Posts

Showing posts from November, 2011

Apa Yang Bisa Kita Pelajari dari Peristiwa 1 Muharram?

Tulisan ini juga dimuat dengan judul yang sama di hidayatullah.com , tanggal 28 November 2011 1. Kita perlu berubah 2. Kita perlu bersatu 2. Kita perlu cerdas dan cerdik 3. Kita perlu lebih dekat lagi dengan kalender islam Tiga belas tahun di Makkah, bukanlah waktu yang singkat yang dijalani Rosululloh dan para sahabatnya dalam berdakwah terlebih karena dakwah itu tidak sama atmosfernya seperti sekarang ini. Jika sekarang di Indonesia, orang-orang sudah bisa dengan cukup leluasa mengekspresikan keislamannya, maka tidak demikian halnya Rosululloh dan para sahabat dahulu. Mereka harus menghadapi boikot, penolakan, cemoohan, fitnahan, ancaman pembunuhan, hingga siksaan fisik saat mengekspresikan keimanannya. Dahulu, kaum muslimin di Makkah adalah golongan minoritas. Minoritas dalam hal kuantitas maupun sumberdayanya. Minoritas pula dalam hal kekuatannya. Itulah sebabnya mengapa Rosululloh dan sahabatnya belum mampu berbuat banyak ketika keluarga Yasir disiksa. Ister

Inikah Kesulitan karena Menikah Dini?

Tulisan ini juga dimuat dengan judul yang sama di  Republika online , tanggal 24 November 2011, sebelum saya posting di blog ini. Ketika menikah, usia saya 21 tahun. Bagi sebagian orang, itu usia yang terlalu muda untuk menikah bagi seorang laki-laki. Terlebih pada saat itu saya masih berstatus mahasiswa. Sebelum akad nikah terlaksana, sebenarnya sanak saudara dan kerabat sudah banyak yang mengingatkan resiko menikah di usia dini. Dari mulai yang paling argumentatif seperti ketidaksiapan mental, dan kesulitan membagi waktu kuliah-kerja-nikah, hingga yang paling reaktif seperti adanya gunjingan MBA, dan sebagainya. Namun semua peringatan itu tidak saya jadikan halangan. Malah itu semua jadi bahan masukan yang berharga untuk lebih mematangkan persiapan pernikahan, hingga akhirnya akad nikah pun dilaksanakan. Beberapa bulan berumahtangga, ternyata secara pribadi saya tidak merasakan halangan yang berarti akibat menikah dini. Malah sebaliknya, kondisi emosional bisa lebih stabil dan

Jiwa Besar seorang Rahmad Darmawan

Image
Sepertinya kita memang butuh sosok teladan seperti Pak Rahmad Darmawan...   Meski timnas sepakbola Garuda Muda hanya berhasil menyabet medali perak pada pentas Sea Games XXVI kali ini, ada fragmen yang tetap patut kita banggakan. Selain para pemain yang sudah berjuang habis-habisan , ternyata Indonesia memiliki sosok pelatih yang berjiwa besar dan punya sikap ksatria.    berikut adalah cuplikan pernyataan Pak Rahmad Darmawan pasca kekalahan timnas lewat drama adu penalti dengan Malaysia yang dilansir Tribunnews.com , 22 November 2011. Laporan wartawan Tribunnews.com, Iwan Taunuzi TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rahmad Darmawan selaku pelatih timnas U-23 mengakui bahwa dirinya telah gagal membimbing Titus Bonai cs untuk menjadi juara SEA Games XXVI menyusul kekalahan menyakitkan atas Malaysia melalui tendangan adu penalti. "Saya dapat tugas dengan target medali emas. Dan apapun alasannya saya gagal mencapai target itu," ujar RD usai pertandingan, Senin (21/1

