Melatih Diri Bersikap Objektif

Island in the Sky: Natgeo

Kadang mungkin kita tergoda untuk bersikap subjektif dan terpenjara oleh ‘keberpihakan’. Kita menjadi tidak bebas berpendirian. Tidak bisa berpikir kritis dengan merdeka. Contoh paling konkret mungkin adalah ketika kita lebih memperhatikan sebuah pesan berdasarkan siapa yang menyampaikan pesan itu ketimbang substansi pesannya. Saat kita tahu pesan itu berasal dari pihak yang kita tidak sukai, misalnya, maka ada kecenderungan untuk menolak. Paling tidak ada wanti-wanti atau prasangka negatif, meskipun mungkin tidak kita sadari atau akui. Namun sebaliknya apabila pesan itu berasal dari pihak yang kita sukai, ada kecenderungan untuk menerima. Prasangka kita cenderung baik terhadapnya.

Suka atau tidak suka terhadap sesuatu tentu sah-sah saja. Itu hak setiap orang yang tak elok rasanya kalau dipaksakan. Namun ceritanya akan berbeda kalau keberpihakan seperti itu mempengaruhi objektifitas kita menilai persoalan. Persoalan yang dinilai dengan tidak objektif akan menghasilkan penilaian yang tidak jernih, dan akhirnya menghasilkan kesimpulan yang juga tidak jernih. Kalau kesimpulan tidak jernih seperti itu dijadikan dasar pertimbangan untuk membuat keputusan, bisa kita bayangkan sendiri keputusan seperti apa yang muncul.

Terkait dengan hal itu ada satu kebiasaan yang bisa diupayakan untuk melatih kita berpikir objektif. Kebiasaan sederhana sebenarnya, namun butuh upaya serius. Yakni kebiasaan untuk meng-anonim-kan sebuah pesan sebelum dicerna. Jadi ketika kita membaca atau mendengar sebuah pesan, buat diri kita seolah-olah membaca atau mendengar pesan tersebut dari sosok anonim. Baru kemudian kita analisis. Meminjam pepatah arab, ‘undzur maa qola, wa la tandzur man qola’, lihat apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan.

Menurut saya, objektifitas kita bisa diukur dari sikap kita saat menyadari bahwa kesimpulan kita tidak ‘berpihak’ pada keberpihakan kita, atau sebaliknya saat kesimpulan kita ‘berpihak’ pada ketidakberpihakan kita. Saat kita sudah bisa merasa legowo, saat itulah kita sudah berpikir independen, objektif.

Intinya, adalah hak kita untuk suka atau tidak suka. Untuk memihak atau jadi oposan. Namun objektif adalah ketika pemikiran kita tidak terdikte oleh rasa suka tidak suka tersebut. Kita boleh memihak sesuatu namun tidak lantas berarti harus mengamini segala sesuatu yang berasal darinya. Sebaliknya kita boleh jadi oposan sesuatu namun tidak lantas berarti harus selalu menolak segala yang bersumber darinya.

Menjadi netral adalah cara paling mudah untuk melihat kebenaran.

Wallohua’lam
----
Disclaimer: Konteks tulisan di atas adalah pada hal-hal yang profan. Mohon ditempatkan pada konteks yang tepat :) 

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?