Posts

Showing posts from 2016

Tidak Sekedar Dalil

Image
Suatu hari di pengajian rutin yang saya ikuti, seorang pemateri menyampaikan ceramah tentang aftermath Aksi 212. Sekedar reminder, Aksi 212 adalah aksi simpatik dalam wujud doa, dzikir bersama, dan sholat Jumat yang dilakukan jutaan umat Islam di lapangan Monas tanggal 2 Desember 2016, yang aspirasinya adalah ingin agar Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama segera ditangkap. Pasalnya, Ahok telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan penistaan agama, namun hingga hari pelaksanaan aksi ia masih melenggang bebas. Sementara di kasus yang lain, polisi tak segan-segan menahan orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Tak ditahannya Ahok adalah wujud ketidakadilan, sehingga ia harus ditahan agar keadilan itu dirasakan. Begitulah kiri-kiri opini yang berkembang. Mungkin ada pro kontra soal penahanan ini. Sebagian pihak berargumen bahwa penahanan adalah kewenangan penegak hukum. Ia bukan keharusan yang melekat saat seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Seseorang baru perlu d

Tentang Qishash

Image
Sore itu, selepas pulang kantor di KRL menuju Bogor, saya menekuni rutinitas seperti biasa buat mengisi waktu: nonton video donlotan. Kali ini video yang saya saksikan adalah rekaman ceramah Ust. Khalid Basalamah. Btw, beliau sejauh ini termasuk Ust. Favorit saya. Meskipun dalam beberapa hal saya lebih mengikuti pendapat ulama yang lain ketimbang beliau, tapi saya tetap suka karena saya merasa memperoleh manfaat dari banyak sekali ceramahnya. Kembali ke narasi, jadi di kesempatan ini ada satu bahasan yang menarik perhatian saya. Tentang qishash. Seorang jamaah bertanya kepada beliau, bagaimana cara ia bertaubat dari dosa zina yang pernah dikerjakannya di masa lalu. Haruskah ia dirajam? Jawaban Ust. Khalid cukup mengejutkan saya. Menurut beliau (dan saya juga baru tahu ada pendapat seperti ini) qishash sebenarnya diberlakukan bagi pendosa yang kepergok. Ketahuan orang lain. Apabila suatu dosa besar seperti zina terjadi terhadap diri seorang hamba, lalu dengan izin Alloh dosa itu

Bukan Diskriminasi

Image
Apakah patut seorang muslim memilih orang kafir sebagai pemimpin, khususnya di wilayah yang mayoritas muslim? Sebagian besar agamawan tentu akan menjawab tidak. Dan saya termasuk yang mengikuti pendapat kebanyakan agamawan itu. Namun, saya kira masyarakat butuh lebih dari sekedar dalil "pengharaman". Masyarakat butuh alasan. Masyarakat butuh penjelasan. Mengapa seorang non-muslim tidak patut dipilih oleh kaum muslimin menjadi pemimpin di wilayah yang mayoritas muslim?  Dalam perspektif saya, memilih pemimpin publik adalah memilih sosok yang akan bertanggung jawab atas banyak hal. Tak cuma urusan dunia, tapi juga urusan akhirat. Sejauh yang saya tahu, lakon Rosululloh saw plus empat Khulafaur rasyidin setelah beliau merefleksikan fungsi pemimpin yang paripurna. Ia tak hanya bertugas menjamin rasa aman dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, tapi juga mendorong terlaksananya hukum Alloh dengan sebenar-benarnya.  Seorang pemimpin, idealnya, berkewajiban mel