Fenomena Kritik terhadap Da'i di TV

Belakangan ini kita banyak saksikan fenomena Ustad/penceramah di televisi. Dari mulai yang punya rubrik khusus kajian di TV setiap hari, sampai kompetisi Da'i seperti yang di ANTV. Beberapa hal yang kurang pas sangat mungkin sudah kita saksikan atau ketahui. Yang kurang pas itu bisa berwujud penetapan tarif gede untuk ceramah yang dilakukan (jadi mirip artis), doyan masuk infotainment (jadi mirip artis juga), cara penyampaian yang kurang pas, track record keilmuan yang kurang meyakinkan, hingga yang hanya mengutamakan retorika namun cenderung abai pada kedalaman substansi ceramah. Kita sepakat itu buruk bukan? Terkadang terbesit di hati kita keinginan untuk mengkritik kekurangpasan yang ada, namun kritik yang kita sampaikan itu cenderung terbuka, frontal dan tak peka situasi. Efek yang dirasakan masyarakat justru kontraproduktif. Adanya kritik yang disampaikan secara demikian akan seolah menciptakan pesan: jangan tonton ceramahnya si ustad anu, atau si ustad ini. Yang saya

Demi Bola dan Timnas Indonesia

Image
Ini sekelumit cerita tentang suporter sepakbola. Mungkin fanatisme, mungkin juga nasionalisme...

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

--> (Sambungan dari  Mengapa Saya Berhenti Liqo (I) ) Bagi saya, tampak jelas sudah sikap diskriminasinya. Mentoring yang saya lihat bukan hanya sekedar aktivitas pembinaan keislaman seseorang, namun sudah terkooptasi sebuah hegemoni yang eksklusif –terlepas dari baik tidaknya niat pelaku hegemoni tersebut. Itu yang menjadi salah satu alasan saya mengapa akhirnya berhenti dan mencari aktivitas pembinaan di tempat lain. Alasan berikutnya adalah keterkaitan mentoring di kampus saya dengan Partai Keadilan Sejahtera. Ya, PKS adalah partai politik yang kita kenal lewat slogannya, bersih, profesional, dan peduli. Lalu apa keterkaitannya? Awalnya saya juga merasa mentoring dan PKS adalah dua entitas yang terpisah, meski sudah sejak lama saya tahu orang yang berkecimpung di dalamnya ya itu-itu juga. Mereka yang aktif mengelola mentoring nyaris semuanya berafiliasi ke PKS. Nah, jika cuma itu kondisinya, saya tidak akan terlalu peduli dan tidak akan saya permasalahkan di sini. Pa

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (I)

--> Saya termasuk orang yang beruntung pernah kuliah di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Bukan hanya karena almamater saya punya integritas akademik, tapi juga karena kondisi pendidikannya yang cukup kondusif untuk pengembangan diri, salah satunya adalah pengembangan diri di bidang kerohanian. Mentoring (istilah yang kemudian berevolusi menjadi liqo -bertemu, bhs. arab), adalah aktivitas yang cukup populer di sana. Dimotori oleh LDK (Lembaga Dakwah Kampus), mentoring menjadi semacam primadona kegiatan yang gencar disebarluaskan, bahkan sejak pertama kali mahasiswa baru menjejakkan kakinya di kampus tersebut.  Secara khusus, mentoring yang dibahas di sini adalah aktivitas pengembangan diri di bidang keislaman yang dipandu oleh seorang mentor (murobi) dalam sebuah kelompok beranggotakan 5-12 orang. Agendanya beragam, dari mulai membaca al Qur’an secara bergiliran, tausiyah (pemberian nasehat), cek n ricek ibadah harian, musyawarah tentang sesuatu, bedah

Andik Vermansyah yang Menginspirasi

Image
Tulisan ini dimuat di  kompas.com oleh C. Damanik dan W. Kusuma dengan judul asli  'Andik, dari Jualan Es sampai Jadi Messi' , 9 November 2011 Kisahnya sangat inspiratif dan menggugah semangat. Mengingatkan saya pada sosok Aoi Singo di serial komik Kapten Tsubasa. Semoga beliau terus berjaya di jalan hidup yang sudah dipilihnya , dan semoga kita bisa memetik manfaat dari kisahnya Mungil, cepat, lincah, tajam, penuh determinasi, dan pekerja keras. Selain Oktovianus Maniani, ciri-ciri ini juga mencerminkan sosok gelandang Tim Nasional U-23, Andik Vermansyah. Aksinya yang brilian terlihat jelas saat membela Timnas U-23 saat melawan Kamboja di laga perdana SEA Games XXVI tahun 2011. Dalam pertandingan yang berakhir dengan skor 6-0 untuk Indonesia itu, kecepatan dan kelincahan Andik mampu mengobrak-abrik pertahanan lawan hingga membuahkan satu gol dan memberikan satu umpan indah yang berujung pada gol terakhir untuk Indonesia.

