Building Personal Branding

Asto Hadiyoso
Graduate Student of Management and Business Program, Calss of R49
Bogor Agricultural University

Marketing Class Notes, 31 Jan 2013
Lecturer: Prof. Dr. Ujang Sumarwan, MSc
-------------------------------------------

Personal Branding

Apa yang ada di benak kita ketika mendengar nama Andres Iniesta? Penggemar sepak bola tentu tak asing lagi. Dialah salah satu pemain handal yang dimiliki klub raksasa Barcelona, sekaligus punggawa lapangan tengah tim nasional Spanyol. Ia juga menjadi salah satu kandidat penerima pengharagaan Ballon d'Or, alias penghargaan prestisius bagi pemain sepakbola terbaik versi FIFA tahun 2012 yang lalu. Ya, sepak bola, sepak bola, dan sepak bola. Itulah asosiasi dominan yang muncul di benak kita bersamaan dengan disebutnya nama Iniesta. Mengapa? Bisa jadi, karena interaksi kita dengan nama Iniesta hanya ketika kita berhadapan dengan dunia sepakbola. Mungkin tak banyak dari kita yang tahu keseharian Iniesta di luar lapangan yang ternyata juga punya profesi sebagai pengusaha agribisnis anggur, karenanya persepsi tentang itu di benak kita pun sangat minim.

Itulah salah satu bentuk personal branding. Sebuah istilah yang sering dikonotasikan dalam perspektif bisnis karena memang lahir dari dunia bisnis. Personal branding bisa diartikan sebagai brand atau merek atau citra yang melekat di benak seseorang sehingga orang lain memiliki persepsi unik dan spesifik tentang orang tersebut. Jadi terdengar seperti sebuah barang bukan? Memang benar. Tak hanya barang, bahkan jasa pun punya konsep yang serupa. Itulah salah satu alasan mengapa ada konsumen yang loyal terhadap sebuah produk, meskipun secara umum harganya lebih mahal ketimbang produk sejenis yang lain, yakni karena produk tersebut diasosiasikan dengan nilai tertentu bagi konsumen yang bersangkutan.

Dalam dunia bisnis, personal branding pun menjadi penting. Terlebih bagi para profesional yang ingin mengepakkan sayapnya dan terbang lebih tinggi. Sebuah citra unik dari diri seseorang akan memudahkannya dikenal luas oleh masyarakat. Semakin dikenal diri kita oleh orang lain, semakin mudah pula manfaat dari diri kita itu bisa disampaikan ke pihak lain, terlebih jika citra yang dikenal luas tersebut adalah citra tentang keahlian kita di bidang tertentu. Misalnya saja, seorang dosen saya pernah bercerita dengan reputasi beliau yang baik di bidang ilmu pemasaran dan perilaku konsumen, beliau jadi semakin sering diundang untuk mengisi sesi ceramah atau seminar, semakin sering diminta untuk menulis di media massar, dan semakin sering pula memperoleh pertanyaan konsultasi terkait bidang yang beliau kuasai tersebut. Dengan demikian, ilmu yang sudah dikuasai akan jadi semakin beredar luas dan memberi manfaat untuk umum. Itu salah satu contohnya.

Contoh lainnya juga bisa kita temui di dunia bisnis yang riil. Sebagai penggiat usaha kecil, saya sangat merasakan pentingnya personal branding. Saat ada permintaan produk tertentu dari konsumen dan saya sedikit kesulitas untuk memenuhinya, saya akan mengkontak seorang rekan yang saya anggap memiliki kualifikasi untuk memenuhinya. Dari mana saya tahu kualifikasi rekan saya itu? Tentu dari personal branding yang ia buat bukan? Begitu pula sebaliknya. Apabila ada rekan saya yang kesulitan dengan problemnya, dia akan mengontak saya ketika ia menganggap saya punya kapabilitas unik untuk menyelesaikan problem yang dimaksud.

Pertanyaan yang kemudian patut kita ajukan adalah, bagaimana caranya membangun personal branding? Nah, ada jawaban yang saya peroleh dari Pak Ujang Sumarwan, dosen pemasaran saya di MB IPB. Jawaban itu saya sarikan dari satu sesi kuliahnya dan saya format ke dalam beberapa tips agar konsepnya lebih aplikatif.

Pertama, bangun visi misi sejak awal. Ini mengingatkan kita pada petuah mendiang Stephen R. Covey dalam 7 Habitsnya, mulai dari tujuan akhir. Ya, hal tersebut sangat relevan dengan membangun personal branding. Pada dasarnya semua yang kita lakukan harus jelas tujuannya, arahnya. Mencoba-coba membangun personal branding tanpa tahu mau ke mana, tidak akan efektif dan hanya buang-buang tenaga. Ini terkait dengan tujuan yang hendak kita capai dalam hidup. Jadi harus kita definisikan dulu kita maunya apa, ingin jadi apa, ingin berperan sebagai apa, dan seterusnya. Kejelasan jawaban dari pertanyaan itu akan memudahkan kita menjawab pertanyaan: kita ingin dikenal sebagai apa, tentu dalam konteks yang mendukung tujuan tersebut.

