Catatan Cinta dari Makkah [Resensi]

Alhamdulillah pekan lalu Alloh berikan saya kesempatan menamatkan buku ini. Buku ini saya pinjam dari seorang teman dan berdasarkan endorse dari beliau, katanya sih bagus.


Secara ringkas ini adalah buku tausiyah. Jadi kalau kita sering liat temen yang biasa posting status tausiyah rada panjang di fb, nah kita akan menemukan hal yang kurang lebih sama di buku ini. Karena memang buku ini adalah kompilasi dari postingan-postingan status fb penulisnya. Tapi kata orang-orang tua dulu, lain lubuk lain ikannya. Lain penulis, lain pula cara penyampaian tausiyahnya.

Cara Mas Awy (penulisnya) menyampaikan tausiyah adalah dengan menceritakan sekelumit fragmen pengalaman hidup dirinya dan orang-orang di sekelilingnya, untuk kemudian diambil ibroh atau pelajaran darinya. Simpel, tapi cukup efektif mengena, karena kisah itu memberikan konteks sehingga pesan yang disampaikan terasa dekat dengan kehidupan kita. Terlebih tausiyahnya disampaikan dengan santai. Kisahnya juga beragam, dari yang lucu sampai yang mengharu biru. 

Yang istimewa dari buku ini adalah latar belakang penulis yang seorang santri. Bahkan judul buku ini, “Catatan Cinta dari Makkah” diambil dari fakta bahwa dia ditulis ketika penulisnya tengah melanjutkan nyantri di Rushaifah, Makkah. Sebagai seorang awam, baca beberapa fragmen kisah penulisnya saya jadi sedikit paham bagaimana kehidupan ala santri. Setidaknya saya menemukan sedikit penjelasan mengenai kebiasaan yang bagi sebagian orang dipandang keliru, semisal ziarah kubur ke makam wali, tirakatan, dzikir dan sholawatan dengan cara tertentu dan sebagainya. Atau mengenai tradisi yang bagi sebagian kita istimewa tapi bagi mereka biasa saja misalnya mengkhatamkan Al Qur'an 30 juz dalam satu hari. Belum lagi cerita khas sistem pendidikan di ma'had. Menarik dan cukup membuka wawasan. 

Ada beberapa kisah yang cukup membekas, misalnya cerita saat Kyai Ali Sya’roni (kakek penulis) di zaman Belanda dulu rela menempuh perjalanan dari Pacitan ke Mojokerto pulang pergi dengan berjalan kaki, demi untuk dapet Kitab Hasyiyah Al Baijur. Sebagai informasi, Pacitan-Mojokerto pp itu jaraknya sekitar 227 kilometer. Gak berhenti di situ, setelah sampai Pacitan, beliau baru ngeh kalau ada bundel kitabnya yang ketinggalan. Lantas beliau pun kembali berjalan kaki dari Pacitan ke Mojokerto pulang pergi buat mengambili bundle itu. Padahal bundle yang ketinggalan itu isinya gak sampai 25 halaman. Laa haula walaa quwwata illa billah.

Ada juga kisah teman penulis, yang namanya Takbir bin Tauhidullah. Takbir ini adalah santri tuna rungu, tapi semangat belajarnya tinggi. Setiap ada kajian, Takbir duduk sejejeran ustadz-nya, matanya melotot, lehernya ditelengkan, kupingnya dipasang mengarah ke Pak ustadz, wajahnya memerah. Gawatnya lagi, Takbir kerap salah tangkap yang berakibat dia salah faham dengan isi kajian. Untungnya dia suka bertanya, mungkin sadar bahwa pemahamannya kadang eror. Namun di tengah kekurangannya itu, Takbir tak pernah putus asa meskipun dia kelihatan menderita sekali dalam belajar.

Ada banyak kisah lain yang inspiratif yang disampaikan di buku ini. Total kisahnya ada Sembilan puluhan kalau saya tidak salah, dan jumlah halamannya ada 416. Dari keseluruhan kisah yang saya baca, dari mulai yang biasa sampai yang luar biasa, setidaknya ada satu pelajaran penting yang bisa saya ambil. Bahwa Alloh itu sebenernya ngasih kita banyak pelajaran dari setiap peristiwa yang kita alami. Meminjam istilah Pak Jokowi: pelajaran hidup itu sebenernya ada, tinggal kita mau atau tidak (untuk menggalinya). Eh…

Wallohua’lam

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?