Hati-hati dengan Beasiswa

"Hati-hati menerima beasiswa!" Itulah salah satu imbauan yang masuk ke layar komputer saya suatu hari. Pasalnya, sang pemberi imbauan menyoroti apa gerangan yang menyebabkan sekulerisme berkembang di tanah kaum muslimin. Salah satu gerbangnya menurut beliau adalah beasiswa dari negeri sekuler-kristen. Stigma yang dipegang adalah bahwa seseorang itu cenderung tergadai (bahkan terbeli) oleh kebaikan yang pernah diterimanya. Perasaan berhutang budi adalah satu hal, didukung kondisi lingkungan yang menjadi hal lainnya. Gambaran generalnya, banyak cendekiawan muslim potensial yang lolos seleksi dan masuk ke perguruan tinggi di luar negeri, dengan fasilitas beasiswa. Karena mereka datang dari keluarga kelas menengah, beasiswa (terlebih yang full) menjadi sesuatu yang lux bagi mereka. Akhirnya pemberi beasiswa pun menjadi pihak yang harus 'dihormati secara lebih'. Wujudnya, segala sistem, termasuk metode pendidikan mereka akan menjadi acuan standar dalam pelaksanaan st

Onepiece dan Perubahan

Image
Bagi para penggemar manga Jepang, tentu tidak asing lagi dengan serial Onepiece. Ya, serial bajak laut ini adalah salah satu serial paling populer di Jepang pada awal tahun 2000-an dan masih bertahan hingga kini. Serial ini menceritakan petualangan sekelompok bajak laut yang diketuai oleh Luffy, si topi jerami mencari harta karun paling terkenal di seluruh dunia bernama Onepiece. Ada banyak fragmen kisah yang diceritakan, persahabatan, pengkhianatan, keberanian, perjuangan hingga akhir, kehormatan, dan sebagainya. Terlepas dari tampilan gambar yang kadang sedikit berbau seks, serial ini cukup mendidik dari segi cerita. Saya berangan-angan suatu saat nanti ada anak negeri yang mampu menyajikan cerita sekualitas Onepiece namun dengan gambaran yang lebih sopan. Salah satu fragmen yang paling saya sukai adalah ketika kelompok mereka terpisah akibat sebuah insiden. Semakin mendekat ke pulau harta karun Onepiece, lawan dan dinamika yang mereka temui semakin berat dan kompleks.

Membayangkan Eksekusi Mati

Saya terkadang sering berpikir seolah-olah sebagai seorang narapidana yang sudah dijatuhi hukuman mati. Waktunya eksekusinya jam 24.00 malam nanti. Saya membayangkan diri saya yang tengah ada di dalam penjara, menunggu saat-saat terakhir nafas masih dikandung badan. Disuguhi makanan paling enak di penjara, ditanya apa keinginan terakhirnya, dan duduk dengan khusyuk menghargai setiap detik waktu yang berjalan. Hingga ketika mata sudah mulai sayup, seorang sipir membuka pintu sel, lalu masuk dan menuntun saya ke sebuah lapangan melewati koridor yang gelap dan lembab. Di sana berdiri beberapa orang algojo dengan senjata laras panjang di tangan, dan seorang lagi yang membawa kain hitam yang konon digunakan untuk menutup kepala. Dorr! itulah bunyi terakhir yang saya dengar sebelum meninggalkan dunia. Itulah bayangan saya. Sifatnya tentu hanya bayangan. Hanya perandai-andaian. Meski saya mampu membayangkan fragmen-fragmen seperti itu, saya tak terlalu berninat untuk berandai-andai apa s