Kedua, rencanakan personal brand tersebut dengan spesifik. Jangan terlalu general. Pada prinsipnya sah-sah saja dan memungkinkan kalau kita ingin membentuk 2, 3, atau lebih personal branding di diri kita. Kita mau dianggap ahli di komunikasi publik, ahli di dunia tulis menulis, sekaligu ahli komputer misalnya, tak ada yang melarang. Hanya saja membuat gambaran yang terlalu banyak justru akan membuat persepsi orang jadi blur tentang diri kita. Asosiasi yang terlalu banyak cenderung memposisikan diri kita seolah 'kurang ahli' di suatu bidang. Analoginya mirip rumus tekanan (P) yang berbanding lurus dengan gaya (F), tapi berbanding terbalik dengan luas permukaan (A), Makin luas permukaan, makin kecil tekanannya. Nah, kalau kita ingin agar personal branding tersebut handal dan punya 'tekanan' yang lebih besar, luas permukaan yang lebih kecil akan lebih membantu.

Ketiga, masuk ke asosiasi/perkumpulan. Asosiasi atau perkumpulan kita ikuti akan mempermudah orang lain mengidentifikasi minat dan keahlian kita. Misalnya menjadi anggota asosiasi pengusaha muda, akan membuat orang lain berpikir kita juga bagian dari para pengusaha muda. Atau asosiasi kontraktor, akan mempermudah orang lain mengenal kita sebagai kontraktor. Lembaga asosiasi tentu bukan satu-satunya. Organisasi keagamaan, kemasyarakat, atau komunitas hobiis seperti Muhammadiyah, MITI, Pramuka, atau komunitas fotografer misalnya, juga bisa menjadi perkumpulan yang bisa membantu membangun personal brand. Selain manfaat identifikasi, perkumpulan seperti itu biasanya juga bisa meningkatkan knowledge, skill, ataupun pengalaman yang terkait personal brand yang ingin kita bangun dengan kegiatan-kegiatannya.

Keempat, buat karya yang spesifik. Nah, ini adalah langkah yang paling penting. Citra diri kita benar-benar akan terlihat dari karya yang kita buat. Semakin tinggi kualitas dan kuantitas karya kita, semakin besar pula   nilai personal brand yang bisa kita bangun. Dengan demikian, tentu saja konsekuensi bisa kita lihat jelas: kita tidak bisa membangun personal brand ala Sangkuriang. Personal brand bukanlah sesuatu yang bisa dibangun dalam satu hari atau dalam waktu singkat. Karya yang kita hasilkan butuh sumberdaya, sedangkan sumberdaya kita terbatas. Oleh karenya rencanakan dan pilih lah dengan bijak karya yang hendak kita hasilkan.

Kelima, kelola blog pribadi atau banyak memuat tulisan di media. Pak Jamil Az Zaini, seorang trainer motivasi nasional pernah berkata, "Jika kamu ingin mengenal dunia, membacalah. Tapi jika kamu ingin dikenal dunia, menulislah." Menulis menjadi penting karena dengannya lah informasi tentang diri kita bisa diakses dengan mudah oleh orang lain. Terlebih di zaman internet ini, bukan cuma tetangga kampung sebelah yang bisa tahu, tapi juga seluruh dunia. Di sinilah memiliki blog menjadi penting. Media massa bisa memuat tulisan kita namun tentu dalam kapasitas yang terbatas. Kita pun tak bisa mengatur redaksi untuk selalu memuat tulisan yang kita kirim, kecuali kalau memang perusahaan media itu punya kita. Blog membuat semuanya lebih sederhana. Semakin sering kita mengutarakan ide, semakin sering ide tersebut dimanfaatkan oleh orang lain, dan semakin terpola ide yang kita sampaikan, semakin kuat pula personal brand yang bisa kita bangun. InsyaAlloh.


Pada akhirmya, membangun dan mengelola personal brand menjadi hal yang mungkin bisa dibilang cukup menguras sumberdaya. Butuh komitmen dan konsistensi usaha. Pun, personal brand juga bukan segala-galanya. Citra yang bagus saja tentu belum cukup. Semua sumberdaya yang sudah kita habiskan itu, harus kita manfaatkan dalam rangka ibadah kepada Alloh. Jangan sampai perjuangan kita itu percuma. Alangkah baiknya jika kita berhasil membangun personal brand yang baik di mata manusia, sekaligus juga citra yang baik di hadapan Pencipta. Setuju?

Wallohua'lam

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?