Posts

Showing posts from 2011

Bentuk-bentuk Amanah

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS An Nisa : 58) Suatu hari seorang Badui datang menghadap Rosululloh saw, lalu bertanya pada beliau, “Wahai rasululloh kapan kah kiamat (kehancuran) itu terjadi?” Kemudian Rosululloh menjawab, “Kiamat datang ketika amanat itu disia-siakan”. Sang Badui pun lalu bertanya lagi, “Bagaimanakah bentuk penyia-nyiaan itu ya Rosululloh?” Rosululloh pun menjawab, “Ketika amanat diberikan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” Sepenggal kisah di atas menjadi pembuka halaqoh warga Muhammadiyah Kisaran Kota, Hari Selasa malam, 3 Safar 1433 H. Ustad Munif sebagai pemateri kali itu memang megambil konsep amanah sebagai topik ta’limnya. Dalam tafsir Al Maraghi,

Bersatu, Sesulit Itukah?

"Pada beberapa tahun yang sudah, kita gemar berbantah-bantahan, bermusuhan di antara kita umat Islam, malahan perbantahan dan permusuhan itu di antara ulama dengan ulama. Sedangkan yang dibuat perbantahan dan permusuhan itu perkara kecil saja. Adapun timbulnya permusuhan itu, karena kebanyakan kita berpegang kuat pada hukum yang dihukumkan oleh manusia." "Kita sekarang bukan hidup pada 25 tahun yang lalu. Kita sudah bosan, kita sudah payah bermusuh-musuhan. Sedih kita rasakan kalau perbuatan itu timbul daripada ulama. Padalah ulama itu mestinya lebih halus budinya, berhati-hati lakunya. Karena ulama itu sudah ditentukan menurut firmal Alloh: Ulama itu lebih takut kepada Alloh. Karena ulama tentunya lebih mengerti kepada dosa dan bahaya bermusuh-musuhan." (KH Mas Mansyur, 1358 H / 1939 M) "Janganlah kalian jadikan perdebatan itu menjadi sebab-sebab perpecahan, pertengkaran, dan bermusuh-musuhan. Atau kita teruskan perpecahan, saling menghina dan me

Chiefdom Madinah: Salah paham negara Islam

Judul               : Chiefdom Madinah: Salah paham negara Islam Penulis            : DR. Abdul Aziz, MA Penerbit         : Pustaka Alvabet, Maret 2011 Halaman         : 398 hal Genre              : Politik-Agama Saya baru menyelesaikan pembacaan buku yang saya kira cukup mencerahkan. Judulnya Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam. Buku ini saya pandang mencerahkan karena memberi wawasan serta sudut pandang baru, yang memungkinkan pembacanya untuk menganalisis fenomena-fenomena unik seputar ide pendirian negara Islam. Terlepas dari sepakat atau tidak, ulasan yang diusung oleh buku ini menawarkan perspektif kesejarahan tentang awal pembentukan sebuah negara Madinah (yang dianggap Chiefdom oleh penulis) , dinamikan yang terjadi di dalamnya, hingga bentuk pemerintahannya yang bertransformasi menjadi sebuah dinasti. Penulis memberikan ulasan mengenai ide global tentang pendirian negara Islam berserta varian-variannya yang dibawa oleh para ulama seperti Ibnu Khaldun

Apa Yang Bisa Kita Pelajari dari Peristiwa 1 Muharram?

Tulisan ini juga dimuat dengan judul yang sama di hidayatullah.com , tanggal 28 November 2011 1. Kita perlu berubah 2. Kita perlu bersatu 2. Kita perlu cerdas dan cerdik 3. Kita perlu lebih dekat lagi dengan kalender islam Tiga belas tahun di Makkah, bukanlah waktu yang singkat yang dijalani Rosululloh dan para sahabatnya dalam berdakwah terlebih karena dakwah itu tidak sama atmosfernya seperti sekarang ini. Jika sekarang di Indonesia, orang-orang sudah bisa dengan cukup leluasa mengekspresikan keislamannya, maka tidak demikian halnya Rosululloh dan para sahabat dahulu. Mereka harus menghadapi boikot, penolakan, cemoohan, fitnahan, ancaman pembunuhan, hingga siksaan fisik saat mengekspresikan keimanannya. Dahulu, kaum muslimin di Makkah adalah golongan minoritas. Minoritas dalam hal kuantitas maupun sumberdayanya. Minoritas pula dalam hal kekuatannya. Itulah sebabnya mengapa Rosululloh dan sahabatnya belum mampu berbuat banyak ketika keluarga Yasir disiksa. Ister

Inikah Kesulitan karena Menikah Dini?

