Berangkat dari Realitas

White Dunes (sumber: brightside.me)
Alhamdulillah hari ini dapat kesempatan Jum’atan di masjid belakang kantor Wapres. Qodarulloh, isi khutbahnya cukup bagus dan agak beda “nuansa”-nya dengan khutbah yang biasa saya dengar di kantor. Khutbah kali ini cukup aktual dan relevan. Isinya membahas soal kelas pekerja Jakarta yang sehari-hari berhadapan dengan kemacetan, dan bagaimana sebaiknya kemacetan itu disikapi. “Kalau kita benar menyikapinya, insyaAlloh lamanya waktu di perjalanan justru bisa menjadi berkah”, kira-kira begitulah substansi pesan sang Khotib.

Di antara banyak pilihan kegiatan yang bisa dilakukan selama macet, khotib menawarkan tahfizh, (menghafal Qur’an) sebagai salah satu alternatif. Bukan dengan membaca, tapi dengan mendengar, lewat ponsel atau perangkat elektronik yang sudah jadi bagian hidup kita sehari-hari. Beliau kemudian menceritakan pengalaman riil beliau pribadi sewaku kecil yang bisa hafal juz 30 di usia 5 tahun tanpa menghafal sama sekali. Simply karena mendengarkan tilawah di rumahnya berulang-ulang. (Ingat Mars Perindo yang fenomenal itu kan? Hehe)

Beliau juga bercerita ada 4 orang warga nonmuslim di kampungnya yang pada akhirnya mengucap syahadat. Usut punya usut, sebelum bersyahadat mereka ternyata sudah hafal surah Yasin akibat kerap mendengar wirid setiap pekan. Lantas hafalnya mereka itu jadi pemantik datangnya hidayah Alloh selanjutnya.

Sesaat sebelum khutbah ditutup, Khotib mengingatkan jamaah bahwa tujuan dari tahfizh sebenarnya bukan supaya kita hafal Al Qurán. Tujuan tahfizh adalah agar kita akrab dengan Al Qurán, dan memilih menjadikan Al Qur’an sebagai teman perjalanan. Sementara hafal adalah efek, bonus. Kalau niatnya pas, insyaAlloh bonus itu akan datang sendiri.

----
Saya selalu senang dengan khutbah yang berangkat dari realitas kehidupan sehari-hari yang dekat seperti ini

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?