ATM Error 2 The Series


Mesin ATM, sumber: pixabay.com

Ini film rilisan tahun 2013. Dan saya baru berkesempatan buat nonton di awal Januari 2016. Itupun tak sengaja. Pas mindah chanel di TV, ngelihat Chantavit Dhanasevi muncul. “Eh, film apa ini?”, begitu saya membatin. Wajah Chantavit memang akrab di ingatan saya karena film “ATM Error” dan “Hello Stranger” yang pernah dibintanginya cukup bikin saya berkesan. Waktu itu saya masih inget-inget lupa dengan wajahnya Preechaya, pemeran tokoh Jib. Maklum, wajah perempuan oriental di mata saya kayaknya sama semua. Jadi waktu itu masih belum ngeh. Nah, begitu saya ngeliat wajah Yoh muncul, baru saya tersadar. “Oh, ini dia film ATM Error yang versi sinetron”, begitu kira-kira isi kepala saya. Sebelumnya saya sebenernya udah tau ada sequel dari film ATM Error lewat Youtube, tapi ya nggak nyangka aja dia diputar di TV nasional.

ATM Error 2 menceritakan kelanjutan kisah dari Sua dan Jib, yang di akhir versi movie sebelumnya *SPOILER* memutuskan untuk menikah. Di sini diceritakan bagaimana keluarga muda itu menghadapi lika-liku plus dinamika kehidupan berumahtangga, tanpa mengubah ciri khas yang sudah ditonjolkan di versi movienya. Nuansa yang dirasakan nyaris tak berubah. Selain itu sebagai salah satu daya tarik, beberapa karakter yang ada di versi movie juga muncul kembali di series ini. Sebut saja Danai rekan sekantor Sua dan Jib, si nyentrik Yoh, sampai ABG alay Pued dan Gob. Singkat kata, isi ceritanya yang ringan tapi berisi plus lakon pemainnya yang asik diliat akhirnya membuat saya memilih untuk ngikutin serial ini tiap jam 8 malam di KTV. Qodarullah, episode yang saya tonton pertama kali pas episode pertamanya. Jadi ya rasanya memang semacam sinyal dari Alloh. Bisa jadi ada hikmah yang bisa saya dapet kalau diikutin. 

Total episodenya ada 21, dan tiap episode durasinya sekitar 1 jam. Sebagian besar episodenya saya tonton dari awal. Sebagian kecil saya tonton dari tengah. Dan sesekali terlewat kalau kebetulan lagi ada lembur di kantor dan pulang agak larut. Overall, saya cukup terkesan dengan serial ini. Ketika selesai nonton episode terakhirnya, serasa ada yang hilang. Seingat saya, baru dua kali saya merasa begitu. Yang satunya lagi itu pas dulu, waktu selesai nonton episode terakhir kartun Digimon Adventure yang pertama.

Pelajaran

Sejujurnya niatan saya nonton hanya ingin cari hiburan. Melepas penat setelah kerja seharian ditambah berjejal-jejal ria di KRL. Dan ditinjau dari situ, tujuan saya kesampaian. Film ini memenuhi syarat untuk bikin saya terhibur. Kadang karena kelucuan dan kekonyolannya, kadang karena alurnya yang menarik dan tak terduga. Tapi walaupun begitu, ada pelajaran yang bisa saya petik. Sedikit, tapi penting. Pelajaran itu adalah agar kita tidak selalu baper (bawa perasaan) dengan yang terjadi di sekitar kita. Kadang karena terlalu baper, hal-hal yang sebenarnya bukan masalah malah jadi masalah. Nah, kutub yang berbeda ditunjukkan lewat lakon pemain film ini. Katakanlah, meskipun pasangan suami istri Sua dan Jib suka usil satu sama lain, tak ada yang merasa perlu sakit hati. Mereka tetap yakin bahwa pasangannya tidak berniat buruk, senda gurau diperlakukan layaknya senda gurau.

Pelajaran kedua, adalah agar jangan terlalu kaku dengan pasangan. Kalau kita seorang suami, sering-seringlah ajak iseri bercanda. Begitupula sebaliknya, kalau kita seorang isteri, sering-sering ajak suami bercanda. Dalam konteks suami-isteri, candaan bisa bikin hubungan lebih harmonis dan akrab. Indah sekali rasanya.

Tapi tentu, karena ini film impor, kita tidak bisa mengharapkan film ini menyajikan nilai yang 100% klop dengan nilai yang kita anut. Kita punya standar nilai sendiri, dan menikmati film ini tidak harus berarti melepaskan diri dari standar itu. 

Akhir kata, saya ngasih nilai 8,5/10 untuk film serial ini.


Comments

  1. kak,,ini film yang artes cowonya cakep bangte itu kan? hahhaha..lucu,,realistis juga sih soal 'affair' di kantor wkwkwk..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?