Bukan Diskriminasi


Apakah patut seorang muslim memilih orang kafir sebagai pemimpin, khususnya di wilayah yang mayoritas muslim? Sebagian besar agamawan tentu akan menjawab tidak. Dan saya termasuk yang mengikuti pendapat kebanyakan agamawan itu. Namun, saya kira masyarakat butuh lebih dari sekedar dalil "pengharaman". Masyarakat butuh alasan. Masyarakat butuh penjelasan. Mengapa seorang non-muslim tidak patut dipilih oleh kaum muslimin menjadi pemimpin di wilayah yang mayoritas muslim? 

Dalam perspektif saya, memilih pemimpin publik adalah memilih sosok yang akan bertanggung jawab atas banyak hal. Tak cuma urusan dunia, tapi juga urusan akhirat. Sejauh yang saya tahu, lakon Rosululloh saw plus empat Khulafaur rasyidin setelah beliau merefleksikan fungsi pemimpin yang paripurna. Ia tak hanya bertugas menjamin rasa aman dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, tapi juga mendorong terlaksananya hukum Alloh dengan sebenar-benarnya. 

Seorang pemimpin, idealnya, berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dalam posisi utama. Bila kalian melihat kemunkaran, kata sebuat riwayat, maka ubahlah dengan tangan kalian. Bila tidak mampu, maka ubahlah dengan lisan kalian. Bila tidak mampu juga, maka ubahlah dengan hati kalian dan itulah selemah-lemah iman. Dalam konteks ini, pemimpin adalah sedikit (kalau tidak dibilang satu-satunya), pihak yang legitimate untuk melawan kemungkaran dengan tangan. 

Nah, adanya dimensi ukhrawi dalam tataran ideal sebuah kepemimpinan publik lantas membuat larangan memilih pemimpin kafir menjadi sangat make sense. Masuk akal. Bagaimana mungkin kita mengharapkan seorang yang tidak beriman kepada Alloh untuk memelihara hukum-hukum Alloh? 

Lantas apakah itu berarti Islam diskriminatif terhadap non-muslim? Hmm… menurut saya ini tergantung dari seluas apa lingkup kata “diskriminatif” itu kita maknai. Tak cuma melarang memilih pemimpin kafir sebenarnya, Islam juga melarang pernikahan antara seorang muslim/muslimah dengan orang kafir. Islam pun melarang non muslim masuk ke tanah Haram (Makkah-Madinah) sebagaimana juga melarang mereka menjadi imam sholat (ya iya lah…). 

Tapi yang juga perlu diingat, Islam juga tak melarang pergaulan muslim-non muslim dalam bingkai yang ma’ruf. Islam tak mengakui superioritas golongan dalam soal duniawi. Mukmin-kafir, kalau salah ya dihukum. Mukmin-kafir, kalau sakit ya dijenguk. Kalau susah ya dibantu. Mukmin-kafir kalau dizalimi ya berhak dibela. Dan seterusnya.

Wallohua’lam

---
Foto: Gurun Namibia (sumber: brightside.me)

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?