Berdakwah dengan Akhlakul Karimah

Sepintas judul di atas mirip dengan judul ceramah para da’i cilik dalam kontes pildacil. Kesannya sederhana dan siapapun kiranya akan paham maksudnya, bahwa ada korelasi positif antara aktivitas berdakwah dan akhlak yang baik. Pada intinya, jika ingin berdakwah lengkapilah muatan dakwah itu dengan menunjukkan akhlak yang baik. Namun pada prakteknya ini terlihat seringkali terabaikan. 

Penulis semakin sering melihat gejala-gejala yang kurang baik dari saudara-saudara yang semangat berdakwah. Gejala itu berupa adanya sikap arogan saat menyampaikan kebenaran yang diyakininya. Ada orang yang mengkritik sebuah sikap yang dinilainya tidak pas, namun disertai cercaan dan hinaan pada si pelaku. Ada pula orang yang mencoba mengoreksi sesuatu namun asumsinya dibangun oleh prasangka buruk. Ada lagi orang yang semangat menyampaikan kekeliruan pada publik namun tak lagi menghormati orang yang keliru itu. Tak jarang kritik, nasehat, atau koreksi yang disampaikan itu menggunakan kata-kata yang vulgar atau bahkan cenderung kasar.

Hal itu jelas bertentangan dengan perintah Alloh dalam Al Qur’an maupun sunnah rosululloh saw. Seorang muslim dituntut untuk berdakwah sambil memperhatikan caranya berdakwah, yakni dengan himkah dan pengajaran yang baik. Rosululloh saw pun mengisyaratkan pada ummatnya bahwa akhlak yang baik merupakan sebuah amalan yang paling berat timbangannya di hari kiamat. Beliau juga telah mencontohkan sedemikian rupa bagaimana berdakwah dengan akhlak yang baik. Sejarah pernah mencatat bagaimana Abu Sufyan dan para petinggi kafir Quraisy tersentuh hatinya dan akhirnya memilih masuk Islam setelah melihat kemuliaan akhlak Rosululloh saw saat menduduki Makkah. 

Kiranya siapa pun sudah paham bahwa ada urgensi dalam pengikutsertaan akhlakul karimah saat berdakwah. Tulisan ini hanya sekedar penyegar bahwa setidaknya ada hal yang menjadi poin penting dalam dakwah bahwa seseorang yang melakukan sebuah kesalahan itu bisa disebabkan oleh dua hal, yakni ketidaktahuan dan hawa nafsu. Kesalahan karena ketidaktahuan bisa diperbaiki oleh ilmu, sedangkan kesalahan karena hawa nafsu baru bisa diperbaiki oleh rasa.

Penulis pernah mendengar keluhan seorang teman yang bertanya mengapa meski tahu sesuatu itu salah, kadangkala kesalahan itu tetap dilakukan. Jawabnya adalah karena dorongan nafsunya masih amat kuat dalam dirinya. Nafsu tersebut seringkali tidak bisa diatasi hanya oleh ilmu yang dimengerti, ini salah, ini benar, dan seterusnya. Mirip orang yang kecanduan. Amat sulit mengubah kebiasaan kecanduan itu hanya dengan stimulus pemikiran. Merubah dorongan nafsu itu memerlukan dorongan yang sejenis, yakni perasaan. Itulah mengapa dibutuhkan sebuah ‘pengalaman’ yang mampu dirasakan oleh si pelaku sebelum si pelaku berubah. Contoh klasiknya adalah bagaimana sosok Suraqoh bin Malik mampu berubah 180 derajat dari sosok yang begitu keras dan ingin membunuh nabi, menjadi sosok yang malah membela nabi.

Siroh nabawiyah mengemukakan kisahnya yang begitu jelas, saat beliau yang hendak membunuh nabi terhalang oleh jatuhnya kuda yang ditungganginya. Kemudian Rosul datang dan melihat kondisinya yang terdesak. Dengan hati pasrah Suraqoh berpikir saat itu Rosululloh bisa berbuat apa saja termasuk membunuhnya. Namun perkiraannya salah karena Rosululloh malah mengajaknya bangkit dan memaafkannya. Akhlak Rosululloh inilah yang membuat Suraqoh mendapatkan sebuah pengalaman akhlakul karimah yang begitu luar biasa. Tanpa banyak berkata-kata (apalagi memberikan kuliah serta teori berbagai rupa), kuliah akhlak by doing itu justru memberikan dampak yang sangat besar bagi Suraqoh. Ada begitu banyak kisah lainnya yang menunjukkan betapa banyak orang yang akhirnya menjadi lebih baik tidak setelah mendapatkan berbagai macam teori, tapi justru setelah menjumpai akhlak yang menawan dari seorang pendakwah. 

Dengan adanya gejala-gejala kelalaian menerapkan akhlakul karimah dalam berdakwah seperti yang disinggung di atas, kita selayaknya sudah patut mengintrospeksi diri, jangan-jangan kita selama ini termasuk di dalamnya. Jangan-jangan kita termasuk orang yang memberi garis pembatas dan menempatkan diri kita di posisi lebih tinggi. Atau jangan-jangan kita termasuk orang yang ujub/sombong. Jujur dan secara ksatria mengakui bahwa diri kita salah tentunya lebih baik ketimbang mencari-cari pembenaran atas kekeliruan yang kita lakukan. 

Penulis pun teringat pernyataan seseorang yang pernah dituangkannya dalam sebuah situs jejaring sosial, bahwa seseorang berdakwah bisa jadi lebih didasari oleh semangat keakuan ketimbang semangat iman, “kamu itu salah dan aku benar, jadi aku lebih baik daripada kamu”. Na’udzu billahi min dzalik. Wallohua’lam

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?