Tak Perlu Alergi dengan Asing

A cherry tree sits under the stars: Natgeo

Saya ingin beranalogi:

Di suatu kampung, ada tanah kosong. Tanah itu kebetulan tandus. Karenanya, warga kampung yang mayoritas petani nggak tertarik menanaminya. Suatu hari ada orang kota yang ngeliat tanah itu menganggur, nggak diapa-apain. Sayang, pikirnya. Dia punya ide, gimana kalau seandainya tanah itu dijadiin kolam ikan. Dia ngerti tekniknya sementara warga kampung tidak.

Singkat cerita, dia minta izin sama kepala kampung buat bikin kolam. Karena kepala kampung ini demokratis, dia minta pendapat warga. Sebagian warga setuju-setuju saja. Tapi sebagian besar menolak, dengan alasan tanah itu adalah tanah mereka. Mereka nggak ingin hasil dari tanah itu dinikmati orang kota, sementara mereka nggak dapat apa-apa.

Maka si orang kota ini nawarin, nanti kalau kolamnya jadi dia janji bakal mempekerjakan pemuda-pemuda desa yang masing nganggur. Trus sebagian hasilnya nanti (ikan) bakal dijual ke warga desa dengan harga lebih murah. Bahkan kalau mau, warga desa boleh ngejual ikan itu, dan keuntungannya dibagi. Akhirnya warga pun sepakat, dan jadilah tanah itu kolam ikan.

-----
Di sini, efisiensi terjadi. Ada sumberdaya yang termanfaatkan dan menghasilkan sesuatu kalau semua pihak mau bekerja sama. Orang kota beroleh hasil, demikian juga dengan warga kampung. Bayangkan kalau warga kampung ngotot menolak. Si orang kota nggak dapat apa-apa, dan warga kampung juga nggak dapat apa-apa.
-----
Itu adalah logika umum ekonomi mainstream sekarang ini. Saya menganalogikan orang kota sebagai pihak 'asing', warga kampung sebagai pihak 'domestik' dan kepala kampung sebagai 'pemerintah'. Selama kesepakatannya memang bisa menguntungkan kedua belah pihak, tak ada yang salah.

Maka tak perlu alergi dengan keberadaan asing. Bahwa kerjasama yang dibangun pemerintah untuk mendorong asing untuk berinvestasi di dalam negeri jangan serta-merta dianggap 'menjual' negara. Ya, bahwa kerjasama itu adalah isu penting. Namun poinnya adalah, bukan pada 'asing'-nya, tapi pada sejauh mana pemerintah bisa berhadapan dengan pihak asing itu: apakah berdiri sama tinggi, tunduk membungkuk, atau justru tiarap di hadapannya.

Nah, kita butuh pemimpin yang bisa bekerja sama dengan dunia namun tetap dalam posisi berdiri sama tinggi, supaya bisa menghadirkan kesejahteraan yang adil buat semua.

Wallohua'lam


Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?