan Ki Hasyim Asy’ari. Tak sedikit dari kita yang kurang sadar, bahwa mayoritas pahlawan itu ternyata adalah para dai, para aktivis dakwah juga. Perihidup dan perjuangan mereka banyak yang bisa dijadikan inspirasi untuk jadi lebih baik.

Ini sedikit kisah dari salah seorang pahlawan itu. Namanya KH A.R. Fakhrudin. Beliau adalah seorang dai dan pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah terlama. Suatu hari beliau pernah didatangi mahasiswa yang ngekos di sekitar Kali Code Yogyakarta. Mereka mengadu, mengeluh pada sang Ustadz kalau di daerah mereka tengah ada program kristenisasi yang dibawa oleh seorang pastur. Tiap hari Ahad pastur tersebut datang dan memberikan pengajaran pada anak-anak di sekitar sana. Tak enaknya, anak-anak suka dengan “dakwah” sang pastur tersebut. Pernak-pernik dari mulai permen sampai buku tulis yang diberikan pastur tersebut semakin menambah daya tariknya di mata anak-anak.

“Kalau begitu apa yang sudah kalian lakukan?”, tanya Pak AR. “Ya, kami belum ngapa-ngapain Ustad. Belum bisa apa-apa”, jawab mereka. Pak AR kemudian menjawab, “Oke kalau begitu adakah di antara kalian yang bisa menyanyi?”. “Ya, kalau untuk didengar sendiri bisa Ustad”, jawab mahasiswa itu.

“Ada yang bisa maen gitar dan punya gitar?”, tanya Pak AR lagi. “Saya bisa maen gitar dan gitarnya pun ada Ustad”, kata salah seorang mahasiswa.

“Ada yang bisa bikin mainan dari kertas, seperti burung kertas, kapal terbang, atau kupu-kupu kertas”? Pak AR bertanya lagi. Mereka menjawab bisa.

“Ada yang bisa mengajar berhitung? Mendongeng? Mengaji?” Tanya Pak AR lagi. “Bisa Ustad”, jawab mereka.

“Setiap hari Ahad biarkan diisi Romo pastur. Senin, kalian ajak anak-anak bikin mainan kertas, Selasa kalian ajari berhitung, Rabu kalian ajari menyanyi sambil maen gitar, Kamis kalian ajari mendongang, Jum’at kalian ajari mengaji, Sabtu kalian ajari bahasa, sejarah, atau terserah kalian. Nanti saya yang ngasi buku dan permen. Ambil besok”, kata Pak AR.

Program dimulai Ahad depan. Sebelum mahasiswa-mahasiswa aktivis dakwah itu pulang, Pak AR titip dua lagu untuk diajarkan pada anak-anak. Lagu pertama: “Topi Saya Bulat”, tapi syairnya diubah jadi: “Tuhan saya satu, satu Tuhan saya, kalau tidak satu, bukan Tuhan saya”. Lagu kedua: “Tuhan Alloh satu. Tak berbapak Ibu. Tak beranak tak bersekutu. Tuhan Masa Esa. Tak ada bandingnya. Tak bercucu dari suatu apa. Seandainya Tuhan itu dua. Dunia sungguh sudah binasa”.

Setelah sebulan, para mahasiswa itu pun laporan ke Pak AR bahwa Romo pastur sudah tak berkunjung lagi. “Ya, tapi kalian jangan berhenti. Pengajian jalan terus, dongengnya terus, berhitung, bahasa, sejarah jalan terus”, kata Pak AR sambil tersenyum. Jadilah anak-anak itu akrab dengan pengajian. Happy ending bukan?

