Tak Selalu Hebat dari Awal

Umumnya, biografi para tokoh dan ulama yang sering kita baca menggambarkan mereka telah hebat sejak belia. Ketika usia balita telah mampu menghafal Al Qur'an, masa kanak-kanak yang dihiasi dengan thalabul 'ilmi, dan kecerdasan yang telah nampak sejak usia dini. Bagi orang-orang yang 'terlanjur' dewasa, kisah seperti itu terkadang hanya sebagai hiburan dan hanya bisa menikmati kekaguman terhadap figur ulama. Sebagian lagi menjadikannya motivasi dalam mendidik anak-anaknya.

Yang paling disayangkan, kisah-kisah seperti itu malah membunuh motivasi sebagian orang dewasa yang merasa masih biasa-biasa saja dan tak memiliki kemampuan istimewa. Timbul rasa pesimis di benaknya, "Masa kecilku tak sehebat mereka, masa mudaku tak sebrilian mereka, kini aku sudah tua, tak mungkin lagi bisa hebat seperti mereka."

Motto salah alamatpun sering dijadikan alasan. "Belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu, belajar di usia dewasa bagai mengukir di atas air." Ia pun merasa sia-sia untuk belajar. Sesekali mendengarkan motto, "Barangsiapa tidak menanam benih (di usia muda) tak akan menuai hasil panen (di usia tua). Kemudian ia merasa sudah tua dan terlambat untuk mencoba.

Mengapa tidak kita ambil motto lain yang lebih cocok dengan usia kita dan lebih memotivasi diri? Seperti perkataan Ahnaf bin Qais untuk mengimbangi motto yang pertama, "Wal kabiiru aktsaru 'aqlan", tetapi orang tua lebih banyak akal. Orang tua memilki kreativitas untuk mengembangkan potensi. Mereka punya banyak cara yang bisa dicoba, tidak sebagaimana anak kecil yang hanya bisa berbuat sesuai dengan apa yang dicontohkan kepadanya.

Kenapa pula kita tidak menggunakan motto, "Jangan katakan kesempatan telah berlalu, karena siapa berusaha niscaya sampailah ia ke tempat yang dituju." Bukankah seandainya kiamat tinggal sehari, lalu di tangan kita ada biji yang siap kita tanam, kita diperintahkan untuk menanamnya? Ini menunjukkan bahwa setiap kebaikan yang kita usahakan tidaklah sia-sia.

Sejarah juga tidak hanya menyajikan sosok-sosok yang istimewa sedari kanak-kanak. Ada yang biasa-biasa saja seperti Malik bin Dinar, setelah putrinya meninggal ia bertaubat sekaligus memulai belajar agama di usia dewasa. Bahkan ulama kenamaan di zaman tabi'in Fudhail bin Iyadh lebih gelap lagi latar belakangnya. Dahulunya ia seorang perampok. Setelah bertaubat dan belajar akhirnya menjadi ulama besar.

Dari zaman ke zaman, selalu ada contoh-contoh yang mewakili sebagai orang-orang biasa, namun menjadi luar biasa karena kesungguhannya yang luar biasa. Seperti yang dilakukan oleh seorang warga Saudi bernama Malik Muhammad Abdul Malik. Meski sudah lebih dari 60 tahun usianya dan mata pencahariannya sebagai sopir, tak menghalangi dirinya untuk mengikuti halaqoh tahfizh Al Qur'an. Hingga akhirnya beliau mampu menyelesaikan hafalan 30 juz selama 15 tahun.

Motivasi yang beliau pegang adalah, "Jika tekad sudah bulat, maka yang susah akan terasa mudah."

Muna Sa'id al Ulaiwah dalam bukunya Qishati fi Hifzhil Qur'an mengisahkan ada kakek tua berumur 80 tahun mendatangi seorang ustadz di Masjid Nabawi dan berkata, "Saya ingin menghafal Al Qur'an, tolong ajari saya." Ustadz menjawab, "Wahai Bapak, umur anda sudah tua. Duduk saja bersama kami untuk mendengarkan." Tapi dia tetap bersikukuh dengan pendiriannya, "Tapi saya ingin menghafal." Sang Guru menyuruhnya membaca Al Qur'an, tapi ia berkata, "Saya belum lancar membacanya, tolong ajari saya dari awal." Tapi siapa sangka, lima tahun kemudian sang kakek telah hafal tiga puluh juz. Alloh tidak menyia-nyiakan usaha hamba-Nya yang bersungguh-sungguh.

