Berdiri di Antara Para Raksasa

Sampai sekarang idola bela diri saya tetap Jackie Chan. Di dunia imajinasi saya, Jackie Chan bisa mengalahkan Jet Li yang (mungkin) lebih unggul bela dirinya. Why? Karena gaya bertarung Jackie Chan itu dinamis dan mampu menjadikan lingkungan sekitarnya sebagai tangan dan kakinya yang lain. Setidaknya begitulah yang ditampilkan di film-film :-)

------------------- 

Ketika saya menyadari begitu gencarnya persaingan usaha di bisnis yang saya geluti, saya merasa seolah tengah berdiri di antara para raksasa. Mereka tampak cukup besar, mapan, kuat, dan tentu saja berpengalaman. Namun petuah dari Atuk Charles Darwin begitu terngiang dalam kepala saya. Katanya, bukanlah yang lebih kuat ataupun yang lebih cerdas yang paling mampu bertahan. Yang paling mampu bertahan adalah yang paling mampu beradaptasi. 

Seketika itu juga teringat saya pada kisah klasik tentang pertempuran antara Nabi Daud dan Jalut (Goliath) di mana dikisahkan Nabi Daud yang berperawakan kecil, berada dalam pasukan yang jumlahnya kecil, mampu menaklukkan Jalut yang besar di dalam pasukannya yang juga besar. Jadi memang besar kecilnya atau kuat lemahnya sesuatu itu tidak mutlak menjadi penentu survive-nya ia dari sebuah pertempuran. Ternyata ada dimensi lain, parameter lain di luar itu yang punya pengaruh. Itulah yang dikatakan Charles Darwin sebagai kemampuan beradaptasi, kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi. Bahkan, terkadang mampu memanfaatkan kondisi itu sebagai katalisator untruk memacu keunggulannya. 

Nah, pertanyaannya, kalau yang kuat dan cerdas tidak lantas punya daya adaptasi yang tinggi, lantas siapa? 

Jujur, saya juga masih bingung. Hehehe... Adakah pembaca yang mau memberi ide? 

Seperti kebanyakan orang, saya sebenarnya juga menganggap kekuatan dan kecerdasan sebagai dua hal yang penting dan tak boleh diremehkan untuk survive. Hanya saja, ide yang muncul di kepala saya hingga saat ini adalah bahwasanya, kekuatan dan kecerdasan itu ibarat bahan mentah. Ya, dua hal itu baru bisa menjadi daya adaptasi setelah melalui proses ‘pengolahan’ sedemikian rupa. Pengolahan yang saya maksud di sini adalah pemanfaatan keduanya secara terintegrasi sehingga masing-masing faktor tidak bekerja sendiri-sendiri. Bahkan, saya juga menilai ada faktor lain selain dua itu yang juga perlu diikutsertakan. 

Saya suka menganalogikan sesuatu dengan bela diri, termasuk soal yang ini. Agar bisa menjadi seorang petarung yang tangguh, seseorang tidak hanya harus kuat dan cerdas. Ia juga harus punya stamina yang tinggi, tubuh yang lentur dan luwes, penguasaan teknik yang baik, respon yang akurat, serta kemampuan membaca pergerakan lawan. Faktor-faktor ini jelas tidak bisa berdiri sendiri. Sehingga kemudian efeknya jelas, yang menang di atas ring seringkali bukan mereka yang paling kuat atau yang paling cepat, tapi justru mereka yang paling mampu mendayagunakan semua kemampuannya secara simultan. Tak heran, karena bela diri bukanlah adu panco atau lomba lari 100 meter. 

Sedikit OOT, itu juga alasan kenapa saya sangat suka gaya bertarungnya Jackie Chan. Ia punya gaya yang unik yang mungkin sulit disamai. Bela diri versinya adalah bela diri dinamis, yang tidak terpaku pada penguasaan jurus-jurus dan senjata manual. Jackie Chan mampu menyulap lingkungannya, apa pun itu bentuknya sebagai sebuah senjata. Ya, inilah ekspresi adaptasi dari beladiri. Kemampuan seperti itu tentu tidak akan bisa muncul kecuali ia bisa mengintegrasikan segala kemampuannya. 



Analogi bela diri itu saya kira relevan digunakan dalam konteks persaingan bisnis. Ya, bisa jadi kita untuk saat ini masih kecil dan lemah dalam perspektif orang-orang. Tapi bukan berarti kita tidak mampu bertahan. Ibarat pohon, saya kira kalau sebuah entitas bisnis yang kecil mampu bertahan, katakanlah hingga jangka waktu yang lama, ia pasti punya modal untuk membesar meskipun perlahan. Sehingga menyerah sesungguhnya bukanlah pilihan yang bijak. Butuh perjuangan memang, dan sudah jadi tabiatnya bahwa perjuangan itu pasti melelahkan. Tapi bukankah kata Imam Asy Syafi’i, berlelah-lelahlah kamu niscaya manisnya perjuangan itu kan kau rasakan setelah lelahnya berjuang? No pain, no gain kalau kata orang barat. Nggak ada loe nggak rame, kalau kata orang Indonesia. (Lho?) 

Maka bersyukurlah kita yang kini Alloh beri nikmat sebagai muslim. Dalam keyakinan kita, Alloh itu maha menghargai semua jerih payah kita. Semua usaha kita, perjuangan kita, lelah-lelah kita, akan Alloh hargai sekecil apa pun itu selama niat baiknya bisa kita pelihara. Ini juga yang seharusnya menjadi pemacu kita untuk tak patah arang dan tetap semangat berikhtiar. Pun, Alloh mampu kok mengubah keadaan dan memberi kita karunia yang tak kita sangka-sangka. Itu gampang bagi Alloh. Kuncinya, jangan menyerah. Jangan pernah menyerah, karena Alloh tidak suka pada orang yang menyerah. 

Wallohua'lam
--------------------------

*Tulisan yang dibuat di sela-sela kesibukan yang maksudnya tak lain tak bukan adalah untuk menyemangati diri sendiri. Alhamdulillah, saya bersyukur kalau rekan-rekan pembaca bisa menarik manfaat dari tulisan ini :-)

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?