Tentang Norma Berpakaian

Saya teringat pernah membaca sebuah situs berita mancanegara yang tengah memaparkan adanya Imbauan polisi Toronto pada kaum hawa untuk tidak mengenakan busana yang mengundang ‘perhatian’. Imbauan sang polisi itu mirip seperti pernyataan Pak Gubernur DKI yang baru-baru ini menuai kritik dan protes dari beberapa kalangan. Ternyata tidak pandang lokasi, mau di dalam negeri maupun di luar negeri, saran untuk memperbaiki cara berpakaian memang menjadi isu yang sensitif di masyarakat. Sensitif karena sebagian pihak merasa cara mereka berbusana adalah hak mereka, pilihan mereka. Sehingga mereka seolah merasa terganggu oleh imbauan yang dianggap mendikte, dan memasung kebebasan mereka.

Kembali pada situs berita tersebut, yang menarik perhatian sebenarnya adalah komentar-komentar pro dan kontra tentang tindakan si Polisi. Imbauan si polisi memang ditujukan untuk mencegah atau setidaknya meminimalisir adanya tindak kejahatan seksual seperti pemerkosaan ataupun pelecehan. Respon yang muncul dari imbauan tersebut beragam. Ada yang menganggap imbauan tersebut merupakan bentuk kesalahan berpikir yang hanya menempatkan korban sebagai objek dan pihak yang bersalah. Ada pula yang merasa imbauan itu tidak relevan karena tindak kejahatan seksual sesungguhnya tidak berhubungan dengan pakaian yang dikenakan, jadi meski pakai cadar sekalipun tidak lantas mencegah terjadinya pemerkosaan. Uniknya, ada pula tanggapan yang mendukung si Polisi dengan mengatakan bahwa meski pakaian sopan itu tidak 100% mencegah kejahatan seksual, setidaknya ia bisa menurunkan resiko terjadinya hal itu. Komentar yang lain menambahkan, bahwa berpakaian seksi di hadapan khalayak memang bukanlah hal yang pantas. 

Namun dari sekian banyak komentar, yang paling menarik perhatian saya adalah komentar dari seorang wanita yang mengaku senang berpakaian menggoda. Ia juga mengaku sering tidur dengan berbagai lelaki dan menikmati apa yang dilakukannya. Ia menolak anggapan bahwa dirinya tidak terhormat karena ia merasa ia menghargai dirinya dan melakukannya selama ini atas dasar suka-sama suka. Ia juga memaparkan bahwa orang-orang seperti dirinya sama sekali tidak ada hubungannya dengan tingkat pendidikan yang rendah karena ia sendiri kuliah dan sering mendapat nilai A atau B. Ketika membaca komentar terakhir ini, saya sedikit tercengang. Bahwa sesungguhnya ada yang miss dalam pembicaraan melalui komentar-komentar ini. Ada aspek mendasar yang seringkali tak sadar telah terabaikan oleh mereka selama ini. Saya pun ingat bahwa ini adalah forum di Kanada, sebuah negara yang berbeda dengan Indonesia. Ya, hal yang terlupa itu adalah norma.

Tak berlebihan kiranya jikalau ada orang yang mengatakan bahwa agama bagi (sebagian) orang-orang Barat memang telah mati. Pembicaraan tentang norma saya kira memang tidak akan laku lagi di forum seperti itu. Terlepas dari adanya pro dan kontra, setidaknya alasan mendasar yang mereka gunakan bukan lagi norma agama. Setidak-tidaknya itulah yang terlihat. Paling banter landasannya common sense, dan itu pun sifatnya sangat relatif dan subjektif. Ini memberikan lintasan pemikiran pada saya. Dengan mencermati gejala-gejala yang ada di Indonesia, seperti semakin maraknya pergaulan bebas dan banyaknya tayangan-tayangan televisi yang semakin permisif, prospek menjadi peradaban seperti itu terlihat semakin terbuka. Semakin jelas adanya peluang munculnya peradaban nir norma seperti itu. Itu diperkuat lagi dengan adanya demo baru-baru ini yang memprotes kritikan Gubernur DKI terhadap pengguna rok mini, tentu terlepas dari gaya bahasa beliau yang memang terlalu vulgar.

Lalu pertanyaannya, apa ruginya kalau kita menjadi masyarakat yang permisif seperti masyarakat Barat? Bukankah mereka –sepanjang pengetahuan kita, sebagian besar maju teknologinya, toleran pada perbedaan, tinggi tingkat intelektualitasnya, baik infrastrukturnya, rapi manajemen organisasinya, dan kaya? Lalu apa arti penting norma agama kalau kehidupan peradabannya sudah ‘baik’ seperti itu? Sungguh, jika dalam benak kita muncul pertanyaan seperti itu, itu tanda-tanda pikiran kita sudah mulai terkena polusi. Karena perihal norma agama bukan lagi perkara profan. Ia sudah menjadi bagian yang sakral dalam kehidupan manusia yang beriman. Karena itu, konteksnya bukan lagi kehidupan duniawi, tapi sudah kehidupan duniawi plus ukhrawi.



Sebagai seorang muslim saya tidak terlalu paham bagaimana ajaran agama lain, namun yang jelas islam mengajarkan pemeluknya agar tidak hanya hidup untuk dunia tapi juga untuk akhirat. Seorang muslim, jika masih ingin mengikuti fitrahnya, lebih dari sekedar layak untuk membumikan pesan langit yang diturunkan padanya. Karena tujuan hidup seorang muslim sudah jelas, yakni mengabdi pada Alloh (konsisten pada ajaran ketuhanan) serta menjadi pemakmur dunia. Islam memberikan norma-norma atau rambu-rambu yang menjadi koridor perilakunya di dunia. Tetap berada pada koridor itu berarti keberuntungan dan keluar dari koridor itu berarti kerugian. Salah satu aspek yang diberi koridor tersebut adalah cara berpakaian.

Efeknya, Islam memiliki acuan yang jelas. Berbeda dengan norma masyarakat biasa yang relatif dan subjektif. Suatu saat, norma yang berlaku di negara Barat bisa jadi melegalkan praktek zina, aborsi, maupun pakai bikini di pasar-pasar namun, norma yang dibangun atas dasar agama yang sakral tidak akan berubah hingga akhir zaman. Islam tidak akan pernah melegalkan hal itu.

Islam memerintahkan ummatnya untuk menutup aurat mereka saat berpakaian. Dengan demikian, membuka aurat jelas menyalahi norma, dan secara agama hal itu menjadi tendensi buruk. Mungkin tidak ada kerugian yang dirasakan di dunia, namun di akhirat ia akan menuai kerugian. Itu saja. Sesederhana itu mengapa kita perlu mencermati bagaimana kita berpakaian. Jika ada yang merasa terkekang dengan aturan agama, alangkah sayangnya karena aturan itu diturunkan oleh Alloh yang menguasai alam. Jika aturan negara seperti tata cara berlalu lintas dipatuhi, administrasi kependudukan dipenuhi, syarat-syarat transaksi dipenuhi, lalu mengapa aturan Alloh yang hierarkinya ada di atasnya dilanggar?

Membentuk sebuah peradaban saya kira tidak sekedar peradaban material, tapi juga moral dan spiritual. Jikalau masyarakat Barat rela menyingkirkan kesopanan dari agama mereka, maka Indonesia seharunya tidak boleh ikut-ikutan. Pertama, karena secara konstitusi kita adalah Negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, karena sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beriman. Ketiga, karena kita ingin selamat dan menjadi masyarakat pemenang di akhirat.

Wallohua’lam

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?