Overview Kuliah Ekonomi (Bag. 4)

Determinan Permintaan

Kalau dilihat dari kacamata matematika, permintaan dan penawaran adalah dua variabel yang tidak berdiri sendiri. Selain tentunya kebutuhan manusia, ternyata ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi keduanya sehingga nilainya pun dinamis dan bisa berubah-ubah seiring dengan waktu. Misalnya, meski masyrakat Indonesua selalu butuh beras, tingkat permintaan di pasar terhadap beras tidak akan sama sepanjang waktu. Permintaannya bisa berubah bersama dengan perubahan harganya di pasar, perubahan selera masyarakat terhadap beras, perubahan harga substitusi dekat dari beras seperti singkong, jagung, ubi, dan sagu, begitu pula dengan perubahan ekspektasi terhadap beras di kemudian hari. 

Rasanya sudah menjadi common sense bahwa tingkat harga akan selalu berpengaruh pada tingkat permintaan. Semakin tinggi harga suatu produk, semakin rendah permintaannya. Mengapa? Karena dengan harga yang semakin tinggi, daya beli konsumen akan semakin rendah. Misalnya jika kita punya penghasilan 100 ribu sehari dan harga nasi adalah 5000 per porsi, artinya kita sanggup membeli 20 porsi nasi dalam sehari. Ketika harga nasi naik jadi 8000 per porsi, kita hanya akan sanggup membeli 12 porsi dalam sehari. Karena definisi permintaan adalah kemauan dan kesanggupan untuk memperoleh produk, itu artinya secara otomatis permintaan terhadap nasi pun berkurang. 

Hubungan antara tingkat harga dan permintaan inilah yang paling sering menjadi perhatian, terutama dalam pembuatan kurva permintaan. Pada umumnya, kurva permintaan dibuat pada diagram kartesian di mana sumbu mendatarnya (horizontal) adalah jumlah barang (yang diminta) sedangkan sumbu tegaknya (vertikal) adalah harga. Karena hubungannya yang negatif, kurva permintaan akan selalu cenderung miring dari kiri atas ke kanan bawah. 

Kurva Permintaan

Selain harga, faktor berikutnya yang mempengaruhi permintaan adalah tingkat pendapatan. Alasannya persis sama dengan alasan sebelumnya yakni di soal daya beli. Secara umum, semakin tinggi pendapatan semakin tinggi pula daya beli konsumen, sehingga kemampuannya untuk memperoleh produk jadi ikut-ikutan meningkat. Sedikit OOT, inilah yang juga menjadi alasan mengapa berniaga dengan orang berpenghasilan tinggi itu cenderung lebih mudah ketimbang dengan orang berpenghasilan rendah. Orang yang berpenghasilan tinggi punya alokasi dana yang lebih besar untuk produk-produk sekunder dan tersier. 

Meski demikian, pengaruh pendapatan dengan tingkat permintaan ternyata tidak selalu positif. Artinya, ada kalanya peningkatan pendapatan malah menyebabkan permintaan pada produk tertentu jadi menurun atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali. Perbedaan pengaruh ini terletak pada jenis produk yang sedang ditinjau, apakah produk tersebut sifatnya normal, netral, atau inferior. Sifat produk ini tidak mutlak melekat pada suatu produk, melainkan relatif atau tergantung pada konsumen. Dengan kata lain, untuk konsumen A sebuah produk bisa jadi sifatnya normal, namun bagi konsumen B produk yang sama malah bersifat inferior. 

Sebuah produk dikatakan bersifat normal ketika tingkat permintaannya berbanding lurus dengan tingkat pendapatan konsumen. Misalnya ikan. Bagi konsumen berpenghasilan rendah, konsumsi ikan biasanya relatif sedikit. Seiring dengan bertambahnya penghasilan, konsumsi ikannya jadi meningkat. Pada kondisi seperti ini, ikan bersifat normal. 

Sebuah produk dikatakab bersifat netral ketika tingkat permintaannya tidak berubah meski tingkat pendapatannya meningkat. Ikan juga bisa jadi contohnya. Misalnya bagi konsumen kelas menengah, konsumsi ikan berada pada level yang konstan di mana penghasilannya yang bertambah tidak dialokasikan untuk konsumsi ikan, tapi ke hal lain misalnya gadget, kredit sepeda motor, kredit rumah, dsb. Pada kondisi seperti ini, ikan bisa dikatakan bersifat netral. 

