Hati-hati dengan Beasiswa

"Hati-hati menerima beasiswa!"

Itulah salah satu imbauan yang masuk ke layar komputer saya suatu hari. Pasalnya, sang pemberi imbauan menyoroti apa gerangan yang menyebabkan sekulerisme berkembang di tanah kaum muslimin. Salah satu gerbangnya menurut beliau adalah beasiswa dari negeri sekuler-kristen. Stigma yang dipegang adalah bahwa seseorang itu cenderung tergadai (bahkan terbeli) oleh kebaikan yang pernah diterimanya. Perasaan berhutang budi adalah satu hal, didukung kondisi lingkungan yang menjadi hal lainnya.

Gambaran generalnya, banyak cendekiawan muslim potensial yang lolos seleksi dan masuk ke perguruan tinggi di luar negeri, dengan fasilitas beasiswa. Karena mereka datang dari keluarga kelas menengah, beasiswa (terlebih yang full) menjadi sesuatu yang lux bagi mereka. Akhirnya pemberi beasiswa pun menjadi pihak yang harus 'dihormati secara lebih'. Wujudnya, segala sistem, termasuk metode pendidikan mereka akan menjadi acuan standar dalam pelaksanaan studi. Kalau metodenya tidak diikuti, konsekuensinya mereka bisa tidak lulus atau setidaknya karya mereka tidak diakui sebagai naskah akademik di sana. Nah disinilah titik krusialnya. Mahasiswa mana coba yang mau seperti itu?

Lalu bagaimana memangnya metodenya? Sejauh yang saya perhatikan, ada tiga faktor yang menjadi poin penting. Pertama, dalam masalah keislaman, referensi yang diterima adalah jurnal dan buku yang sudah terakreditasi sebagai naskah akademik. Tau sendiri kan gimana ribetnya memenuhi standar naskah akademik? Walhasil, referensi itu adalah karya 'ilmuwan2' barat, bukannya kitab2 klasik para ulama dulu. Kedua, studi keagamaan (termasuk keislaman) di universitas sekuler Barat masuk dalam ranah sosial-budaya. Sehingga analisis2 masalahnya pun pakai pisau sosiologi/psikologi/hermeneutika/historis dan sejenisnya, bukan pakai pisau dalil syar'i atau dasar teologis. Akhirnya, konsep keislaman yang dibangun pun lebih mirip konsep sosiologi ketimbang konsep 'agama wahyu'. Ketiga, hidup di negara maju butuh stamina iman yang luar biasa untuk menjaga ibadah yaumiyah tetap berkualitas. Di masyarakat yang adzannya tidak terdengar, masjid jauh, pengajian jauh, makanan halal tidak terlalu banyak, perilaku buruk mereka yang biasa terlihat (buka aurat, minum alkohol, pesta, dll) menjadi wajar. Sebaliknya perilaku baik dari masyarakat sekitar seperti tertib, menjaga kebersihan, efektif efisien, dan friendly menjadi silau dipandang. Terlebih setelah melihat akhlak sosial kaum muslimin di tanah air yang agak rendah. Akhirnya muncul (secara pelan tapi pasti) perasaan pemakluman terhadap semua itu.

Pemakluman seperti itu yang akhirnya memakzulkan gaya hidup orisinil yang diajarkan Islam. Homoseks dimaklumi, seks bebas dimaklumi, feminisme dimaklumi, sebaliknya yang dianggap keras (qishosh) tidak dimaklumi, poligami tidak dimaklumi, anggapan bahwa agama Islam satu2nya yang benar juga tidak dimaklumi. Suburlah pemikiran liberal dan sekuler berkembang

Tentu ada banyak orang yang tetap jati diri keislamannya setelah pulang studi dari luar negeri. Namun pada umumnya mereka mengambil studi sains, ekonomi, atau sosiologi yang sifatnya memang kauniy. Bagi yang menempuh studi keislaman atau mewacanakan keislaman dalam studinya, nasibnya tidak terlalu baik. Ulil Abshar Abdala, Muhammad Arkoun, Sumanto Al Qurtuby mungkin jadi contohnya.

Bagaimana menurut pembaca ? kalau ada wacana lain yang mengkritisi opini di atas, atau mungkin yang memperbagusnya monggo dishare ya. Semuanya dalam rangka amar ma'ruf nahi munkar. Da'wah ilalloh :-)

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?