Berangkat dari Realitas

Image
White Dunes (sumber: brightside.me ) Alhamdulillah hari ini dapat kesempatan Jum’atan di masjid belakang kantor Wapres. Qodarulloh, isi khutbahnya cukup bagus dan agak beda “nuansa”-nya dengan khutbah yang biasa saya dengar di kantor. Khutbah kali ini cukup aktual dan relevan. Isinya membahas soal kelas pekerja Jakarta yang sehari-hari berhadapan dengan kemacetan, dan bagaimana sebaiknya kemacetan itu disikapi. “Kalau kita benar menyikapinya, insyaAlloh lamanya waktu di perjalanan justru bisa menjadi berkah”, kira-kira begitulah substansi pesan sang Khotib. Di antara banyak pilihan kegiatan yang bisa dilakukan selama macet, khotib menawarkan tahfizh, (menghafal Qur’an) sebagai salah satu alternatif. Bukan dengan membaca, tapi dengan mendengar, lewat ponsel atau perangkat elektronik yang sudah jadi bagian hidup kita sehari-hari. Beliau kemudian menceritakan pengalaman riil beliau pribadi sewaku kecil yang bisa hafal juz 30 di usia 5 tahun tanpa menghafal sama sekali. Simply kar

Lembur di Hari Pertama Kerja

Image
Sumber: pixabay.com Hari itu hari pertama masuk kerja setelah libur Hari Raya Idul Fitri plus cuti bersama. Bagi sebagian orang, ini masa dimana bekerja dalam level suboptimal masih bisa ditoleransi. “Masih suasana lebaran”, itu alasannya. Sebagian rekan kerja malah ada yang masih memperpanjang libur dengan mengambil jatah cuti tahunannya. Walaupun secara eksplisit itu sudah dilarang Menteri PAN-RB, who cares? Sudah tradisi. Kata biscuit Roma. Tapi di hari itu, saya termasuk yang sudah bekerja “normal”. Soalnya sudah dikejar deadline. Qodarulloh saya bekerja di bagian yang mengurusi masalah penganggaran se-Kementerian. Sebulan lagi, soal penganggaran ini harus udah selesai sebelum Presiden membacakan Pidato Kenegaraannya menjelang peringatan 17 Agustusan. Singkat cerita, karena tuntutan deadline demikian di hari itu saya bersama dua orang rekan kerja lainnya memutuskan untuk lembur di kantor. Misi malam itu: menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk melanjutkan proses peng

Semangat Berinfak

Image
Sumber: pixabay.com Apa yang bisa kita lakukan agar semangat berinfak? Diantaranya mungkin dengan menggeser paradigma yang tadinya menganggap infak sebagai beban pengeluaran (expense), menjadi paradigma yang menganggap infak sebagai investasi. Karena hakekatnya infak memang demikian. Infak tak ubahnya investasi. Di banyak ayat, Alloh menyatakan bahwa setiap sen yang kita keluarkan dalam rangka infak di jalan Alloh pasti akan Alloh balas dengan yang lebih baik. Kita korbankan sekarang 1, kelak kita akan memperoleh 10 atau lebih besar lagi. Tentu pengembalian tersebut tidak semata soal rupiah. Pengembalian adalah soal 'value'. Alloh berkuasa memberikan return atas infak kita berupa kehidupan yang lebih baik. Anak-anak yang shalih/shalihah, pasangan yang pengertian, tetangga yang menentramkan, jalan keluar atas berbagai permasalahan, dan seterusnya... Dan itu masih di dunia. Di akhirat Alloh amat gampang menyediakan yang jauh lebih besar lagi. Kalau kita masih ragu, kita

Memilih yang Lebih Baik

Image
Sumber: pixabay.com Seringkali pilihan itu bukan anta ra yang baik dan buruk, tapi antara yang baik dengan yang lebih baik . A tau antara yang buruk dengan yang lebih ringan keburukannya. Kali ini saya mau share sedikit pengalaman di Ramadhan 1437 H.  Di Ramadhan ini, saya berniat pasang target yang lebih ketimbang Ramadhan sebelumnya. Di Ramadhan ini saya pengen semua sholat fardhu yang saya lakukan 100% dilakukan berjamaah di masjid, plus menjaga sh olat rowatibnya. Qobliyah dan ba'diyah. Tapi ternyata it u tak mudah. Yang jadi persoalan adalah "tanggung"-nya jam pulang kantor saya dengan waktu ashar. Jadwal pulang kantor selama Ramadhan adalah pukul 1 5 .00 WIB, satu jam lebih cepat ketimbang hari biasa. Sementara waktu as har adalah seki tar pukul 15.15 WIB. Di Ramadhan sebelumnya, saya selalu pulang naik bis jemputan yang jadwal berangkatnya menyesuaikan dengan jam pulang kantor.  Tapi karena di Ramadhan in i saya beritikad untuk gak meninggalkan shol

