Lembur di Hari Pertama Kerja

Sumber: pixabay.com


Hari itu hari pertama masuk kerja setelah libur Hari Raya Idul Fitri plus cuti bersama. Bagi sebagian orang, ini masa dimana bekerja dalam level suboptimal masih bisa ditoleransi. “Masih suasana lebaran”, itu alasannya. Sebagian rekan kerja malah ada yang masih memperpanjang libur dengan mengambil jatah cuti tahunannya. Walaupun secara eksplisit itu sudah dilarang Menteri PAN-RB, who cares? Sudah tradisi. Kata biscuit Roma.

Tapi di hari itu, saya termasuk yang sudah bekerja “normal”. Soalnya sudah dikejar deadline. Qodarulloh saya bekerja di bagian yang mengurusi masalah penganggaran se-Kementerian. Sebulan lagi, soal penganggaran ini harus udah selesai sebelum Presiden membacakan Pidato Kenegaraannya menjelang peringatan 17 Agustusan. Singkat cerita, karena tuntutan deadline demikian di hari itu saya bersama dua orang rekan kerja lainnya memutuskan untuk lembur di kantor. Misi malam itu: menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk melanjutkan proses penganggaran keesokan harinya.

Apakah misi malam itu terpenuhi? Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Alloh. Mission accomplished, meski perlu waktu sampai jam setengah 9 malam buat menyelesaikannya. Maka begitu itu semua selesai saya pun harus segera pulang, mengingat besok pagi -ya seperti biasa- setelah sholat subuh harus sudah berangkat lagi. No toleransi. Gak ada dispensasi. Demi tunjangan kinerja yang full, saya harus datang ke kantor tepat waktu.

Keesokan harinya, singkat cerita, ternyata bahan yang sudah kami siapkan sampai lembur dan begadang itu tak digunakan. Well, alasannya terlalu teknis untuk diceritakan. Tapi kebayang kan ya gimana rasanya. Sakit? Tidak. Kecewa? Jelas iya. Kalaulah boleh berandai-andai, waktu yang dihabiskan di kantor itu alangkah lebih baiknya digunakan buat bercengkerama dengan keluarga di rumah. Tapi ya sudah. Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asymihi syai’un fil ardh wa laa fis samaa’, wahuwa as samii’ul ‘alim. Bagian dari dzikir pagi-petang itu menjanjikan bahwa dengan nama Alloh, tak ada mudharat di bumi maupun di langit. Maka saya harus berbaik sangka, kekecewaan ini bukanlah mudharat.

Dan memang setelah saya pikir-pikir, kejadian ini ternyata membawa ibroh. Setidaknya saya diingatkan kembali agar sebelum berkeras-keras, berpayah-payah, berlelah-lelah, pastikan dulu apa yang mau saya lakukan itu betul-betul meaningful untuk tujuan akhir. Jangan sampai segala upaya itu jadi sia-sia. Dan ini bisa kita tarik juga untuk konteks yang lain. Semisal kita mati-matian menumpuk-numpuk harta, padahal tumpukan harta itu tak dibawa mati. Untuk apa? Kita habis-habisan mengejar status dan pujian orang, sementara itu tak menambah pun mengurangi timbangan amal kita di hadapan Alloh. Untuk apa?

Lantas di sini, tampak jelas relevannya pesan Nabi, bahwa bagian dari kebaikan seorang mukmin adalah meninggalkan hal yang tidak ada gunanya. Di QurĂ¡n juga ada ayat serupa. Beruntunglah orang-orang mukmin, yakni orang yang meninggalkan al laghwi (kesia-siaan) –Al Mu’minuun: 3. Ini pesan sederhana tapi mengena. Waktu, tenaga, dan harta kita adalah sumber daya yang terbatas. Jangan sampai dia habis begitu saja untuk hal-hal yang meaningless.

---

Tapi kalau ditelisik lebih dalam lagi dari segi hakekat, lembur dan begadangnya saya itu sebenarnya tak sia-sia amat. Saya percaya kalau Alloh itu selalu menghargai proses selama niatnya betul. Selama niat bekerja adalah karena Alloh, maka akan selalu ada balasan dari Alloh. Pahala dunia-akhirat. Bukankah Alloh tak pernah ingkar janji? :)

Wallohua’lam

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?