Tulisan ini juga dimuat dengan judul yang sama di  Republika online , tanggal 24 November 2011, sebelum saya posting di blog ini. Ketika menikah, usia saya 21 tahun. Bagi sebagian orang, itu usia yang terlalu muda untuk menikah bagi seorang laki-laki. Terlebih pada saat itu saya masih berstatus mahasiswa. Sebelum akad nikah terlaksana, sebenarnya sanak saudara dan kerabat sudah banyak yang mengingatkan resiko menikah di usia dini. Dari mulai yang paling argumentatif seperti ketidaksiapan mental, dan kesulitan membagi waktu kuliah-kerja-nikah, hingga yang paling reaktif seperti adanya gunjingan MBA, dan sebagainya. Namun semua peringatan itu tidak saya jadikan halangan. Malah itu semua jadi bahan masukan yang berharga untuk lebih mematangkan persiapan pernikahan, hingga akhirnya akad nikah pun dilaksanakan. Beberapa bulan berumahtangga, ternyata secara pribadi saya tidak merasakan halangan yang berarti akibat menikah dini. Malah sebaliknya, kondisi emosional bisa lebih stabil dan

Jiwa Besar seorang Rahmad Darmawan

Image
Sepertinya kita memang butuh sosok teladan seperti Pak Rahmad Darmawan...   Meski timnas sepakbola Garuda Muda hanya berhasil menyabet medali perak pada pentas Sea Games XXVI kali ini, ada fragmen yang tetap patut kita banggakan. Selain para pemain yang sudah berjuang habis-habisan , ternyata Indonesia memiliki sosok pelatih yang berjiwa besar dan punya sikap ksatria.    berikut adalah cuplikan pernyataan Pak Rahmad Darmawan pasca kekalahan timnas lewat drama adu penalti dengan Malaysia yang dilansir Tribunnews.com , 22 November 2011. Laporan wartawan Tribunnews.com, Iwan Taunuzi TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rahmad Darmawan selaku pelatih timnas U-23 mengakui bahwa dirinya telah gagal membimbing Titus Bonai cs untuk menjadi juara SEA Games XXVI menyusul kekalahan menyakitkan atas Malaysia melalui tendangan adu penalti. "Saya dapat tugas dengan target medali emas. Dan apapun alasannya saya gagal mencapai target itu," ujar RD usai pertandingan, Senin (21/1

Fenomena Kritik terhadap Da'i di TV

Belakangan ini kita banyak saksikan fenomena Ustad/penceramah di televisi. Dari mulai yang punya rubrik khusus kajian di TV setiap hari, sampai kompetisi Da'i seperti yang di ANTV. Beberapa hal yang kurang pas sangat mungkin sudah kita saksikan atau ketahui. Yang kurang pas itu bisa berwujud penetapan tarif gede untuk ceramah yang dilakukan (jadi mirip artis), doyan masuk infotainment (jadi mirip artis juga), cara penyampaian yang kurang pas, track record keilmuan yang kurang meyakinkan, hingga yang hanya mengutamakan retorika namun cenderung abai pada kedalaman substansi ceramah. Kita sepakat itu buruk bukan? Terkadang terbesit di hati kita keinginan untuk mengkritik kekurangpasan yang ada, namun kritik yang kita sampaikan itu cenderung terbuka, frontal dan tak peka situasi. Efek yang dirasakan masyarakat justru kontraproduktif. Adanya kritik yang disampaikan secara demikian akan seolah menciptakan pesan: jangan tonton ceramahnya si ustad anu, atau si ustad ini. Yang saya

Demi Bola dan Timnas Indonesia

Image
Ini sekelumit cerita tentang suporter sepakbola. Mungkin fanatisme, mungkin juga nasionalisme...

