Membayangkan Eksekusi Mati

Saya terkadang sering berpikir seolah-olah sebagai seorang narapidana yang sudah dijatuhi hukuman mati. Waktunya eksekusinya jam 24.00 malam nanti. Saya membayangkan diri saya yang tengah ada di dalam penjara, menunggu saat-saat terakhir nafas masih dikandung badan. Disuguhi makanan paling enak di penjara, ditanya apa keinginan terakhirnya, dan duduk dengan khusyuk menghargai setiap detik waktu yang berjalan. Hingga ketika mata sudah mulai sayup, seorang sipir membuka pintu sel, lalu masuk dan menuntun saya ke sebuah lapangan melewati koridor yang gelap dan lembab. Di sana berdiri beberapa orang algojo dengan senjata laras panjang di tangan, dan seorang lagi yang membawa kain hitam yang konon digunakan untuk menutup kepala. Dorr! itulah bunyi terakhir yang saya dengar sebelum meninggalkan dunia.

Itulah bayangan saya. Sifatnya tentu hanya bayangan. Hanya perandai-andaian. Meski saya mampu membayangkan fragmen-fragmen seperti itu, saya tak terlalu berninat untuk berandai-andai apa sebab saya masuk tahanan dan dieksekusi mati. Bagi saya, nuansa menunggu detik-detik ajal yang sudah di depan mata, tahu persis kapan Izrail hendak tiba, lebih menggairahkan ketimbang mencari sebab musabab kenapa harus mati. Bukankah memang seperti itu hidup kita ini? Setiap kita tak ubahnya para terpidana mati yang menunggu waktu eksekusi. Hanya saja Alloh masih ramah pada sebagian kita dengan tak memberitahukan kapan waktunya.

Tapi bukan itu yang hendak saya sampaikan di sini. Cerita yang hendak saya bagi adalah khayalan seperti itu entah bagaimana mampu sedikit menelisik kesadaran. Kesadaran tentang what I am doing now. Kesadaran tentang seberapa besar makna dari aktivitas yang sudah, sedang, dan telah dikerjakan. Ketika membayangkan hal seperti itu saya biasanya juga akan membayangkan apa yang akan saya perbuat dalam sisa-sisa waktu yang tersedia, berdoa kah, bertaubat kah, memperbanyak sholat kah, berderma kah, menulis catatan kah, atau hal-hal yang lainnya. Saya pun akan berpikir hal apa yang akan saya sesali pada waktu itu. Mungkin hutang yang belum dibayarkan, kesalahan pada orang yang belum ia maafkan, ilmu yang belum sempat diwariskan, isteri atau keluarga yang belum sempat dibahagiakan, atau hal-hal lainnya.

Ya, sejujurnya pikiran seperti itu membuat saya kembali bergairah mengingat ternyata saya sedang berada di balkon rumah di depan laptop dan sedang menulis, bukan di penjara yang pengap. Khayalan seperti itu membuat saya kembali bersyukur atas nikmat hidup yang masih Alloh berikan pada saya. Maka ini saatnya untuk memaksimalkan apa yang bisa dilakukan hari ini sambil mereduksi sebisa mungkin aktivitas yang menyia-nyiakan waktu. Meski kematian itu entah datang kapan, namun jelas ia pasti datang. Dan di saat itu saya ingin menjadi orang yang tidak lagi menyesali masa lalunya. Saya ingin menjadi orang yang ketika kematian menunjukkan wajahnya, saya sudah bisa tersenyum bahagia. Bahagia karena inilah pintu awal untuk bertemu dengan Alloh, bertemu dengan Rosululloh dan orang-orang sholeh. Laa khoufun 'alaihim wa laahum yahzanuun, tidak ada kekhawatiran atas dirinya dan tidak pula ia bersedih hati....

Terlepas dari apakah pada saat itu kita tangah menjadi mahasiswa yang sibuk berkutat dengan skripsi dan penelitiannya, atau mungkin pengangguran yang sedang mentok mencari kerja, atau bisnisman dan eksekutif muda yang sedang tenggelam dalam rutinitasnya, di saat kita punya kesadaran atas berharganya aktivitas yang bisa kita maksimalkan hari ini, rasa jenuh, bete, bosan, bahkan stres saya kira akan menguap seketika.

Wallohua'lam

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?