Itu cuma sekelumit cerita dari seorang pahlawan Nasional. Masih banyak cuplikan kisah-kisah lain yang indah, berharga, dan menginspirasi. Bagi aktivis dakwah, sekelumit kisah di atas sedikit banyak mengajak kita untuk introspeksi diri. Cukup relevan dengan kondisi kita saat ini. Kita, sebagai pemuda seringkali merasa “risih” karena sebuah masalah dan tergerak ingin agar itu segera berubah. Lalu kita mengeluh atau curhat pada orang lain, orangtua kita, murobi kita, kakak kita, sahabat kita, teman kita, atau bahkan pada penduduk dunia tentang masalah itu dan berharap mereka bisa memberi solusi. Tapi parahnya, dengan curhat itu kita merasa seolah tanggung jawab kita sudah selesai. Yang kita lakukan berikutnya hanya menunggu. Menunggu orang lain menjadi eksekutor perubahannya. Eksekutor solusinya. Pernah ada seorang al akh yang mengeluh ini itu di status facebooknya. Beragam analisis masalah dipaparkan. Tapi tak ada rekomendasi program untuk jadi solusinya. Al akh yang lain pun tak jauh beda. Komennya selalu bernada keluhan, mengeluhkan pemerintah, mengeluhkan nasib, bahkan lapar dan jerawat pun dikeluhkan. Seolah keluhan itu ngefek dan bisa berubah jadi hal yang empowering.

Tentu ada banyak permasalahan bangsa yang tak sanggup kita tangani. Meminjam istilah Stephen R. Covey, banyak masalah yang ada di luar lingkaran pengaruh kita. Namun kebiasaan efektif menuntun kita untuk fokus pada apa yang bisa kita lakukan. Fokus pada sesuatu yang ada dalam lingkaran pengaruh kita. Persis seperti yang diminta Pak AR pada mahasiswa-mahasiswa itu. Persis seperti ketika Rosululloh saw meminta seorang sahabat untuk menjual perabotnya dan menggunakannya untuk membeli kapak, lalu kapak itu jadi asetnya untuk menghidupi keluarganya.

Kisah di atas juga memberikan kita referensi berharga tentang akhlak meyikapi kesesatan dengan cara non-kekerasan. Alih-alih menyuruh mahasiswa itu untuk mengepalkan tinju, berdemo untuk menarik perhatian, atau menghadang Romo pastur masuk ke Kali Code, Pak AR lebih memilih untuk meminta mahasiswa “bersaing secara fair”. Seolah menafsirkan ayat ‘Ud’uu ila sabilika robbika bil hikmah, wal mau’idzhotil hasanah...menyeru pada jalan Alloh dengan hikmah dan cara yang baik, bukan dengan perkataan tapi langsung bil haal, dengan perbuatan. Hasilnya Romo pastur tidak datang lagi bukan karena dilarang tapi karena sepi peminat.

Hari ini, siapa yang masih berani mengaku sebagai aktivis dakwah? Saya, kamu, dia, mereka, kita? Butuh lebih dari sekedar kompetensi ordinary untuk itu kawan. Aktivis dakwah mestilah extraordinary. Ekstraordinary dalam keilmuan, sikap, akhlak, tingkah laku, amal yaumiyah, bacaan, pemikiran, pergaulan, keahlian, bahkan ekstraordinary dalam status facebook  sekalipun. Para pendahulu kita sudah melakukannya (tapi minus status facebook). Dari Khulafaur rasyidin sampai ulama-ulama salaf, dari Ibnu Taimiyah sampai Shalahudin Al Ayyubi, dari Hasan Al Banna sampai Jenderal Soedirman, Ahmad Dahlan, Bung Tomo, Hamka, Mas Mansur, dan KH Hasyim. Dari mereka sampai kita. Merekalah para pahlawan itu, dan karena mereka peradaban menjadi besar. Dari mereka sampai kita.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Kita akan jadi bangsa yang besar, ketika ada penghargaan terhadap pahlawan-pahlawan kita. Satu perwujudan dari penghargaan itu adalan menjadi pahlawan berikutnya. Penerus mereka. Kita kah sosok pahlawan di masa depan? Kita kah yang akan membawa peradaban Islam menjadi lebih baik? Tentu saja, jika kita serius berupaya untuk itu. Betul tidak? 

Wallohua’lam bishowab

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?