Rute Alternatif


Sebagai orang yang berdomisili di Bogor dan berkantor di bilangan Gatot Subroto Jakarta, saya termasuk salah satu korban proyek pembanguan fly over Pancoran dan jalur lintasan LRT. Penyempitan jalan akibat proyek membuat bottleneck di simpang lampu merah Pancoran dan akhirnya menyebabkan perjalanan jadi macet. Ini seperti deja vu pembangunan fly over simpang Kuningan Barat dulu, dengan intensitas yang mungkin 1,5 kali lebih parah. Busway pun tak luput menjadi korban. Separator yang tadinya memberi eksklusivitas moda transportasi ini, dicabut demi mengkompensasi penyempitan jalan tadi. Praktis waktu tempuh di waktu-waktu ramai bisa jauh lebih panjang. Kalau biasanya dari St. Cawang ke Tegal Parang naik Transjakarta (TJ) saya cuma butuh waktu sekitar 20-25 menit, kini bisa 1,5 jam. Itu artinya terlambat sampai kantor, dan tunjangan kinerja (tunkin) saya pun jadi dipotong. Haha.

Tapi kata orang hidup adalah pilihan, baik pilihan yang terhidang di depan mata, maupun pilihan yang harus kita create sendiri. Berhadapan dengan resiko tunkin dipotong, saya harus putar otak untuk cari cara supaya tidak terlambat. Tak kurang dari 7 opsi muncul di kepala saya:
  1. Tetap pakai TJ dengan rute biasa, tapi berangkat lebih pagi;
  2. Naik bis jemputan kantor;
  3. Instead of naik TJ, saya jalan kaki dari St. Cawang ke kantor;
  4. Jalan kaki dari St. Cawang sampai Pancoran, lalu dari Pancoran naik angkutan umum (bisa TJ, atau metromini 640 arah Tanah Abang)
  5. Naik ojek online dari St. Cawang ke kantor;
  6. Instead of turun di St Cawang, saya turun di St. Sudirman lalu sambung metromini 640 arah Ps. Minggu;
  7. Turun di St. Sudirman lalu sambung Transjakarta jurusan Dukuh Atas 2 - Ragunan, lalu berhenti di Halte Kuningan Timur
Opsi pertama, mengharuskan saya untuk sholat subuh di stasiun Bogor. Tanpa bermaksud menyinggung commuter lain yang memang rutin sholat subuh di stasiun, saya termasuk yang kalau tidak terpaksa, tidak terlalu suka subuh di stasiun. Pasalnya subuh di stasiun itu atmosfernya buru-buru. Tempat terbatas sementara jamaah yang melimpah mengharuskan adanya antrian. Kita juga jadi susah sholat sunnah fajar.

Opsi kedua, bisa buat menyiasati karena biasanya dia lewat tol dalam kota sehingga tidak langsung terdampak penyempitan jalan. Tapi ini kendalanya mirip opsi pertama. Saya harus sholat subuh di Masjid Raya Bogor, tempat yang dilalui bis yang ada tempat parkir sepeda motornya. Di sini atmosfernya santai. Tapi saking santainya saya kadang jadi suka deg-degan, jangan2 bis sudah keburu lewat sebelum sholat subuh selesai. Soalnya bis biasanya berangkat pukul 05.00 WIB. Supaya gak deh-degan saya bisa saja sholat di SMAK Bogor, tempat pool si bis ini awal meluncur. Tapi harus munfarid. 

Opsi ketiga, kendalanya simpel. Jalan setiap hari sejauh kurang lebih 4 km agaknya lumayan melelahkan dan bikin kaki gempor. Khawatir sesampainya di kantor malah jadi gak produktif karena keburu kehabisan tenaga. Kalau sesekali, boleh lah.

Opsi keempat, ini salah satu opsi cukup feasible sebenarnya. Simpang Pancoran itu cuma setengah jalan dari St. Cawang ke kantor saya. Jalan kaki ke sana masih bisa ditoleransi. Cuma kadang ada faktor luck juga. Karena jalur menuju kesini memang macet, ada kemungkinan saya lama menunggu akibat masih banyak bis/angkutan yang terjebak agak jauh.

Opsi kelima, mahal. Kecuali saya dapet promo terus-terusan atau tiba-tiba saya naik jabatan. Haha. Tapi sesekali bolah lah.

Opsi keenam, saya belum pernah coba. Sepertinya termasuk yang feasible juga. Tapi denger-denger kabar, sekawanan pencopet senang beraksi di metromini jurusan ini

Opsi ketujuh, rasanya ini opsi yang paling menarik buat saya. Waktu tempuh total memang lebih lama dibandingkan cara normal, namun sejauh yang saya rasakan semua kriteria penghambat di atas sejauh ini belum saya temukan di opsi ini. Saya masih bisa sholat subuh di masjid deket rumah. Harga terjangkau karena sama naik TJ. Kondisi lebih nyaman karena Dukuh Atas adalah halte pertama. Selain itu lajur Kuningan nampaknya juga belum terlalu padat dan macet di waktu-waktu pagi.

Bicara soal pilihan, kadang kita juga bicara soal rasa bersyukur. Karena bisa jadi ada orang yang pilihannya tidak sebanyak kita. Qodarulloh saya beruntung karena berkantor di kawasan yang dekat dengan persimpangan dan termasuk pusat kota. Tapi bagi orang lain, mungkin kemacetan jadi hal yang tak bisa dia hindari.

Terlepas dari itu semua, kadang memang alternatif itu perlu diupayakan. Butuh effort ekstra untuk mencoba cara baru yang mengeluarkan kita dari zona nyaman. Percayalah, kata Alloh sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.

UPDATE:
Setelah kira-kira 3 bulan berselang, ternyata saya menemukan alternatif kedelapan, yakni naik  KRL dan turun di St. Tebet. Dari sana ada feeder bis transjakarta yang melewati Jl. Cassablanca ke arah kuningan. Saya naik itu kemudian turun di halte Patra Kuningan lalu sambung Transjakarta lain yang melewati halte Kuningan Timur. Opsi kedelapan ini sekarang yang paling layak karena waktu tempuhnya lebih singkat dibandingkan opsi ketujuh.

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?