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

--> (Sambungan dari  Mengapa Saya Berhenti Liqo (I) ) Bagi saya, tampak jelas sudah sikap diskriminasinya. Mentoring yang saya lihat bukan hanya sekedar aktivitas pembinaan keislaman seseorang, namun sudah terkooptasi sebuah hegemoni yang eksklusif –terlepas dari baik tidaknya niat pelaku hegemoni tersebut. Itu yang menjadi salah satu alasan saya mengapa akhirnya berhenti dan mencari aktivitas pembinaan di tempat lain. Alasan berikutnya adalah keterkaitan mentoring di kampus saya dengan Partai Keadilan Sejahtera. Ya, PKS adalah partai politik yang kita kenal lewat slogannya, bersih, profesional, dan peduli. Lalu apa keterkaitannya? Awalnya saya juga merasa mentoring dan PKS adalah dua entitas yang terpisah, meski sudah sejak lama saya tahu orang yang berkecimpung di dalamnya ya itu-itu juga. Mereka yang aktif mengelola mentoring nyaris semuanya berafiliasi ke PKS. Nah, jika cuma itu kondisinya, saya tidak akan terlalu peduli dan tidak akan saya permasalahkan di sini. Pa

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (I)

--> Saya termasuk orang yang beruntung pernah kuliah di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Bukan hanya karena almamater saya punya integritas akademik, tapi juga karena kondisi pendidikannya yang cukup kondusif untuk pengembangan diri, salah satunya adalah pengembangan diri di bidang kerohanian. Mentoring (istilah yang kemudian berevolusi menjadi liqo -bertemu, bhs. arab), adalah aktivitas yang cukup populer di sana. Dimotori oleh LDK (Lembaga Dakwah Kampus), mentoring menjadi semacam primadona kegiatan yang gencar disebarluaskan, bahkan sejak pertama kali mahasiswa baru menjejakkan kakinya di kampus tersebut.  Secara khusus, mentoring yang dibahas di sini adalah aktivitas pengembangan diri di bidang keislaman yang dipandu oleh seorang mentor (murobi) dalam sebuah kelompok beranggotakan 5-12 orang. Agendanya beragam, dari mulai membaca al Qur’an secara bergiliran, tausiyah (pemberian nasehat), cek n ricek ibadah harian, musyawarah tentang sesuatu, bedah

Andik Vermansyah yang Menginspirasi

Image
Tulisan ini dimuat di  kompas.com oleh C. Damanik dan W. Kusuma dengan judul asli  'Andik, dari Jualan Es sampai Jadi Messi' , 9 November 2011 Kisahnya sangat inspiratif dan menggugah semangat. Mengingatkan saya pada sosok Aoi Singo di serial komik Kapten Tsubasa. Semoga beliau terus berjaya di jalan hidup yang sudah dipilihnya , dan semoga kita bisa memetik manfaat dari kisahnya Mungil, cepat, lincah, tajam, penuh determinasi, dan pekerja keras. Selain Oktovianus Maniani, ciri-ciri ini juga mencerminkan sosok gelandang Tim Nasional U-23, Andik Vermansyah. Aksinya yang brilian terlihat jelas saat membela Timnas U-23 saat melawan Kamboja di laga perdana SEA Games XXVI tahun 2011. Dalam pertandingan yang berakhir dengan skor 6-0 untuk Indonesia itu, kecepatan dan kelincahan Andik mampu mengobrak-abrik pertahanan lawan hingga membuahkan satu gol dan memberikan satu umpan indah yang berujung pada gol terakhir untuk Indonesia.

Hati-hati dengan Beasiswa

"Hati-hati menerima beasiswa!" Itulah salah satu imbauan yang masuk ke layar komputer saya suatu hari. Pasalnya, sang pemberi imbauan menyoroti apa gerangan yang menyebabkan sekulerisme berkembang di tanah kaum muslimin. Salah satu gerbangnya menurut beliau adalah beasiswa dari negeri sekuler-kristen. Stigma yang dipegang adalah bahwa seseorang itu cenderung tergadai (bahkan terbeli) oleh kebaikan yang pernah diterimanya. Perasaan berhutang budi adalah satu hal, didukung kondisi lingkungan yang menjadi hal lainnya. Gambaran generalnya, banyak cendekiawan muslim potensial yang lolos seleksi dan masuk ke perguruan tinggi di luar negeri, dengan fasilitas beasiswa. Karena mereka datang dari keluarga kelas menengah, beasiswa (terlebih yang full) menjadi sesuatu yang lux bagi mereka. Akhirnya pemberi beasiswa pun menjadi pihak yang harus 'dihormati secara lebih'. Wujudnya, segala sistem, termasuk metode pendidikan mereka akan menjadi acuan standar dalam pelaksanaan st