Siapa yang Mau Jadi Petani?

Tulisan ini terinspirasi dari berita yang diturunkan oleh republika online beberapa waktu yang lalu, terkait mengapa banyak lulusan IPB yang bekerja di luar sektor pertanian. Sebagai salah seorang alumninya, saya tergelitik untuk sedikit memberikan respon atas pemberitaan itu.



"Siapa yang mau jadi petani?"

Andai ada pertanyaan seperti itu yang dilontarkan seorang guru di hadapan murid-muridnya, saya ragu ada anak yang akan mengacungkan tangannya. Barangkali memang sudah jadi rahasia umum, bahwa menjadi petani itu identik dengan berpenghasilan kecil dan tidak prestisius. Petani juga dianggap pekerjaan yang melelahkan, dan beresiko. Andai diurutkan, karir sebagai petani mungkin akan ditempatkan di klasemen bawah cita-cita, jauh di bawah profesi dokter, polisi, guru, tentara, arsitek, penyanyi, model, dan sebagainya. Meski tidak mutlak, tapi entah mengapa saya yakin seperti itu. Setidaknya itu berlaku buat sebagian besar anak-anak muda zaman sekarang. What's wrong with pertanian?

Pertanian, secara bahasa adalah usaha untuk mendayagunakan sumberdaya hayati untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik pangan, sandang, papan, maupun kebutuhan lainnya seperti energi, dan rekreasi. Ada dua kata kunci di sini, yakni sumberdaya hayati  (termasuk juga mikroorganisme) dan kebutuhan manusia. Itu artinya, segala aktivitas manusia yang berhubungan dengan dua kata kunci itu bisa digolongkan dalam usaha pertanian dalam arti luas.

Pun, dalam dunia pertanian kita mengenal istilah on farm dan off farm. On farm dapat diartikan usaha yang langsung terkait dengan aktivitas budidaya, sedangkan off farm adalah usaha pertanian non budidaya. Selama ini, banyak masyarakat yang hanya mengartikan pertanian dalam konteks on farm-nya saja. Mungkin karena ini banyak persepsi tentang pertanian yang tidak utuh. Padahal pertanian itu luas sekali. Kata Bung Karno, "Pertanian itu adalah soal hidup atau mati".

Lewat pengertian di atas, sesungguhnya ada banyak sektor yang terkait pertanian. Lulusan IPB sendiri, yang terdata lebih banyak yang bekerja di sektor pertanian tersebut ketimbang yang tidak. Sektor agribisnis, industri pertanian, riset pertanian, birokrasi pertanian, dan sebagainya adalah sekelumit contohnya.

Tapi fakta memang menunjukkan ada sangat banyak terjadi "penyimpangan pekerjaan" di sebagian anak-anak muda yang baru lulus dari kampus pertanian, yang notabene bergelar SP, STP, SPi, SHut, dsb. Teman-teman saya sendiri yang seangkatan, banyak yang memilih menjadi birokrat di pemerintahan, guru di lembaga pendidikan, karyawan di industri otomotif, auditor di beberapa lembaga audit, atau bankir di beberapa bank. Meski ada banyak juga yang memilih karir di industri pengolahan komoditas pertanian, atau terjun langsung menjadi petani, fakta seperti ini menunjukkan pada kita bahwa ada "sesuatu" -meminjam istilahnya Syahrini, selain kesesuaian jurusan dalam pemilihan karir paska kampus. Sesuatu itu saya terjemahkan ke dalam 2 hal: pertama, kesempatan ; kedua, uang.

Saat lepas dari kampus, para alumni yang memilih untuk bekerja akan dihadapkan pada pasar tenaga kerja yang serba terbatas. Terbatas dalam pilihan bidang, terbatas dalam kuota penerimaan, terbatas dalam konteks persaingan, plus terbatas dalam "remunerasi" atau gaji. Para alumni akan sadar, bahwa di dunia paska kampus, ada bidang-bidang tertentu yang tidak "bebas" dimasuki. Jika ingin bebas dari keterbatasan itu, mau tak mau mereka harus melirik sektor lain yang persaingannya lebih terbuka. 

Desakan kebutuhan hidup ditambah tidak adanya "aturan" yang melarang lulusan IPB untuk berkarir di luar pertanian, membuat pilihan untuk bekerja di sektor lain itu cukup banyak diminati. Terlebih mereka juga umumnya cerdas, adaptif, dan cepat menyesuaikan diri. Bekerja di mana pun tak jadi masalah. Jadi ini murni soal peluang. Mana lowongan yang bisa dimasuki ya dimasuki. Mungkin sudah common sense-nya begitu. Zaman saya dulu, banyak teman-teman yang melamar di banyak perusahaan dalam waktu bersamaan, tak peduli ruang lingkup kerja perusahaan itu berbeda satu sama lain. Yang penting diterima kerja. Begitu kira-kira. Masalah idealisme cita-cita, apakah itu berhubungan dengan pertanian atau tidak, itu soal belakangan. Yang penting dapet kerja dulu. Pun kalau ternyata diterima di banyak tempat, tinggal pilih mana yang gajinya atau kondisi kerjanya lebih menjanjikan. Selesai urusan.

Saya tidak sedang menyalahkan siapa-siapa, karena masalah ini saya kira lepas dari konteks salah atau benar. Setiap orang berhak menentukan jalan hidupnya masing-masing. Hanya saja, kita juga tidak boleh menampik harapan tak tertulis dari publik, bahwa sedikit banyak alumni IPB juga memikul tanggung jawab memajukan pertanian Indonesia (pertanian dalam arti luas tentunya). Kalau di level paradigma para lulusan IPB sudah berlepas tangan dari urusan pertanian, kepada siapa lagi bangsa ini berharap? 

But anyway, apapun profil alumni IPB, baik yang stay on the track ataupun yang tidak, saya cuma berharap semoga paradigma pertanian dan keberpihakan pada pertanian Indonesia tetap tidak hilang. Semoga para lulusan tetap pro terhadap petani dalam negeri dan kesejahteraannya, pro terhadap kelestarian sumberdaya hayati sekaligus terhadap  optimalisasinya, dan pro terhadap semua usaha-usaha pengembangan pertanian Indonesia.

Comments

  1. karena saya anak petani. Seru saja, dari petani untuk petani..ini pilihan saya, dan orang tua saya sangat setuju.HIdup IPB. tapi kalau ada kesempatan buat lanjut, kayaknya tidak di IPB ...refresh...hahaha

    ReplyDelete
  2. Sip deh Mbak Nurul...
    Semangat ^^

    ReplyDelete
  3. Hidup itu pilihan gan, dan ane milih keluar dr BUMN dan menjadi TANI. Hidup TANI.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?