Bagi sebagian kita yang merasa sibuk dengan urusan ma'isyah (pencaharian), ada baiknya menyimak kisah yang disebutkan Muna al Ulaiwah di buku tersebut. Yakni tentang sopir yang senantiasa menyempatkan diri untuk menghafal Al Qur'an saat menanti pergantian lampu merah di persimpangan jalan. Ia bekerja sebagai sopir. Ia sengaja menyimpan mushaf di mobilnya, saat lampu merah menyala, ia sempatkan untuk membuka mushaf dan menghafalkan satu dua baris dari ayat-ayat al Qur'an. Dia memberikan kesaksian tentang dirinya, "Aku hafal Surat Al Baqarah sepenuhnya di jalan saat menanti lampu merah." Sangat berbeda dengan kebiasaan orang yang hanya melihat mobil lain di sekitarnya atau bahkan menggerutu mengungkapkan kekesalannya.

Dr. Abdullah Mulhim menegaskan, "Seseorang bisa mewujudkan mimpi-mimpinya dengan cara mengubah pola pikirnya." Ketika seseorang mengubah persepsi susah, sulit, sukar, mustahil diganti dengan mudah dan mungkin, ini sangat membantu seseorang mewujudkan cita-citanya. Begitupun sebaliknya.

Masih di buku yang sama, Muna al Ulaiwah mengisahkan seorang bapak yang memiliki anak yang sedang menghafal Al Qur'an. Bapak itu bercerita, "Saya memiliki anak yang masih kecil, hafalannya sangat bagus. Setiap hari ia menghafal dan menyetorkan hafalannya kepada ustadznya satu setengah halaman dengan lancar. Dengan cara ini, ia telah hafal juz 'Amma, juz 29, dan juz 28. Saat hendak memulai juz ke 27, ia bertanya kepadaku, "Ayah, apakah saya memulai dari depan atau dari belakang?" "Dari belakang saja Nak." Kataku. Ia bertanya, "Kenapa dari belakang?" Kukatakan, "Karena Surat al Hadid itu sulit."

Sang anak pun menurut. Seperti biasanya ia mampu melalui surat demi surat dengan mudah. Namun tatkala sampai ke surat al Hadid, ia merasa kesulitan untuk menghafalnya, hingga butuh waktu satu setengah bulan untuk menghafalnya. Kenapa bisa sesulit itu? Karena telah ter-install di pikirannya bahwa menghafal suat al Hadid itu sulit. Maka persepsi itu sangat mempengaruhi kemampuan seseorang. Begitu pun dengan orang yang sudah dewasa, ketika telah terpatri di benaknya bahwa menghafal itu sulit, maka kesulitan akan dialaminya.

Singkat kata, orang yang optimis, satu tekad saja sudah cukup baginya untuk menepis seribu halangan. Berbeda dengan orang yang pesimis, seribu alasan akan diungkapkan untuk menghindari satu tantangan. Pilihan selanjutnya terserah kita.

Wallohua'lam

-------------------------
Disadur dari tulisan Ust. Abu Umar Abdillah dengan judul yang sama, di rubrik syakhsiyah Majalah Islam Ar Risalah Edisi 139 (Januari 2013)

Comments

  1. subhanallah,,artikel ini bener banget kak Asto. saya kalau baca biografi tu antara seneng dan pesimis. gag pernah deh baca biografi yg masa kecilnya atau masa mudanya sibuk kerja gitu. saya selalu iri sama orang orang seumuran saya yang sdg di pesantren.saya enggak..tapi apa berarti saya tidak punya kesempatan sama buat jadi Ahlul Quran?

    ReplyDelete
  2. Iya Mbak Nurul. Saya juga ngerasa artikel bener-bener nyemangatin diri, sehingga saya bela-belain tulis ulang. Hehehe... Semoga bermanfaat buat yang lain

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?