Sebuah produk dikatakan bersifat inferior ketika tingkat permintaannya malah berbanding terbalik dengan tingkat pendapatan konsumen. Artinya dengan semakin tinggi tingkat pendapatan konsumen, semakin rendah permintaannya pada produk terkait. Ikan lagi-lagi bisa jadi contoh. Bagi konsumen papan atas, bisa jadi ikan bukanlah sumber protein utama. Saat penghasilan mereka meningkat, sumber protein yang berasal dari ikan bisa jadi diubah ke sumber protein yang dianggap lebih bernilai semisal daging sapi, udang, kepiting, dan sebagainya. Dengan demikian, konsumsi ikan akan terganti sehingga permintaannya menurun. Pada kondisi demikian, ikan bisa dikatakan bersfat inferior. 

Contoh di atas menunjukkan bahwa meski produknya sama-sama ikan, tapi sifatnya bisa berbeda bergantung siapa yang melihatnya. Sehingga jenis ataupun sifat produknya akan sangat dipengaruhi konteks pengamatan. 

Faktor ketiga yang mempengaruhi permintaan adalah harga produk lain. Lho kenapa? Karena kadang-kadang beberapa produk itu ternyata punya keterkaitan satu sama lain. Keterkaitan itu bisa dalam bentuk substitutif, bisa pula dalam bentuk komplementer. Misalnya mobil dan bensin, adalah dua produk yang tidak bisa dipisahkan. Mobil tanpa bensin tidak akan berdaya, sehingga keduanya punya hubungan yang saling melengkapi. Hubungan seperti ini disebut hubungan komplementer. Lain halnya dengan celana khaki dan jeans. Dua produk berbeda ini secara fungsional memiliki kesamaan. Bedanya hanya dalam bentuk model dan bahan. Atau misalnya nasi dengan roti. Dua produk ini secara general punya fungsi yang sama yakni sebagai staple foods atau makanan pokok. Nah, hubungan yang seperti ini disebut hubungan substitusi. Dalam ekonomi, lagi-lagi ada sunnatullah di mana jika harga suatu produk meningkat, jumlah produk substitusinya akan ikut-ikutan meningkat, tapi jumlah produk komplementernya akan menurun. 

Kira-kira skemanya itu begini: 

Px naik à Qx turun à Qy naik, ini berlaku saat Qy adalah substitusi Qx 
Px naik à Qx turun à Qy turun, ini berlaku saat Qy adalah komplementer dari Qx 

Contohnya, misalnya kita anggap motor Yamaha adalah substitusi dari motor Honda. Ketika harga motor Honda naik, permintaan terhadapnya akan turun. Setuju? Kemudian karena konsumen tahu motor Honda itu ada substitusinya (yakni motor Yamaha), mereka akan beralih ke motor Yamaha sehingga permintaan akan motor Yamahan itu meningkat. 

Contoh kedua, misalnya suku cadang motor Honda adalah produk komplementer dari motor Honda itu sendiri. Ketika harga motor Honda naik, permintaan terhadapnya akan turun. Karena penggunaan suku cadang Honda bergantung pada penggunaan motor Honda, akhirnya permintaan terhadap suku cadang Honda juga akan menurun. 

Contoh di atas hanya contoh sederhana. Pada kenyataannya hubungan antara produk satu dengan produk lainnya bisa jauh lebih kompleks ketimbang itu. Pun, hubungan yang terjadi tidak hanya antara satu-dua produk, tapi bisa puluhan hingga ratusan produk secara bersamaan. 

Last but not least, faktor yang juga berpengaruh pada tingkat permintaan adalah selera dan ekspektasi konsumen. Selera dan ekspektasi jelas berpengaruh, terutama untuk produk yang bukan bahan kebutuhan pokok. Misalnya untuk produk sayuran organik, di mana ekspektasi konsumen pada kesehatan yang ditawarkannya membuat selera mereka akan produk ini meningkat. Produk-produk herbal juga demikian, di mana ekspektasi mereka pada khasiat kesehatan yang ditawarkan sebagai alternatif pengobatan kimiawi pun membuat permintaannya di pasar melonjak. 

Meski pengaruhnya jelas, kadangkala faktor selera dan ekspektasi ini urung diperhitungkan dalam pengamatan kuantitatif. Penyebabnya adalah tingkat selera dan ekspektasi yang sangat sulit diukur. Tidak seperti harga, harga produk lain, atau tingkat pendapatan, selera dan ekspektasi sepenuhnya diukur dengan parameter kualitatif. Namun demikian, para pemasar umumnya tidak melewatkan faktor ini begitu saja. Untuk itulah iklan dibuat di berbagai media dengan berbagai skema dan cara guna menyasar atau mengarahkan konsumen pada selera ataupun ekspektasi tertentu. 


