The Boy in The Striped Pyjamas



The Boy in The Striped Pyjamas, anak laki-laki di dalam piyama bergaris, film yang mengingatkan saya pada film Grave of the Fireflies. Film yang lagi-lagi menceritakan betapa tidak menyenangkannya suasana perang itu. Kali ini perspektif diambil dari sisi seorang anak, Bruno, putra dari perwira tinggi Nazi yang bertugas 'mengelola' kamp konsentrasi Yahudi di suatu tempat. Latar waktu berkisar pada perang dunia II ketika Jerman pada saat itu dipimpin oleh Adolf Hitler.

Bruno dan keluarganya (ayah, ibu, seorang kakak perempuan, dan seorang khadimat) pada awalnya tinggal di Berlin. Namun saat sang Ayah, Ralf, dipromosikan karir militernya mereka diharuskan pindah ke sebuah daerah yang tidak disebutkan namanya, di pelosok Jerman, di pinggir hutan. Di kediaman barunya ini Bruno berinteraksi dengan suasana baru yang jauh berbeda dengan suasana yang selama  ini ia hadapi di Berlin. Rumahnya berpagar tinggi dan dijaga oleh tentara. Sama sekali tak punya tetangga. Bruno tak lagi memiliki teman sebaya, bahkan ia tidak lagi bersekolah. Sebagai gantinya sang ayah khusus menyewa jasa seorang guru untuk mengurus pendidikan anak-anaknya. Dalam suasana membosankan itulah Bruno akhirnya berinisiatif untuk berpetualang menyusuri daerah itu tanpa sepengetahuan anggota keluarganya yang lain.

Saat tengah mengeksplorasi daerah di sekitar rumahnya itulah Bruno kemudian menyaksikan kamp konsentrasi Yahudi. Awalnya ia menganggap itu arena perkebunan, namun kemudian ia menyadari anggapannya itu salah. Di sana ia menjumpai Schmuel, seorang bocah yahudi seusianya yang tampak kelelahan dengan pekerjaannya. Bocah dengan pakaian khas, piyama bergaris dengan sederetan nomor yang tampak jelas di dada sebelah kirinya. Singkat cerita, mereka pun berkenalan dan akhirnya menjadi teman. Siang hari saat Schmuel tengah beristirahat, Bruno kerap mengunjunginya secara diam-diam. Mereka saling bercerita banyak hal, makan coklat dan roti bersama yang dibawa Bruno, bermain catur, dan sebagainya. Semua itu mereka lakukan meski dipisahkan pagar kawat berduri yang dialiri listrik. 

Persahabatan di batas pagar

Bruno diajarkan oleh gurunya bahwa Yahudi adalah ras pembawa malapetaka, dan oleh karenanya mereka harus diperlakukan sebagai musuh. Suatu hari ia bertanya pada gurunya, "Tidak kah ada seorang Yahudi yang baik?" Gurunya menjawab, "Andai kau menemukan Yahudi yang baik, kau akan menjadi petualang yang paling hebat dalam sejarah!" 


Scmuel

Bruno sama sekali tak paham. Schmuel bukanlah anak yang buruk di hadapannya. Schmuel anak yang baik dan ramah terhadapnya. Layaknya anak-anak pada umumnya ia masih polos dan tak tahu menahu apa yang terjadi di sekitarnya. Bahkan Schmuel tidak tahu ia sedang berada di kamp konsentrasi, tempat dimana pembersihan etnis dilakukan. Yang Schmuel tahu, sejak ia dan keluarganya dipindahkan kesana ia diwajibkan bekerja bersama yang lainnya. Yang Schmuel tahu, mereka disana karena mereka yahudi.

Bruno

Bagi saya film ini cukup mengesankan. Film ini seolah menyuguhkan realita bahwa penghakiman hanya atas dasar perbedaan ras memang jadi hal klasik di dunia. Seseorang lantas dianggap buruk hanya karena ia lahir sebagai Yahudi. Tidak penting apa yang ia perbuat, yang jelas ia adalah manusia buruk kalau ia orang Yahudi. Tidak penting jika hanya segelintir yang berbuat kerusakan, yang jelas sikap segelintir itu sudah dianggap cukup untuk menggeneralisasi sikap keseluruhannya. Jika sebagian (kecil) mereka pantas dimusnahkan, mereka semua juga pantas dimusnahkan. 

Pola-pola penghakiman seperti ini yang jika kita pandang dalam perspektif modern, jadi sangat absurd. Bukankah seharusnya seseorang itu dinilai dari perbuatannya, bukan keadaannya? Dari pilihan-pilihannya, bukan dari takdir yang memang sudah Alloh tetapkan untuknya? Tapi itulah yang pernah terjadi, dan tidak bisa kita pungkiri. Itu adalah bagian dari sejarah dunia kita. Dan sangat mungkin pola yang sama juga masih ada di sekitar kita, sampai sekarang.

Ending (jangan dibaca jika tidak ingin tahu akhir kisahnya)

Di akhir cerita, Schmuel kebingungan karena ia tak lagi bisa menemukan orangtuanya. Sejak orangtuanya dan beberapa orang lainnya digiring ke suatu tempat, mereka tidak pernah kembali lagi. Melihat itu, Bruno pun akhirnya mencoba membantu. Ia berjanji akan masuk ke dalam kamp dan membantu Schmuel menemukan orangtuanya. Bruno meminta Schmuel membawakan piyama bergaris untuknya, supaya tidak tampil mencolok di dalam kamp.

Keesokan harinya, Bruno datang membawa sekop. Schmuel membawa piyama seperti yang dijanjikan. Dengan sekop itu, Bruno menggali sedikit lubang untuk masuk ke dalam kamp lewat sisi-sisi pagar. Setelah memakai piyama itu, mereka pun mencari ke semua tempat tapi tak kunjung menemukan orangtua Schmuel. Singkat cerita, saat mereka berdua masuk ke sebuah barak, terdengar suara tembakan pistol. Itu adalah tanda 'penggiringan' dimulai. Seluruh penghuni barak harus keluar dan mengikuti komando, berbaris berjalan ke 'suatu tempat' tak terkecuali anak-anak seperti Schmuel dan Bruno. Mereka tak paham kemana mereka digiring. 

Sesampainya di tempat yang dimaksud, semua orang yang digiring diminta melepas bajunya dan masuk ke sebuah ruangan tertutup. Pintu ruangan dikunci. Dan semuanya tentu tahu apa yang selanjutnya terjadi. Ruangan itu kemudian dikenal orang dengan sebutan 'kamar gas'...

Comments

  1. iya sih, saya juga sering judge seseorang dari ras atau suku. misal suku A, pasti orangnya keras-keras, padahal enggak semua gitu.
    BTW ngeri,,malah takut buat nonton. pasti nangis saya kalo nonton..hiii

    ReplyDelete
  2. Bener Mbak Nurul. Selepas nonton film ini, saya kebayang-bayang terus... butuh waktu cukup lama sampai akhirnya saya baru bisa terlelap ^_^

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?