Tentang Qishash


Sore itu, selepas pulang kantor di KRL menuju Bogor, saya menekuni rutinitas seperti biasa buat mengisi waktu: nonton video donlotan. Kali ini video yang saya saksikan adalah rekaman ceramah Ust. Khalid Basalamah. Btw, beliau sejauh ini termasuk Ust. Favorit saya. Meskipun dalam beberapa hal saya lebih mengikuti pendapat ulama yang lain ketimbang beliau, tapi saya tetap suka karena saya merasa memperoleh manfaat dari banyak sekali ceramahnya. Kembali ke narasi, jadi di kesempatan ini ada satu bahasan yang menarik perhatian saya. Tentang qishash.

Seorang jamaah bertanya kepada beliau, bagaimana cara ia bertaubat dari dosa zina yang pernah dikerjakannya di masa lalu. Haruskah ia dirajam? Jawaban Ust. Khalid cukup mengejutkan saya. Menurut beliau (dan saya juga baru tahu ada pendapat seperti ini) qishash sebenarnya diberlakukan bagi pendosa yang kepergok. Ketahuan orang lain. Apabila suatu dosa besar seperti zina terjadi terhadap diri seorang hamba, lalu dengan izin Alloh dosa itu Alloh tutupi, tak ada seorangpun yang tahu kecuali dirinya sendiri, lantas kemudian hamba tersebut bertaubat, maka taubatnya melepaskan dirinya dari kewajiban di-qishash.

Terhadap pendapat ini, Ust. Khalid berdalil dengan riwayat dimana ada seorang wanita yang mengaku di hadapan Rosululloh bahwa ia telah berzina kemudian hamil dari hasil zinanya tersebut dan ingin bertubat. Untuk itu ia meminta agar Rosululloh bersedia merajamnya. Namun respon Rosululloh justru ingin menundanya dengan alasan agar si wanita melahirkan bayinya terlebih dahulu. Setelah melahirkan, si wanita datang kembali dan meminta hal yang sama. Akan tetapi Rosululloh lagi-lagi menundanya dengan alasan agar si wanita menyusui anaknya sampai genap 2 tahun. Setelah dua tahun, si wanita kembali datang meminta untuk dirajam. Kali ini Rosululloh merestuinya, dan berkata bahwa andaikan taubat wanita tersebut dibagi kepada seluruh penduduk Madinah niscaya akan mencukupi. Wallohua’lam.

Dari riwayat tersebut, Ust. Khalid mengambil kesimpulan bahwa pada dasarnya Rosululloh sebenarnya memberi jalan bagi si wanita untuk mangkir dari qishash, dan menyimpan dosa beserta taubatnya untuk dirinya sendiri. Tak cuma sekali, tapi dua kali. Andaikata setelah Rosululloh menyuruhnya pergi lantas si wanita tak kembali, bisa jadi Rosululloh tak akan mengungkitnya lagi. Terkait dengan qishash ini, dalam video itu Ust Khalid juga mengingatkan kepada jamaahnya bahwa ada sebagian kaum yang sangat bersemangat terhadapnya. Saking semangatnya, muncul pemikiran bahwa sebuah negeri yang belum menerapkan qishash adalah negeri thoghut yang wajib kaum muslimin untuk berlepas diri darinya. Menurut beliau pemahaman tersebut keliru yang lahir dari ketergesa-gesaan. Qishash adalah bagian agung dari hukum Islam, namun bukan berarti ia adalah segala-galanya. Ust. Khalid mengingatkan agar kita tetap menilai sesuatu secara adil dan proporsional.

Beliau mencontohkan Indonesia. Bahwa meskipun belum menerapkan hukum qishash, ada bagian syariat lain yang sudah tegak di negeri ini dan itu patut disyukuri. Misalnya, adanya ketakmiran masjid di mana-mana, adanya lembaga zakat seperti Baznas yang berada di bawah koordinasi pemerintah, adanya pengelolaan haji, adanya sidang itsbat untuk menentukan jatuhnya awal bulan, leluasanya kaum muslimin untuk berdakwah, dan sebagainya. Adanya kekurangan, menurut beliau adalah untuk dibenahi sehingga lengkap, bukan untuk dijauhi apalagi dimusuhi.

Mendengar video ceramah ini membuat saya teringat kembali pada sebuah percakapan di WA dengan seorang teman karib. Saat itu teman saya mengeluh pada saya bahwa ada rekannya yang mulai tergoda untuk berhijrah dari Indonesia karena tertarik dengan propaganda ISIS di Suriah. Saya berpikir, andai rekannya teman saya itu mau lebih bersabar, tidak tergesa-gesa, dan mendengar kajian lebih banyak dari ulama seperti Ust. Khalid, barangkali ia bisa berpikir berulang kali terlebih dulu sebelum memutuskan berhijrah ke sana. Wallohua’lam

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?