Determinan Penawaran

Penawaran juga bertingkah seperti permintaan, hanya dalam sifat yang berbeda. Penawaran juga memiliki determinan atau faktor-faktor yang mempengaruhi nilainya sepanjang waktu yakni harga barang di pasar, harga input atau sumberdaya produksi, teknologi, jumlah produsen, serta ekspektasi produsen.

Harga menjadi faktor utama yang menentukan besarnya jumlah penawaran. Semakin tinggi harga di pasar, semakin banyak pula produsen yang hendak menawarkan barangnya. Bukankah harga yang tinggi menjanjikan total penerimaan yang juga tinggi? Misalnya saja, saat harga cabai melonjak, biasanya akan banyak petani yang kemudian berbondong-bondong menanam cabai. Atau saat harga saham suatu perusahaan sedang tinggi, umumnya para investor akan tertarik untuk melepaskan saham milikny ke pasar.

Hubungan antara harga dan penawaran inilah yang paling sering dijadikan acuan, biasanya dalam bentuk kurva. Kalau dibuat ke semacam kurva seperti permintaan sebelumnya, hubungan positif harga dan jumlah penawaran akan berbentuk garis kurva yang mengarah dari kiri bawah ke kanan atas.

Kurva Penawaran
Setelah harga produk di pasar, faktor penentu tingkat penawaran selanjutnya adalah harga input sumberdaya. Hubungannya jelas. Semakin tinggi harga input sumberdaya, semakin tinggi pula ongkos produksi suatu produk, yang berarti menurunkan kemampuan produsen untuk berproduksi. Nah, kalau kemampuan produsen menurun artinya kemampuan untuk mengajukan penawaran pun menurun.

Oleh karena itu, teknologi pun memainkan perannya di sini. Ibarat selera dalam permintaan, konsep teknologi dalam penawaran kerap merupakan sesuatu yang intangible alias sulit sekali dikuantifikasi. Namun efeknya jelas, terutama dalam menekan biaya dan meningkatkan efisiensi. Dengan teknologi, satuan produk yang bisa diproduksi per satuan sumberdaya akan meningkat tajam. Misalnya saja, jika dahulu per hektar lahan sawah padi hanya bisa menghasilkan 0,5 - 0,8 ton gabah, sekarang dengan teknologi benih unggul bisa dihasilkan 4 – 5 ton gabah. Ini suatu pencapaian yang luar biasa. Tak heran jika kemudian dengan sumberdaya yang relatif sama, kemajuan teknologi menyebabkan penawaran sebuah produk jadi meningkat.

Seperti halnya permintaan, ekspektasi pun punya efek signifikan dalam mempengaruhi penawaran. Misalnya saja, ketika tahun 2004 akan mulai diberlakukan undang-undang tentang hak cipta, para produsen VCD bajakan kalang kabut luar biasa. Mereka punya ekspektasi: bahwa ketika undang-undang efektif berlaku, harga barang mereka akan 0 rupiah, alias tidak bisa terjual. Akhirnya akibat ekspektasi itu, pasar banjir dengan produk-produk bajakan dan dijual dengan harga yang sangat-sangat murah. Penawaran jauh meningkat akibat ekspektasi yang demikian.

Faktor terakhir yang juga tak bisa dilupakan dalam mempengaruhi tingkat penawaran adalah jumlah produsen. Tentu saja, semakin banyak jumlah produsen, semakin tinggi pula penawaran. Misalnya, kembali contoh petani cabe, saat petani berbondong-bondong menanam cabai pada saat harga tinggi, saat itu ketersediaan suplai cabe pun akan meningkat.

Hubungan antara masing-masing faktor di atas terhadap permintaan dan penawaran di atas sudah menjadi semacam hukum alam (sunnatullah) dengan asumsi sebuah syarat terpenuhi. Syarat tersebut adalah adanya konsep ceteris paribus. Ceteris paribus adalah istilah latin yang digunakan untuk menunjukkan tetapnya variabel lain selain variabel yang dikaji. Dalam istilah yang lebih sederhana, ceteris paribus berarti semua kondisi itu tetap, sedangkan yang berubah hanya variabel yang dikaji. Jadi misalnya, ketika kita mengatakan hubungan antara harga dengan jumlah yang diminta itu negatif, itu berlaku dengan asumsi faktor lain seperti selera, harga barang substitusi dekat, ekspektasi, maupun tingkat pendapatan tidak berubah

Wallohua'lam

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?