Doa Tak Butuh Logika


Ketika tengah tadabbur QS Al Baqarah 38-41, ada hal yang menarik perhatian saya. Yakni ketika diceritakan Nabi Zakariya as. berdoa memohon keturunan yang baik kepada Alloh. Doa beliau begitu sederhana, mungkin sesederhana kehidupan beliau yang zuhud. Kemudian sebagai jawaban atas doa tersebut, Alloh pun mengutus para malaikat kepada Nabi Zakariya as untuk mengabarkan bahwa beberapa saat lagi ia akan Alloh karuniai keturunan. Dialah Nabi Yahya as, sosok yang dikabarkan kelak akan menjadi teladan umat, mampu mengendalikan diri, serta menjadi Nabinya orang-orang yang shalih. Mendengar kabar dari para malaikat itu Nabi Zakariya pun terkejut, bagaimana caranya ia bisa memperoleh keturunan sedangkan ia merasa sudah sangat tua dan isterinya sendiri mandul? Kemudian Alloh pun menjawab: “Kadzalikallaho yaf’alu maa yasyaa”, seperti itulah, Alloh berbuat sesuai apa yang Dia kehendaki. Dengan kata lain, kalau Alloh sudah berkehendak, hukum sebab-akibat dalam dimensi manusia itu seolah sudah tidak relevan lagi.

Mengapa saya tertarik dengan cuplikan kisah di atas? Pertama, karena kesederhanaan Nabi Zakariya dalam berdoa. Kedua, karena saya melihat Nabi Zakariya yang tak putus harapan untuk berdoa meski dalam nalarnya sendiri pun doa itu dianggap sesuatu yang mustahil. Perhatikanlah bagaimana Nabi Zakariya menunjukkan keheranannya saat Alloh mengabarkan akan mengaruniainya anak. Bagaimana caranya?Bagaimana mungkin? Ya, dalam posisinya sebagai manusia, bahkan seorang Nabi pun berhak heran. Tapi itulah. Nabi Zakariya seolah mencontohkan pada kita bahwa harapan pada doa memang tak butuh logika. Kekuasaan Alloh jauh melampaui nalar manusia. Kalau Alloh sudah berkenan mengaruniai sesuatu,yarzuqhu minhaytsu laa yahtasib, tak sulit bagi Alloh untuk mengaruniainya dari jalan yang sama sekali-kali tak disangka-sangka.

Berkaca pada pesan-pesan itu, saya jadi merenung kembali. Merenung tentang keingkaran hati banyak manusia yang pudar keyakinannya pada kemahakuasaan Alloh. Keingkaran yang secara tidak langsung juga berarti mengecilkan Alloh. Alloh yang maha mampu berbuat apa pun, dianggap tak bisa berbuat apa-apa hanya lantaran pikiran kita yang serba terbataas. Efeknya jelas, putus asa, putus harapan ada di mana-mana. Kita perhatikan saja, ada orang-orang yang dengan dalih ingin mencari rizki, akhirnya tanpa sungkan berkubang dalam sesuatu yang mungkar dan jelas batilnya. Korupsi semata untuk mendapat harta, sogok-menyogok agar urusan jadi lancar, rela melepas jilbab demi diterima bekerja, tega menjatuhkan saudara demik meraih kedudukan, dan lain sebagainya. Mencari yang haram aja susah, apalagi yang halal? Naudzubillah, kita berlindung pada Alloh dari slogan yang seperti itu. Ya, itulah satu bentuk keputusasaan yang mendera manusia. 

Nabi Zakariya as telah memberikan teladan indah pada kita, bahwa betapapun gelapnya kemampuan kita melihat harapan, ia tetaplah ada. Harapan akan selalu ada selama kita memiliki doa kepada Alloh. Dan oleh karenanya doa-doa kita tak boleh terabaikan, dan tak boleh pula kita remehkan. Doa adalah senjatanya orang-orang yang beriman. Dengan doa itulah kita menjalani kehidupan yang semakin berat tantangannya. Dengan doa itu pula kita menjadi pribadi yang tegar di atas masalah yang mendera. Dengan doa pula lah kita akan selalu merasa hidup bersama Alloh. 

Dari Nu’man bin Basyir dari Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam beliau bersabda, “Sesungguhnya doa itu adalah ibadah”. Kemudian beliau membaca: “Dan Tuhan kalian telah berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu’ (QS Ghafir 60)” (HR Ahmad)

“Ya Allah, rahmat-Mu aku harap, dan janganlah Engkau serahkan (nasib) diriku kepada diriku sendiri meski hanya sekejap mata, perbaguslah untukku segala urusanku, tidak ada ilah yang haq kecuali Engkau.” (HR Abu Dawud)

Comments

  1. Maaf, kalau saya berbeda pendapat atas "analisis" (pemahaman?) Anda. Namanya juga mukjizat, memang "seakan'akan" bertentangan dengan logika. Harus dicerna dengan alam pikiran dan kondisi umat waktu itu. Sedangkan logika (akal pikiran) merupakan ciptaan Tuhan juga, kan? Jadi, tidak salah menggunakan akal.Zaman mukjizat yang "tidak logis" itu telah berlalu. Mukjizat yang ditinggalkan Nabi Muhammad saw kepada umat sesudah beliau adalah AlQuranul Karim yang justru harus (dan hanya) bisa dipahami kalau menggunakan logika dan akal sehat. Maaf dan terima kasih.

    ReplyDelete
  2. Iya Pak, sama sekali tidak apa-apa. Terima kasih banyak atas komentarnya :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?