Buka Bersama

Biasanya kira-kira pertengahan Ramadhan atau pekan terakhir menjelang Syawal, banyak ajakan untuk ngadain buka bersama. Niatnya buat silaturrahim, dan lazimnya sekalian reunian. Dengan kawan SMA, kawan seorganisasi pas jaman mahasiswa, atau sekedar kawan yang udah lama gak bersua. Cuma belakangan ini saya ada perasaan agak-agak gimana gitu kalau diajak acara buka bersama. Apalagi kalau buka bersamanya di restoran. Bukan karena buka bersama itu nggak baik. Itu baik. Tapi kadang gara-gara ikut acara buka bersama di restoran, sholat maghribnya jadi buru-buru karena biasanya musola di restoran bersangkutan akan over capacity. Rawatib? ah, 99% saya yakin bakal gak terlaksana juga karena "kloter" berikutnya sudah menunggu di belakang. Kadang, for special case, sholat berjamaah isya pun bisa jadi terlewat. Entah karena hidangannya yang terlambat datang, atau simply karena terlalu lama bercengkerama. Jarang sekali saya menemui acara buka bersama yang endingnya sampai sholat Isya

Alloh Memang Maha Baik

Ada sebuah pengalaman yang mau saya share kali ini. Pengalaman yang entah untuk yang keberapa kalinya membuktikan bahwa Alloh itu Maha Baik. Pengalaman itu soal kunci motor. Mungkin sudah jadi bawaan saya selama ini punya sifat kurang teliti. Lalai. Teledor. Gampang lupa. Nyaris setiap pagi sebelum saya berangkat kerja selalu ada pertanyaan semacam ini sama isteri, “Dek, dompet Mas dimana ya?”, “Dek, kacamata Mas tadi mana ya?”, “Dek, ngeliat kunci kereta Mas nggak?” Kalau pakai gayanya Dodit Mulyanto, mungkin isteri saya harusnya bilang begini, “Mas yang punya barang, Mas yang naruh barang, terus Adek yang harus nyari..!!?” Biasanya sekitar 2-5 menitan habis waktu kami buat mencari, dan memang Alhamdulillah selalu ketemu. Dan ajaibnya dari 1000 kali saya kehilangan barang, 999 kali yang menemukan itu isteri saya (tepuk tangan buat isteri saya…). --- Tapi hari itu situasinya agak beda. Waktu itu saya baru pulang dari kantor naik krl (commuter line), dan sampai di stasiun Bogor s

Dakwah yang Tak Laku

Image
Jalan Berbatu (sumber: Natgeo ) Ada pemandangan yang membuat saya trenyuh sore itu. Kira-kira setengah dekade lalu waktu saya masih kuliah di IPB. Seorang ibu, berusia separuh baya, duduk termenung sendirian di ujung koridor, di tepi jalan. Di depannya ada sekeranjang bunga petik yang masih segar. Saya mengira si Ibu masih berharap akan ada mahasiswa yang akan membeli dagangannya, untuk dijadikan buah tangan bagi para wisudawan sebagaimana tradisi di kampus ini pada umumnya. Tapi menurut saya itu bakal sulit. Saat itu sudah menjelang maghrib, dan acara wisuda sudah selesai sejak siang. Tak laku. Mungkin jadi salah satu situasi yang paling tak nyaman buat para pedagang. Seperti dialami si Ibu. Dan saya paham bagaimana rasanya. Duduk seharian di kios tanpa seorang pun yang membeli, pernah saya alami. Sementara perut isteri dan anak sudah meminta buat diisi. Ah, sudah-sudah. Bukan waktunya bermelankolis ria. Namanya usaha, itulah resikonya. Itulah konsekuensi wajar yang harus